Denny JA.
Berita di Guardian, 23 Maret 2015, cukup memberi renungan. Berita tersebut mengutip hasil riset. Bahwa berderma itu, memberi itu, donasi itu, philantrophy itu, seperti virus. Ia menular. (1)
Berbeda dengan pendekatan lama: Jika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan mengetahui. Berilah derma atau donasi diam diam saja.
Hasil riset ini justru merekomendasikan sebaliknya. Jika derma itu terpublikasi, Ia justru bisa mempengaruhi orang lain juga untuk berderma.
Kampanyekanlah tindakan derma itu.
Giving Pledge salah satu contohnya. Hingga tahun 2020, gerakan donasi ini dikampanyekan.
“Mari berkomitmen menyerahkan 50 persen kekayaan kita untuk derma. Derma bisa diberikan baik ketika kita masih hidup, ataupun sebagai wasiat ketika kita wafat.”
Di tahun 2020, sudah 211 orang sangat kaya raya menanda tangai komitmen itu. Mereka berasal dari 23 negara.
Total dana yang akan dijadikan donasi oleh 211 para super rich sebesar 600 billion US dolar. Ia setara dengan 8400 Trilyun rupiah. (2)
Gerakan ini diinisiasi oleh Bill Gates dan Warren Buffet di tahun 2010. Saat itu pengusaha yang terlibat baru 50 super rich.
Dana yang didonasikan di awal pendiriannya sekitar 125 billion US Dolar.
Kemana saja derma diberikan, itu luas dikampanyekan.
Bill Gates sendiri gencar mempublikasi dermanya untuk pemberantasan penyakit Malaria, terutama di Afrika. Di tahun 2018 saja, Ia menyumbang sebesar 1 Billion USD (14 trilyun rupiah).
Di tahun 2015, Bill Gates juga mempublikasi luas donasinya untuk penyediaan air bersih dan sanitasi, terutama untuk wilayah miskin di Asia. Dana untuk Lembaga Path saja, Gates menyumbangkan 17 juta USD (210 milyar rupiah).
Dalam waktu 10 tahun, kampanye berhasil. Pengusaha yang terlibat naik empat kali lipat. Dari 50 super rich (2010) menjadi 211 pengusaha kelas kakap.
Total donasi juga berlipat lebih dari empat kali dalam waktu 10 tahun. Dari 125 billion USD (2010), menjadi 600 billion USD (2020).
-000-
“ Jangan lupa dibawa ya batu batanya.” Itulah permintaan saya kepada Ika Nitingyas dari AJI (Asosiasi Jurnalis Independen).
Ika tertawa. “Batu batanya belum jadi, pak,” Jawab Ika. “Tak apa, saya respon balik. Bawa saja batu bata yang ada, hanya sebagai simbol.
“Saya ingin berfoto dengan batu bata itu, juga dengan Ika, agar donasi untuk AJI menular. Saya ingin ikut mengkampanyekannya.
Ini cuplikan kisah donasi untuk AJI yang unik. Saat itu, di bulan Mei 2021, di WA Japri, masuk teks seorang wartawan, memperkenalkan diri.
Ia menyampaikan pula kabar AJI akan membangun Rumah Jurnalisme, membuka donasi kepada publik dalam bentuk batu bata.
Saya membaca sekilas proposal itu. Diceritakan di proposal bahwa di Indonesia kini semakin gencar informasi hoax di era post truth. Itu informasi yang tidak bersandar pada fakta. Jenis informasi yang tak bermaksud menyampaikan pesan yang benar.
Diceritakan juga bahwa AJI melawan trend itu. AJI akan terus mengobarkan berita yang walau cepat, tapi mendalam, akurat, dan berimbang.
Tapi AJI tak bisa bekerja sendiri. Kerjasama dengan pihak lain diperlukan.
Sampailah inti proposal. AJI akan merenovasi kantornya. Itu tak hanya kantor, tapi juga Rumah Jurnalisme. Di sana akan ada pelatihan jurnalisme, perpustakaan, hingga ruang publik.
“Kami memerlukan dana. Salah satu sumbernya dana gotong royong dari pribadi atau korporat.”
Saya tak merespon proposal itu.
Selang beberapa hari berikutnya, juga di Japri WA, masuk proposal yang sama dari dua teman wartawan yang berbeda.
“Bang Denny, nanti ada dinding di ruang publik. Kita bisa menyumbangkan satu batu bata di sana. Nilai satu batu bata itu sekian juta rupiah.
Di batu bata itu, nanti akan dituliskan nama penyumbang.”
Saya bertanya detail. “Bolehkah saya menyumbang 10 batu bata? Apakah pada 10 batu bata itu akan ada 10 nama saya?”
Ia tertawa. “Tidak bang, kita hanya boleh menyumbang satu batu bata saja.” Lalu Ia menyebut beberapa tokoh yang sudah menyumbang satu batu bata.
“Lho, kok AJI menolak sumbangan yang lebih besar?” Tanya saya. “Oh, jika ingin lebih besar, sumbangan lewat korporat saja bang.”
“Itu 10 kali lebih besar dibanding sumbangan pribadi.” Kembali saya bertanya,” apakah juga batu batanya 10 kali lebih besar karena sumbangannya juga 10 kali lebih besar.”
Kembali Ia tertawa. Saya juga tertawa. Karena tak tahu detail, Ia agaknya meminta yang lebih tahu untuk kontak saya.
Lalu datang teks yang lebih serius. “Selamat sore Mas Denny. Perkenalkan saya, Ika Nitingyas. Sekjen AJI, juga jurnalis TEMP0.”
“Wah, komen saya dalam hati. Hebat nih AJI. Gencar juga pencarian dananya. Kini ada empat orang yang mengirimkan proposal yang sama ke WA Japri saya.”
Dengan Ika, akhirnya diaturlah jumpa. Kamis 24 Juni 2021, Ika bersama Laban Laisilia dan Melinda berkunjung ke kantor saya.
Akhirnya saya menyumbang atas nama pribadi, dan korporat: Komunitas Puisi Esai.
Kami pun berfoto dengan memegang batu bata itu, sebagai simbol. Batu bata untuk Rumah Jurnalisme.
Ketika Ika, Laban dan Melinda pergi, saya kembali teringat berita di Guardian.
“Donasi itu seperti virus. Ia menular.” Karena itu bagus bagus saja jika donasi itu dikabarkan seluasnya.”
Maka foto batu bata ini pun saya ikut sebarkan😀*
Juni 2021