Industrialiasi Talas Beneng, Mengapa Tidak?

Talas beneng telah menjadi produk pertanian yang populer di masyarakat, termasuk di media sosial, salah satunya, youtube. Tanaman ini telah menyebar ke seluruh Indonesia, dan semakin populer  karena semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan, mulai dari umbi, batang, dan daun. Fungsinya juga beragam.

Umbi Talas Beneng bisa diolah menjadi tepung sebagai bahan dasar olahan pangan. Batangnya bisa menjadi pelengkap sayur, sedangkan daunnya bisa diolah untuk bahan baku farmasi. Khusus untuk tepung, produk ini memiliki karakteristik gluten free ( bebas gluten), sehingga cocok untuk penderita diabetes dan anak kebutuhan khusus, serta mereka yang ingin diet. Tentu saja, pemanfaatannya akan terus berkembang sejalan dengan intensitas riset. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, perlu dipikirkan tentang   bagaimana talas beneng bisa  menjadi komoditi penggerak perekonomian daerah.  

Sejauh ini, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan talas beneng Pandeglang sebagai varietas unggulan tanaman pangan.  Komoditi ini juga  sedang digalakkan untuk ditanam di berbagai lokasi di Pandeglang. Terdapat lahan sekitar 2.500 hektare yang digunakan untuk komoditi ini. Dan tampaknya, berkat teknologi informasi internet (YouTube), banyak penduduk daerah lain yang tertarik dan ikut membudidayakan tanaman ini.

Karena pandeglang menjadi  asal-usul tanaman ini, maka jangan heran, bila banyak orang berkunjung ke Pandeglang untuk belajar dan membeli bibit. Akibatnya, kebutuhan dan pemesanan bibit  semakin meningkat dari hari ke hari. Sehingga, saat ini,  petani talas beneng di Pandeglang lebih berkonsentrasi memproduksi bibit.

Proses budidaya tanaman ini dilakukan oleh kelompok-kelompok tani. Sementara, proses pengolahan produk masih belum optimal, mengingat budidaya talas beneng dalam skala besar baru berjalan satu tahun. Sedangkan, untuk dipanen menjadi bahan olahan, membutuhkan waktu sekitar dua tahun.

Industri “Talas Beneng”

Industrialisasi berbasis sumber daya pertanian,   masih menjadi kosa kata bagi  masyarakat pedesaan. Sayangnya, banyak masyarakat desa masih belum memahami apa yang disebut dengan industrialisasi. Padahal, industrialisasi bukan sekedar membangun pabrik dan menggunakan mesin, tetapi juga orientasi terhadap nilai-nilai untuk berkembang dan maju. Untuk itu, memang dibutuhkan transformasi.

Sebenarnya, kata staf ahli Kementerian Desa dan PDT, Bambang Waluyanto, talas beneng  bisa dikembangkan menjadi produk industri, dari input hingga output. Dari hulu, komoditi tales beneng dikembangkan sebagai  usaha pembibitan. Di Desa Juhut,  tempat endemik talas beneng, dilakukan pembibitan. Dalam sebulan,  bibit yang dijual mencapai ribuan bibit. Dan bibit-bibit itu diproduksi oleh kelompok tani setempat. Usaha ini ternyata memberikan hasil dan manfaaat yang luar biasa bagi masyarakat dan kelompok-kelompok tani.

Selain bibit, di fase budidaya, tanaman ini  akan menghasilkan daun dan umbi talas beneng. Daunnya yang lebar  memiliki pasar tersendiri.

Di hilir, talas beneng menghasilkan umbi dan batang yang dapat diproduksi untuk berbagai produk, misalnya diolah menjadi tepung sebagai bahan dasar pembuatan keu dan makanan.

Tepung talas beneng memiliki kelebihan dari sisi komposisi nutrinya, utamanya bebas gluten. Jadi, bagi mereka yang ingin diet atau berkebutuhan khusus dapat mengkonsumsi tepung talas beneng. Sayangnya, produksi umbi dan tepung masih sedikit. Permintaan bahan baku tidak diimbangi dengan ketersediaan hasil budidaya.

“Saat ini kami fokus pada gerakan budidaya,” jelas Dedi Muhadi, sang ketua Pertabenindo. Dan syarat budidaya adalah perbanyakan bibit dan tentu saja: lahan.

“Tahun 2022  hasil budidaya talas beneng baru akan kelihatan,” tambahnya. Dan memang, luasan lahan talas beneng memang semakin bertambah. Tidak hanya di Pandeglang, tetapi juga di daerah-daerah lain. Saat ini suplai bibit difokuskan pada wilayah Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

Gairah untuk melakukan budidaya memang begitu terasa. Faktanya, di kantor Pertabenindo, orang dari luar daerah tidak henti-hentinya datang dan minta penjelasan tentang  seluk beluk talas beneng ini. Pantauan damarbanten.com di workshop Pertabenindo, seang dilakukan proses pemuatan 10.000 bibit talas beneng untuk dikirim  ke Sumatra.

Jika produk budidaya melimpah, tentu membutuhkan pasar yang besar, dan hukum ekonomi akan berlaku. Jika permintaan tetap, dan produk yang ditawarkan bertambah, maka harga bibit bisa tertekan.Hal  ini, tentunya,  bisa menjadi ancaman, sekaligus tantangan.

Lebih lanjut, Bambang menyarankan agar tantangan tersebut diatasi melalui industrialisasi. Bibit-bibit yang dihasilkan perlu dikelola dengan manajemen yang profesional. Kalau bibit itu endemik Pandeglang, khususnya desa Juhut, maka perlu dilindungi secara teknologi dan hukum.

Selanjutnya, jelas Bambang, hasil budidaya yang melimpah dapat  diolah menjadi  bermacam-macam produk. Untuk diterima pasar, tentu membutuhkan penetrasi dan diversifikasi produk yang sesuai dengan selera konsumen. Oleh karena itu,  perlu dilakukan edukasi produk-produk talas beneng.

Ini bukan berarti satu kelompok harus mengerjakan semua. Tapi, lanjutnya,  bisa dikerjakan banyak kelompok pengembang sumber daya lokal, sehingga tercipta ekosistim industri berbasis talas beneng.  Dengan demikian, perekonomian yang dikembangkan adalah ekonomi komunitas, dengan pembagian kerja dan hasil yang adil sehingga berdampak pada kesejahteraan semua.   Nah, dengan dukungan teknologi, termasuk teknologi digital, skema dan rantai pasok itu  akan menghasilkan rantai nilai yang lebih kompetitif.  Dengan demikian,  apa yang diimpikan sekarang,  kelak menjadi kenyaataan manakala irama kerja mengikuti irama zaman.

BERITA TERKAIT

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini