Oleh: Siti Nadroh
Pikiran-pikiran emansipasi yang dikumandangkan R.A. Kartini, telah merintis jalan yang terang untuk membawa kaum perempuan dan perhatian bangsa Indonesia ke arah cita-cita nasional. Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Maka, memasyarakatkan kesetaraan (gender mainstreaming) dalam pembangunan menjadi komitmen politis seluruh jajaran pemerintahan, mulai dari tingkat Menteri sampai tingkat Bupati/Walikota dan terus sampai ke tingkat struktural di bawahnya, kelurahan, RW, RT. Hasilnya, telah membuka akses dan partisipasi kepada kaum perempuan–bersama-sama dengan kaum laki-laki—berpartisipasi dalam pembangunan di segala bidang. Bahkan, menjadi wanita karir di zaman sekarang, dipandang sebagai pilihan strategis yang banyak dilakukan kalangan perempuan terdidik,–seiring dengan peluang dalam berbagai bidang kian terbuka lebar. Lebih dari itu, kini makin banyak jumlah pria dan kelompok pria yang mendukung peningkatan peran perempuan. Makin banyak juga institusi yang membuka kesempatan luas untuk peningkatan peran perempuan di wilayah yang lebih luas dan strategis.
Ironinya, Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang dimaksudkan sebagai strategi untuk mengurangi kesenjangan gender dan mencapai kesetaraan gender kepada semua rakyat, perempuan dan laki-laki, juga seiring meningkatkatnya partisipasi perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki dalam pembangunan produktif ( aktivitas publik) serta telah menempati posisi-posisi strategis, di depan mata muncul kesenjangan baru, yang justru terjadi di kalangan perempuan itu sendiri, yaitu antara perempuan berpendidikan—sebut saja kelas menengah, dengan perempuan tidak/kurang berpendidkan—perempuan awam/kelas bawah.
Terbukanya akses dan partisipasi perempuan kelas menengah untuk berperan di pembangunan produktif dan publik serta meningkatnya aktivitas di luar rumah, maka terpaksa atau tidak, mereka harus mengalihkan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (domestik) kepada asisten rumah tangga (ART), yang umumnya berjenis kelamin perempuan. Bagi kalangan perempuan berpendidikan rendah, peluang dan kesempatan kerja yang tersedia terbatas dan tidak banyak. Dengan keterbatasan pendidikan yang dimilikinya tidak dapat melakukan pilihan-pilihan. Mereka hanya dapat bekerja serabutan, sebagai buruh atau asisten rumah tangga. Ini mungkin akan menjadi pilihan sepanjang sisa hidupnya. Tidak ada harapan perubahan! Kemana mereka harus mengadukan nasibnya dan siapa yang peduli?.
Dari kenyataan ini, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa saat ini keberhasilan dari memasyarakatkan gender (PUG) baru dirasakan di kalangan perempuan kelas menengah berpendidikan. Sementara perempuan kalangan bawah—tidak berpendidikan/ pendidkan rendah, belum terasakan. Bahkan, lebih banyak yang harus menjadi ‘tumbal’ bagi kaumnya sendiri.
Pada titik ini, bila strategi kesetaraan tidak mengakar kuat dalam masyarakat, terutama di kalangan perempuan itu sendiri, ini akan melahirkan pola hubungan yang sama seperti yang dilakukan masyarakat patriakhart di masa lalu, yang telah dengan susah payah digugatoleh Kartini. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, beban ganda dan kekerasan, ironinya dilakukan oleh perempuan sendiri. Perempuan mengeksploitasi sesamanya. Penindasan perempuan atas perempuan terjadi.
Jika ini benar-benar terjadi, apakah R.A. Kartini, jika masih hidup, senang melihat kaum perempuan memainkan peran dalam berbagai sektor, sudah tidak lagi sekadar menjadi istri. Namun, di sisi lain, bingung, bahkan mungkin bersedih dengan realitas kultur baru yang terjadi. Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dimaksudkan akan membuahkan manfaat yang adil bagi semua rakyat perempuan dan laki-laki, ternyata pada saat perempuan kelas menengah tumbuh menjadi masyarakat baru (elit baru) sebagai pencapaian PUG, bahkan mengikuti pola internasional, mengembangkan diri atau merasa mengembangkan diri sesuai dengan nilai-nilai kelas menengah modern, di pihak lain, wanita kelas bawah, wanita buruh, khususnya asisten rumah tangga (ART), jangankan melakukan pengembangan potensi dan aktualisasi diri, untuk memperoleh hak-hak sebagai pekerja saja seringkali diabaikan. Mereka harus berjuang sendiri, bergumul dengan segala jenis penindasan, penganiayaan dan keidakadilan dalam keadaan tidak berdaya.
Apakah semangat kesetaraan dengan meminjam ikon Kartini hanya mempersoalkan dominasi dan ketidakadilan laki-laki terhadap perempuan? Atau, sebenarnya, perjuangan itu punya pretensi terhadap semua bentuk ketidakadilan dan proses pemberdayaan tanpa harus membedakan kedudukan dan jenis kelamin? Bukankah emansipasi yang diadopsi dalam kebijakan nasional menjadi pengarusutamaan gender (PUG), sesungguhnya tidak sekadar membebaskan kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan, dari kekerasan dan penganiayaan, tapi juga masuk ke dalam gerakan emansipasi sosial secara makro, yaitu memperjuangkan keadilan sosial, baik perempuan maupun laki-laki, dari segala bentuk penindasan, baik structural, sosial, maupun personal.
Suatu keniscayaan, agar perjuangan kesetaraan tidak digugat oleh kaumnya sendiri, maka kesetaraan harus menyatukan diri dalam gerakan yang paling substansial, yakni bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi perempuan—secara keseluruhan tanpa membedakan kelas, maupun bagi laki-laki. Maka, apa yang paling substansial yang ingin diperjuangkan Kartini-Kartini masa kini?
Baca Selanjutnya : https://damarbanten.com/?p=3426
Baca Sebelumnya : https://damarbanten.com/?p=3414
Penulis merupakan Dosen Relasi Gender dalam Agama-agama Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta