Para analis Marxian memberi kesimpulan bahwa negara adalah pelayan bagi kelas berkuasa. Dalam negara yang didominasi oleh segelintir elit kelas pemilik modal besar kapitalis seperti Indonesia, maka negara berfungsi untuk melayani kepentingan mereka. Kelas kapitalis mafioso segelintir keluarga.
Seluruh sumberdaya politik yang ada ditujukan untuk melindungi dan mengabadikan kekuasaan kelas mafioso pemilik modal besar tersebut. Keputusan politik negara menyangkut regulasi dan kebijakan itu pertimbanganya dibuat dengan dasar apa yang baik untuk kepentingan kelas kapitalis dianggap baik untuk kepentingan negara, kepentingan masyarakat luas.
Di dalam struktur masyarakat Indonesia, kelas kapitalis ini sebetulnya terlalu sedikit jumlahnya. Nyaris berada dalam kuasa beberapa gelintir keluarga saja. Angkanya bahkan sudah sangat keterlaluan jika dibandingkan dengan rata rata dunia.
Ini setidaknya dapat digambarkan dari penguasaan kekayaan orang dewasa di Indonesia yang ternyata untuk pemilikan kekayaan di atas 1,5 milyard rupiah saja hanya 1,1 persen. Sementara rata rata dunia adalah 10,6 persen. Sedangkan 83 persennya hanya miliki kekayaan di bawah 150 juta. Sedangkan rata rata dunia itu hanya 58 persen ( Suissie Credit, 2021). Bahkan menurut Oxfarm ( 2021), empat anggota keluarga itu kekayaanya sama dengan 100 juta dari rakyat yang termiskin di Indonesia.
Fungsi negara dan masyarakat dalam keadaan demikian menjadi subordinat atau tunduk pada kepentingan mafioso pemilik modal besar kapitalis. Negara, dan seluruh perangkat hukumnya itu menjadi pelindung mereka. Mengikuti selera pemilik modal besar.
Corak dan perilaku politiknya menjadi subordinat kepada kepentingan dan selera mafioso pemilik modal besar. Dari model partai politiknya, gestur, corak corak organisasi massanya, lembaga lembaga masyarakat, kampus kampus, dan perilaku individu organisasi tersebut akhirnya lebih banyak hanya jadi stempel kepentingan pemilik modal besar, mafioso kapitalis.
Dalam sistem yang demikian, Pemilu sebagai pesta demokrasi untuk memilih wakil wakil rakyat, pelaksana pemerintahan seperti Presiden dan menteri menterinya, gubernur, bupati/ walikota dan bahkan hingga perangkat struktur di tingkat desa menjadi berkecenderungan satu : mengikuti selera pemilik modal besar kapitalis.
Kenyataan ini dapat dilihat dari perangai sistem Pemilihan Umum ( pemilu) kita saat ini. Pemenang pemilu dimana mana dimenangkan oleh pemilik modal besar ini. Atau setidaknya oleh segelintir antek antek mereka yang dibiayai atau setidaknya berkomitmen untuk menjaga kepentingan mafioso pemilik modal besar kapitalis tersebut.
Sistem dan aturanya dibuat sedemikian rupa agar mengikuti selera pemilik modal besar. Dari sistem pemilihan presiden dan wakilnya dengan batas electrolal treshold yang dibuat hanya akan berikan peluang kepada suara partai besar, biaya mahar politik yang mahal untuk jadi anggota legislatif dan eksekutif, dan bahkan yudikatif. Serta berlapis lapis promosi politik yang rumit dari sejak di partai politik yang hanya mementingkan semata mata popularitas dan kekuatan modal finansialnya ketimbang kualitas ideologi dan juga komitmen pembelaannya kepada masyarakat.
Corak ekonominya juga dikembangkan mengikuti selera dan kepentingan pemilik modal. Ini dapat dilihat dalam pola perilaku ekonomi yang ada dalam keseharian.
Pasar yang ada dikuasai oleh pemilik modal besar tingkat global atau nasional. Para jenggo pasar. Mereka itu kembangkan investasi, penjualan penjualan produk dan jasa secara monopolistik di semua sektor.
Mereka berkongkalikong untuk tentukan proyek proyek infrastruktur strategis, investasi investasi besar, mengatur alokasi alokasi fiskal untuk selamatkan kepentingan korporasi besar, membayar hak hak istimewa inport produk, kuasai perusahaan perusahaan negara. Bahkan merangsek masuk mengambil ruang ruang hidup rakyat secara kasar.
Mereka memasang jargon, semua rakyat diberikan akses ekonomi yang sama. Tapi keputusan keputusan dibuat untuk mempersulit akses rakyat banyak tersebut. Pemenang sebuah lelang sudah ditentukan sebelum lelang diselenggarakan.
Pergaulan sosial dan corak corak budaya masyarakatnya juga dihegemoni oleh kepentingan selera pasar yang sebetulnya telah termonopoli oleh kepentingan mafioso kelas kapitalis tersebut. Gerak keseharian masyarakat dan selera mereka dihidupi oleh simbol simbol materialistik seperti pola hidup hedonis, konsumeris, over pragmatik, gila kekuasaan, dan obsesif terhadap semua yang berbau glamour.
Dalam situasi demikian, kampus kampus yang seharusnya diisi oleh akademikus kritis banyak yang memilih ikut larut dalam selera penguasa dan pemilik modal besar kapitalis. Ruang akademia yang seharusnya jadi ladang bagi tumbuhnya pohon kebenaran menjadi stempel kekuasaan. Mereka menjadi kritis tapi mengikuti selera sistem yang bobrok, subordinat.
Serikat serikat buruh dan tani, masyarakat miskin kota, dan juga lembaga lembaga masyarakat akhirnya menjadi begitu mudah difragmentasi, dipecah belah oleh kekuatan pemilik modal kapitalis. Suara suara dan aspirasi mereka begitu mudah dikooptasi dan dimoderasi melalui beberapa pemimpin pemimpin mereka.
Gerakan dari segelintir masyarakat sipil dan mahasiswa yang kritis diberangus suaranya, dikriminalisasi sedemikian rupa. Dihantam melalui operasi buzzer bayaran di sosial media. Media massa dimana mana dikooptasi melalui struktur kepemilikan sahamnya dan digunakan sebagai corong suara kepentingan kelompok kapitalis.
Kondisi tersebut dan juga perangai segelintir mafioso pemilik modal besar kapitalis demikian ini tentu sangat membahayakan bagi kepentingan masa depan bangsa dan negara. Negara dan bangsa ini akan sulit mencapai apa yang disebut dengan cita cita adil dan makmur sebagaimana dicita citakan pendiri republik dan Konstitusi.
Kita juga akan kehilangan kepemimpinan nasional yang baik yang memiliki komitmen untuk kepentingan kebangsaan dan kerakyatan. Bangsa ini akhirnya hanya jadi bangsa bayang bayang bangsa lain dan pemimpinya hanya jadi penjual sumberdaya alam dengan murah, jadikan rakyat sebagai buruh murah, dan pasaran produk importasi serta kepentingan investasi yang eksploitatif terhadap kemanusiaan, merusak lingkungan dan menggusur warga kecil lemah dimana mana.
Demokrasi tumbuh menjadi demokrasi palsu. Demokrasi bukan lagi berarti bicarakan kepentingan demos, melainkan kepentingan oligark dan plutokrat, kepentingan segelintir elit penguasa dan elit kaya, kaum feodal dan kaum elit kapitalistik.
Masyarakat kita alam bawah sadarnya akhirnya hanya diliputi oleh sebuah ketakutan massal, menjadi permisif dan afirmatif karena kekuasaan yang autokratif.
Mengakhiri Mafioso
Melihat kondisi di atas, bagi sebagian orang mungkin menjadi pesimis. Lalu mengambil pilihan pasrah pada keadaan dan mengikuti gerak jaman yang memang sudah menggila sedemikian rupa. Ora edan, ora keduman, katanya.
Sebagai masyarakat, tentu kita perlu berbuat sesuatu, agar kita terselamatkan dari ancaman serius kehancuran masa depan bangsa ini, atau setidaknya dapat mereduksi laju perangai mafioso tersebut.
Beberapa agenda penting yang dapat kita lalukan adalah sebagai berikut ; Pertama, mendorong agenda demokratisasi ekonomi. Seperti misalnya menuntut adanya pembagian saham untuk buruh, pembatasan rasio gaji tertinggi-terendah, reforma agraria sejati, demokratisasi kepemilikan BUMN dan BUMD, alokasi fiskal untuk pendapatan minimum bagi setiap warga, pajak kekayaan, pembentukan UU Sistem Perekonomian Nasional sebagai UU payung sistem ekonomi kita yang sampai saat ini tidak pernah dibuat walaupun diperintah oleh UUD, dll.
Agenda demokratisasi ekonomi ini penting karena demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu pada akhirnya hanya lahirkan suatu rezim yang anti demokrasi seperti saat ini. Demokrasi banal yang jatuh ke tangan segelintir elit politik dan elit kaya. Sebab rakyat yang lemah itu hanya jadi alat bagi kepentingan pelanggengan kekuasaan dan pelindung bagi kekayaan mereka.
Kedua, perlu dilakukanya reformasi total sistem politik nasional. Sistem partai harus direformasi total agar memungkinkan fungsinya kembali menjadi organisasi masyarakat agar menjadi lebih bertanggungjawab terhadap kepentingan negara. Partai tidak boleh dikuasai oleh kepentingan segelintir keluarga, atau elit kaya. Sistem pemilu juga harus disingkirkan jauh jauh dari intervensi pemilik modal dengan ciptakan penyelenggaraan pemilu yang murah dan berikan kesempatan bagi setiap pemimpin yang baik muncul tanpa batas electrolal treshold.
Dua upaya di atas memang terasa sangat utopis, tapi kalau dua agenda agenda besar di atas akan juga sulit dilaksanakan maka tugas penting dari kita setiap warga negara adalah untuk lakukan perubahan sebisa bisanya. Melakukan pengorganisasian dan melakukan pendidikan rakyat melalui serikat serikat rakyat mandiri dan merdeka, bangun kelompok kelompok epistemik yang terdiri dari para scholar-activist yang kritis, bangun kolektif kolektif anak muda yang mandiri, koperasi genuine yang berakar jelas melawan sistem kapitalisme dan lain lain. Betapa semua itu juga tidak musah, tapi kita harus melakukanya.
Jakarta, 29 Juni 2022
Penulis : Suroto (Ketua AKSES Indonesia)