Tulisan pertama telah mengilustrasikan bagaimana seharusnya kita merekatkan makna
Pancasila yang hakiki dalam pengelolaan sumber daya alam baik dalam kerangka kebijakan
maupun praksis di lapangan. Lantas bagaimana dengan realitasnya? Apakah masih jauh dari
harapan? Ataukah sudah ada perubahan yang berarti yang menunjukkan tapak perbaikan
pemaknaan Pancasila yang hakiki tersebut? Di sini yang akan diulas adalah kebijakan dan
implementasi Perhutanan Sosial bagi masyarakat miskin yang tinggal di tinggal dalam dan
sekitar kawasan hutan dikaitkan dengan nilai Pancasila yang hakiki.
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut, perlu dijelaskan secara singkat apa itu
Perhutanan Sosial. Dalam regulasi, Perhutanan Sosial dimaknai sebagai sistem pengelolaan
hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/ hutan adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat sebagai pelaku utama untuk
meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya,
dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat
(HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK). Lima bentuk atau skema ini yang
secara nyata berkembang di berbagai tempat di Indonesia.
Perlu digarisbawahi, meski definisi tersebut memasukkan unsur hutan rakyat, namun dalam
pelaksanaannya, Perhutanan Sosial lebih banyak berfokus pada masyarakat miskin yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan yang kehidupannya tergantung dari kawasan hutan negara.
Mengapa di kawasan hutan negara? Karena selama puluhan tahun, masyarakat yang
menggantungkan kehidupannya pada kawasan hutan negara pernah dipandang ilegal,
perambah, pelanggar hukum dan sebagainya. Ini tentunya berbeda dengan hutan hak atau
hutan rakyat yang alas haknya adalah hak milik. Karenanya petani hutan rakyat relatif
mengelola hutan secara merdeka dan tanpa stigma negatif karena mereka mengelola bukan di
kawasan hutan negara.
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah, meski istilah Perhutanan Sosial baru digunakan
secara resmi pada 2015 di era pemerintahan Jokowi, namun praktik nyata Perhutanan Sosial,
dalam sebutan yang berbeda-beda, bukanlah sesuatu yang baru. Praktik masyarakat
mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan merupakan praktik lama, bahkan banyak
yang sudah dilakukan turun temurun di berbagai tempat di Indonesia, baik itu disebut sebagai
kearifan tradisional, sistem hutan kerakyatan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan
kemasyarakatan dan sebutan-sebutan lainnya. Jutaan orang sudah lama, bahkan banyak yang
turun temurun, menggantungkan hidup dari sumber daya hutan, misalnya hasil hutan bukan
kayu (madu, resin, bambu), buah-buahan, tumbuhan obat dan sebagainya. Masyarakat yang
ada di dalam dan sekitar hutan ini juga sudah lama mempraktikkan pola agroforestri.
Selain untuk tujuan-tujuan praktis bertahan hidup seperti pangan dan mengembangkan nilai
ekonomi, hutan juga memiliki nilai magis-relijius, konservasi, sosial budaya dan self esteem
(martabat suatu suku atau kelompok, misalnya pada tanah ulayat). Jadi hutan bagi masyarakat
hutan bisa memiliki ragam dan variasi nilai tertentu yang berbeda-beda pada setiap
komunitas.
Namun demikian, meski sudah mengelola lama bahkan turun temurun menggantungkan
hidup dari hutan, tanpa pengakuan pengelolaan dari pemerintah, masyarakat sekitar hutan
yang masuk dan mengelola kawasan hutan, akan disebut sebagai perambah hutan, ilegal dan
sebutan-sebutan lainnya. Bahkan ada yang kemudian diperkarakan dan mendapat sanksi
pidana karena dianggap masuk dan mengambil hasil hutan di kawasan hutan negara secara
tidak sah. Bahkan yang diambil terkadang begitu sederhana, misal mengambil bambu untuk
memperbaiki rumah atau memanfaatkan hasil hutan non-kayu.
Ironisnya, jika masyarakat hutan ini terlarang dan ilegal memanfaatkan hasil hutan di
kawasan hutan negara, utamanya pada rezim Orde Baru, para investor besar yang bahkan
hampir bisa dipastikan bukan orang asli/lokal mendapatkan ijin untuk mengelola kawasan
hutan dengan skala besar. Ini sejalan dengan dorongan pemenuhan kebutuhan kayu nasional
dan dunia saat itu. Kita lalu kerap mendengar nama orang-orang tertentu yang menjadi
pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada
masa itu Selain itu, juga ada bentuk lain di mana kawasan hutan diserahkan pengelolaannya
secara penuh kepada Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara (PERHUTANI) pada tahun
1961, utamanya di Jawa dan Madura. Sebagai informasi, PERHUTANI sendiri merupakan
kelanjutan dari praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan pemerintahan kolonial
Belanda semenjak 1897 di Jawa dan Madura. Di luar Jawa dan Madura, pada tahun 1970-an
juga ada Industri Hutan Negara atau INHUTANI (di Kalimantan Selatan, Timur dan Tengah,
serta Sumatera Selatan dan Utara). Dalam perjalanannya, pada 2014, INHUTANI menjadi
anak perusahaan Perum PERHUTANI.
Waktu membuktikan bahwa ternyata kebijakan pro-investor besar itu cenderung
menghasilkan sesuatu yang semu, tidak berkeadilan dan menyumbang pada degradasi hutan
dan lingkungan. Di satu sisi, yang mendapat manfaat ekonomi hanya segelintir orang (para
pemegang ijin HPH dan HTI), sementara masyarakat dan petani hutan banyak yang hidup
dalam gelimang kemiskinan. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, perubahan bentang
alam, struktur dan nilai sosial budaya yang dialami masyarakat hutan tersebut. Adilkah ini?
Layakkah ini? Demokratis ini? Berbagai bentuk pertanyaan dan kritik bermunculan, disertai
dengan berbagai upaya advokasi terhadap masyarakat marjinal ini. Upaya ini paling tidak
telah dilakukan semenjak 1980-an.
Sesudah pertengahan tahun 2000, upaya advokasi mulai mampu menggiring keterbukaan
pemerintah secara lebih nyata. Beberapa regulasi terkait pemberdayaan masyarakat di dalam
dan sekitar kawasan hutan mulai menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik untuk
masyarakat. Beberapa kebijakan tersebut di antaranya PP No 6/2007, Peraturan Menteri
(Permenhut) No 37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No 49/2008 tentang
Hutan Desa, serta Permenhut No 23/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Semua regulasi ini
mulai disusun dengan melibatkan unsur madani, meski masih secara terbatas.
Perkembangan signifikan terjadi sejak 2015 berbekal semangat membangun dari pinggiran
untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Khusus
untuk masyarakat hutan, data menunjukkan bahwa jumlah masyarakat miskin di kawasan
hutan cukup signifikan. CIFOR memperkirakan 48,8 juta orang Indonesia tinggal di kawasan
hutan. Dari total jumlah itu, sebanyak 10,2 juta masuk dalam klasifikasi miskin. Ini belum
termasuk jumlah masyarakat miskin yang tinggal di sekitar atau dekat dengan kawasan hutan
negara yang pada praktiknya juga memiliki ketergantungan terhadap hasil hutan.
Terkait hal ini, dukungan kebijakan misalnya bisa dilihat dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, di mana pemerintah telah
menargetkan untuk memberikan hak dan akses kelola kepada masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan hutan seluas total 12,7 juta hektar melalui Perhutanan Sosial dalam bentuk
HKm, HD, HTR, HA dan KK.
Selain itu, pada tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. 83 tentang Perhutanan Sosial (PS). Peraturan ini
menggantikan serta mengkonsolidasikan beberapa peraturan menteri yang telah disebutkan
sebelumnya. Lebih lanjut, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), di mana salah satu pasalnya secara eksplisit
menyebutkan Perhutanan Sosial. Selanjutnya, peraturan pemerintah tentang Perhutanan
Sosial yang merupakan turunan UUCK sedang disusun saat tulisan ini dibuat. Pada tingkat
yang lebih teknis, juga ada Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri No 522, tertanggal 18
November 2020 yang meminta kepada para kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota)
untuk memberikan dukungan lintas sektor (lintas SKPD) kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang sudah mengantongi SK Perhutanan Sosial.
Upaya-upaya percepatan dan perbaikan implementasi juga dilengkapi dengan dibentuknya
Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang bersifat multipihak, baik di
tingkat pusat (kementerian) maupun provinsi. Tingkat pusat disusun berdasarkan SK Menteri
LHK dan direktur jenderal terkait, sementara pokja daerah berdasarkan SK gubernur masing-
masing. Sampai kini, telah ada Pokja PPS di setiap provinsi, kecuali DKI Jakarta yang
notabene minim kawasan hutan negara. Ke depan ada rencana untuk menggerakkan pokja
lintas sektoral agar dukungan terhadap implementasi Perhutanan Sosial menjadi lebih baik.
Sampai dengan Maret 2020 beberapa kemajuan telah dicatat. Direktorat Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengeluarkan data bahwa lebih dari 4,5 juta hektar
(dari total alokasi 12,7 juta hektar) telah dikeluarkan persetujuan penggunaannya untuk
masyarakat dan petani hutan dalam berbagai skema Perhutanan Sosial. SK ijin/hak atau
persetujuan yang telah dikeluarkan adalah sebanyak 6.899 unit, yang melibatkan sekitar
929.000 kepala keluarga (KK). Paska keluarnya SK persetujuan, berbagai kegiatan baik yang
sifatnya produktif, konservasi, penguatan kelembagaan dan sebagainya telah mulai dilakukan
oleh berbagai kelompok masyarakat atau lembaga desa pemegang persetujuan Perhutanan
Sosial. Ada yang sudah berhasil seperti Hutan Kemasyarakatan di Bangka Belitung dan
Kalibiru (Yogyakarta), Hutan Desa di Jambi dan Hutan Adat Ammatoa Kajang di
Bulukumba (Sulawesi Selatan). Namun ada pula yang masih melakukan tapak
perkembangan. Kesemuanya adalah proses belajar di masyarakat untuk memadukan unsur
ekonomi, ekologi dan sosial budaya, memperkuat kelembagaan, mengembangkan
kemandirian, mengusung kearifan lokal dan berbagai tujuan terkait lainnya.
Apa yang bisa dipelajari dari kebijakan dan implementasi Perhutanan Sosial dikaitkan dengan
pemaknaan hakiki Pancasila? Mari kita telaah satu persatu, mulai dari Sila Pertama. Sila
Pertama ini mensyaratkan bahwa pemaknaan Ketuhanan tidak hanya berhenti pada masalah
ibadah ritual, tapi juga terkait dengan hubungan dengan sesama manusia. Yakni, bagaimana
kita memiliki welas asih terhadap sesama. Saya banyak menemui fenomena menarik di sini
ketika banyak petani mengakui bahwa mereka sudah merasa aman dan nyaman mengelola
lahan, tidak lagi dikejar-kejar oleh polisi hutan atau dicap perambah. Beberapa petani hutan
di Bojonegoro dan Kudus yang saya temui saat pelatihan virtual Pendampingan Perhutanan
Sosial baru-baru ini mengakui adanya rasa aman dan nyaman tersebut. Hal serupa juga saya
dapatkan saat melakukan verifikasi teknis usulan Perhutanan Sosial secara virtual dengan
para petani Lamongan dan Blitar pada Maret 2021 lalu. Banyak yang mengatakan akses lahan
sangat berharga bagi mereka karena tanpa lahan mereka tidak bisa hidup. Lahan adalah
tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, utamanya pangan. Ini membuktikan bahwa
bagi kelompok marjinal tersebut, persoalan kepastian akses kelola kawasan hutan sangat
menentukan bagi mereka untuk bertahan hidup, serta selanjutnya untuk bisa menapak ke
tangga perbaikan taraf kehidupan yang lebih baik. Testimoni dari banyak petani hutan ini
paling tidak merupakan petunjuk bahwa Perhutanan Sosial mengandung semangat welas asih
kepada sesama.
Terkait dengan Sila Kedua, dijelaskan oleh Yudi Latif bahwa manusia pada hakikatnya
merupakan mahluk yang selalu harus ada bersama yang lain, tidak hidup sendiri. Di sini
berarti, ada dimensi sosial pada diri manusia. Perlu dipahami bahwa “yang lain” di sini
cakupannya tidak hanya hidup dengan sesama manusia, tapi juga dengan mahluk lainnya.
Bagaimanakah nilai hakiki Sila Kedua ini ada dalam Perhutanan Sosial? Perhutanan Sosial
mengutamakan kebersamaan antar petani hutan. Para pemegang persetujuan
mengkonsolidasikan diri dalam bentuk kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi,
lembaga adat, lembaga desa serta kelompok perempuan. Kelembagaan merupakan sesuatu
yang esensial dalam Perhutanan Sosial. Selain itu, keseimbangan pengelolaan untuk tujuan
ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan menjadi hal yang utama. Saat menyinggung unsur
kelestarian lingkungan, di dalamnya ada unsur peduli dan komitmen untuk menjaga dan
melindungi alam, beserta hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya, serta menjalankan
kegiatan secara lestari dan berkelanjutan.
Ketiga, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan pergaulan dan ruang hidup, yang mampu
merangkul semua. Inilah bahagian dari penjelasan nilai hakiki Sila Ketiga yang dimaknai
oleh Yudi Latif. Terkait Perhutanan Sosial, berbagai bentuk kelompok petani hutan dan
lembaga desa banyak yang sudah mulai menunjukkan kemampuan untuk merangkul.
Misalnya ada kelompok yang semula banyak beranggotakan laki-laki, kemudian mendorong
terbentuknya Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) khusus perempuan, misalnya di
Bangka dan Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah). Di tempat yang
desanya relatif beragam, biasanya juga anggotanya beragam. Di lokasi yang banyak kaum
mudanya biasanya juga ada pelibatan petani muda.
Lalu, terkait Sila Keempat, Yudi menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk sosial
berpotensi mengalami konflik dengan yang lain. Jika terjadi konflik tentu saja harus
diselesaikan dengan cara yang baik dengan mengutamakan musyawarah. Musyawarah juga
diharapkan terjadi saat pengambilan keputusan. Terkait hal ini, Perhutanan Sosial mendorong
penguatan kelembagaan kelompok/desa. Yang dilakukan di sini di antaranya mendorong
kelompok/lembaga desa melakukan musyawarah dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam
menyusun rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan, rencana penguatan kelembagaan
serta penanganan sengketa dalam kelompok maupun dengan pihak luar. Dalam hal
penyelesaian perselisihan juga diutamakan cara musyawarah untuk mufakat.
Terakhir, Sila Kelima, Yudi Latif menjelaskan bahwa manusia adalah mahluk rohani yang
menjasmani dan karemanya memiliki kebutuhan untuk dipemuhi. Lebih lanjut, dalam
memenuhi kebutuhan jasmani ini, manusia tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Welas
asih dan cinta kasih harus selalu menyertai pemenuhan kebutuhan jasmani tersebut, serta cara
yang tepat adalah dengan menjalankan keadilan sosial dan keadilan distributif atas dasar
kreativitas dan keberhasilan seseorang. Keadilan ini tentunya juga tidak melupakan kebaikan
dan kesejahteraan semua manusia dan mahluk lainnya di bumi ini. Terkait Perhutanan Sosial,
pengalokasian luasan 12,7 juta hektar kepada masyarakat marjinal dan petani hutan adalah
bentuk pendistribusian akses kelola lahan kepada kaum marjinal yang membutuhkan.
Kebijakan dan tindakan distribusi ini juga merupakan langkah untuk memenuhi rasa keadilan
bagi kaum tani marjinal. Seorang petani yang mendapatkan kesempatan mengelola kawasan
hutan di Rumpin, Kabupaten Bogor, bernama Silam menyatakan rasa syukur dan gembira
bisa terlibat dalam kelompok. “Saya senang karena kehidupan saya bisa terbantu,” tuturnya
tersenyum. Sebelum bergabung di kelompok, lelaki 67 tahun ini menjadi tukang atau kuli
bangunan di Jakarta. Kini, lelaki ini bisa memiliki pilihan pekerjaan, yakni menjadi petani.
Sebagai penutup bisa dikatakan bahwa nilai hakiki semua sila dalam Pancasila meski tifajisa
tergambar dalam kerja-kerja Peehutanan Sosial. Memang kerja-kerja ini masih memiliki
banyak tantangan. Tapi paling tidak jejak langkah yang sudah ditapaki menunjukkan
aktualisasi yang cukup selaras dengan nilai-nilai hakiki Pancasila.
Baca Sebelumnya https://damarbanten.com/?p=3264