Damar Banten – Pilkades Serentak tahun 2021 dilaksanakan di empat Kabupaten se-Provinsi Banten. Terdapat 694 Desa termasuk di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Pandeglang. (Kabarbanten.com)
Semula di Kabupaten Serang akan digelar 144 Pemilihan Kepala Desa serentak pada tanggal 11 Juli 2021. Belakangan Pemerintah Kabupaten Serang secara resmi menunda pelaksanaan Pilkades pada tanggal 1 Agustus 2021.
Ada tradisi di beberapa wilayah menjelang pesta demokrasi. Warga (simpatisan) mengunjungi kediaman Calon Kades. Terlepas dari aktifitas suksesi atau bukan, faktanya calon kades selalu dikerumuni banyak orang. Ada yang secara khusus melakukan ‘riungan’ untuk memanjatkan doa ada juga yang sekedar membuka silaturahmi biasa, semacam ‘open house’. Meski dalam situasi pandemi, situasinya tak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Di beberapa tempat tampak ramai.
Aktifitas ngopi dan menghisap rokok bersama di lokasi seolah menjadi ritual wajib. Bahkan sebagian orang datang hanya sekedar mencicipi kopi sang calon kades. Ya, sepertinya dianggap sedang pesta, bebas makan dan minum di ‘sohibul hajat’. Bahkan tak sedikit calon kades memberikan amplop yang berisikan uang saat mereka pamitan pulang.
Tidak itu saja, bila menjelang lebaran, meski tidak menjadi kewajiban, calon kepala desa berpikir keras bagaimana menyiapkan tunjangan hari raya.
Ini salah satu potret buram menjelang pesta demokrasi. Kandidat harus menyiapkan ongkos politik yang tak sedikit demi mengikuti kontestasi. Tak hanya untuk kampanye, tapi juga ‘menghidupi’ simpatisan setidaknya untuk beberapa waktu.
Pandemi
Baru saja tersiar kabar di media sosial, berita duka salah satu calon Kepala Desa di Kabupaten Serang meninggal dunia menjelang Pilkades. Terlepas dari karena sakit atau apapun, aktifitas ‘kerumunan’ di calon kades adalah praktik yang kurang tepat dilakukan saat ini. Karena ini menjadi potensi penyebaran covid.
Apalagi Pemerintah telah tegas menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
Pandemi Covid-19 sepertinya tak segera usai. Bahkan eskalasinya semakin meningkat. Tercatat per hari ini (03/07) ada 27.913 Kasus dari total 2,26 juta kasus di Indonesia.
Belum lagi Virus Corona varian baru sudah masuk ke Indonesia. Varian baru tersebut antara lain B117, B1351, dan B1617. Jenis ini sulit dikenali dengan alat PCR. Varian baru ini disebutkan memiliki daya infeksi lebih kuat atau lebih mematikan dibandingkan jenis aslinya (BangkaPos.com)
Bagaimanapun, kerumunan menjelang Pilkades hingga pelaksanaan pesta demokrasi ini tentu sangat mengancam.
Meski telah hadir regulasi baru tentang Pilkades, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 72 tahun 2020 yang mengatur secara rinci bagaimana pelaksanaan Pilkada saat masa pandemi corona namun situasi di lapangan sulit terkendali. Pelaksanaan even ini memungkinkan menjadi sumber penularan dan membuat cluster baru.
Disrupsi
Disrupsi adalah sebuah situasi untuk menggambarkan terjadinya perubahan yang mendasar akibat kehadiran inovasi teknologi. Perubahan secara besar-besaran dan secara fundemental mengubah semua sistem, tatanan dan landscape yang ada ke cara-cara baru.
Kita tahu kehadiran teknologi memicu perubahan yang sangat cepat. Di berbagai lini kehidupan, teknologi telah memangkas proses yang berbelit-belit dan menyulitkan menjadi lebih mudah dan ringkas.
Perkembangan perangkat lunak dan platform di bidang Perdagangan, Ekonomi dan Bisnis, Keamanan, Konstruksi, Kesehatan, Pendidikan, Keuangan, Hukum, Olahraga dan tak terkecuali bidang Pemerintahan sebagian besar menjadi solusi cerdas. Pekerjaan semakin efektif dan efisien.
Termasuk dalam Demokrasi, teknologi telah mendisrupsi cara pemungutan suara yang konvensional. Cara memungut suara dengan selembar kertas, diperoleh di bilik suara dari pemilih, mengumpulkan orang di suatu area (TPS) akan tidak lagi relevan dengan masa kini.
Cara ini justru bertentangan dengan upaya pemerintah saat ini untuk membatasi pergerakan manusia. Kerumunan mengancam kesehatan banyak orang.
Selain itu sudah saatnya memikirkan bagaimana menghemat biaya dengan mengurangi penggunaan kertas (paperless) dan akomodasi lainnya mengingat pandemi telah menguras anggaran yang sangat besar dari APBD dan APBN kita.
Sudah saatnya pesta demokrasi dilakukan berbasis teknologi informasi. Banyak di negeri ini orang-orang cerdas, kreator mampu menciptakan aplikasi termasuk untuk kebutuhan khusus (special purpose), seperti aplikasi pemungutan suara atau e-voting.
Bahkan pada tahun 2007 telah hadir platform e-Demokrasi sebuah aplikasi Pemungutan Suara Elektronik yang dikembangkan anak bangsa melalui Indonesian Go Open Source (IGOS).
Penerapan teknologi e-voting terus berubah seiring perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat. Kendala-kendala e-voting yang pernah terjadi di berbagai negara yang pernah dan sedang menerapkannya menjadi penyempurnaan e-voting selanjutnya. Salah satu segi positif dari penerapan e-voting saat ini adalah makin murahnya perangkat keras yang digunakan dan makin terbukanya perangkat lunak yang digunakan sehingga biaya pelaksanaan e-voting makin murah dari waktu ke waktu dan untuk perangkat lunak makin terbuka untuk diaudit secara bersama. (Wikipedia)
Jika kita melihat penggunaan teknologi informasi di Indonesia angkanya cukup mencengangkan. Indonesia menjadi pengguna Internet terbesar ke-5 di dunia. Data terkini menunjukkan pengguna internet mencapai 202 juta pengguna di Indonesia. Layanan manajemen konten dan agensi pemasaran HootSuite mengungkap jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta atau 73,7 persen dari total populasi sebesar 274,9 juta jiwa pada Januari 2021.Dari total tersebut, sebanyak 195,3 juta jiwa atau 96,4 persennya mengakses internet lewat perangkat mobile berjenis smartphone dan ponsel fitur. Hampir semuanya ‘online’ dari handpohone (Kompas.com 24/02/2021)
Apalagi penggunaan teknologi informasi khususnya e-voting di Indonesia pernah dilakukan dalam skala terbatas baik dalam lingkup organisasi, perusahaan maupun pemerintahan di skala paling kecil yaitu dusun atau desa.
Mungkin kita perlu belajar dengan Kabupaten Jembrana, Bali. Sejak pertengahan 2009 telah melakukan puluhan kali pemilihan kepala dusun di desa-desa yang ada di kabupaten tersebut. Penggunaan e-voting di kabupaten Jembrana telah menghemat anggaran lebih dari 60 persen, seperti anggaran untuk kertas suara.
Dari pengalaman ini Mahkamah Konstitusi memutuskan pada Selasa, 30 Maret 2010 bahwa penggunaan e-voting adalah konstitusional sepanjang tidak melanggar asas Pemilu yang luber dan jurdil maka e-Voting bisa dilakukan pada skala lebih luas di antaranya Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada).
Bahkan di tingkat Pemilu Nasional, pada tahun 2009 CETRO pernah mengusulkan Pemilu Elektronik untuk tahun 2014. Keputusan MK memberi jalan untuk Pemilu Elektronik pada tahun 2014 yang harus diawali dengan selesainya Single Identity Number (SIN) untuk seluruh penduduk Indonesia. Saat itu direncanakan selesai pada tahun 2011.
Penggunaan e-voting setidaknya telah di gunakan di 5 negara di dunia, Kanada, Estonia, Belanda, Jerman dan Filipina. Beberapa negara berhasil menggunakan sistem ini karena meningkatkan partisipasi pemilih dan lebih mudah dalam proses perhitungan dan keterjangkauan akses yang sangat luas.
E-Voting dalam sistem demokrasi dengan menggunakan aplikasi karya anak bangsa akan meningkatkan kepercayaan diri terutama bagi perekayasa atau pengembang aplikasi. Setidaknya industri perangkat lunak memperoleh angin segar. Akan tercipta lapangan kerja baru seperti programer, sistem analis, spesialis big data, data analis hingga operator. Dibutuhkan hingga di pedesaan yang hingga saat ini berjumlah 83.820 Desa (Sumber : BPS).
Dari sisi potensi pemilih, menurut sensus penduduk tahun 2020, Jumlah Penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda. Jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia. Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen. Generasi Z sendiri merujuk pada penduduk yang lahir di periode kurun waktu tahun 1997-2012 atau berusia antara 8 sampai 23 tahun. Sementara generasi milenial adalah mereka yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 atau berusia antara 24 sampai 39 tahun.
Dari riwayat tersebut, seharusnya tak butuh pekerjaan ekstra untuk menghelat pesta demokrasi berbasis teknologi. Hanya dibutuhkan kemauan pemerintah dan political will untuk menyelenggarakannya. Dengan e-voting diharapkan pemerintah dapat menjaga atau meningkatkan partisipasi pemilih. Karena partisipasi pemilih dalam Pemilihan Umum menjadi salah satu kebutuhan untuk keberlanjutan demokrasi agar tidak terhambatnya sistem politik di Indonesia (Nurhasim, 2014).
Ke depan, dengan menggunakan e-voting warga memilih calonnya cukup ‘di rumah saja’, menggunakan gawai. Sementara petugas pemilu memantaunya dari layar di ruang data center yang sudah steril dari virus. Operator sibuk mengolah data yang telah masuk. Aparatur keamanan tak banyak dikerahkan karena bekerja secara siber. Cara ini dapat menekan lajunya penyebaran virus atau ancaman kesehatan. Demokrasi, Pandemi dan Disrupsi seharusnya menjadi jalan tercerahkan. Semoga.. (BSN)
Salam
H. Babay Suhendri, ST. M.Pd.
Penulis adalah Pegiat Sosial dan Akademisi.
Direktur Vokasi Universitas Primagraha