Pada paruh abad ke-18 hingga awal abad ke-20, berbagai pagebluk menghantam Indonesia di zaman Hindia Belanda. Tingkat kematian penduduk semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat pagebluk cacar, kolera, pes, hingga flu spanyol. Segala upaya penanggulangan pun dilakukan. Cacar, kolera, dan pes berhasil ditekan lewat vaksinasi. Sementara pandemi flu spanyol menghilang seiring terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity).
Jejak vaksinasi paling awal di Hindia Belanda adalah pencacaran. Wabah mematikan yang melanda dunia ini berhasil diredam berkat seoarang dokter dari Inggris, Edward Jenner. Pada 1796, ia melakukan eksperimen vaksinnya. Jenner berhasil menguji teorinya sewaktu ia menginfeksi anak laki-laki berusia 8 tahun dengan nanah dari lesi cacar sapi, yang memberinya perlindungan terhadap cacar. Hasil penelitian Jenner tersebut dikumpulkan dalam bukunya An Inquiry the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae. Penemuan Jenner dikenal sebagai vaksinasi yang diambil dari bahasa Latin yaitu vacaa atau sapi.
Keberhasilan vaksinasi cacar ini kemudian dijadikan model kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani penyakit-penyakit rakyat (volkziekte), salah satunya pes. Pada 1931, dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung, berhasil menemukan vaksin untuk pes yang dikembangkan dari bakteri pes hidup. Vaksin ini ternyata lebih efektif dibanding vaksin impor dari Jerman dan Inggris. Penyakit yang ditularkan lewat gigitan kutu tikus dan merenggut jutaan orang ini akhirnya meredup di ujung masa pemerintahan kolonial.
Vaksinasi juga pernah terbukti ampuh mengurangi wabah kolera yang menyerang Batavia pada dekade 1910-an. Kasus kolera kali pertama tercatat pada 1821. Menurut G.J. Krediet, kepala Jawatan Kesehatan Batavia, dan berdasarkan hasil peneltian dokter L.S.A.M von Romer pada 1917, penurunan penderita kolera terjadi selama vaksinasi massal berlangsung (1913 – 1916).
Namun, saat pandemi flu spanyol mengamuk pada 1818-1819, tak pernah ditemukan vaksin. Pandemi flu spanyol berakhir dengan sendirinya setelah tercipta kekebalan massal. Harga yang dibayar amat mahal: angka kematian penduduk di Hindia Belanda akibat flu spanyol tertinggi di Asia Tenggara (sekitar 1,5-4 juta jiwa), sebagaimana dikutip dari Ravando Lie dalam buku Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia masa Kolonial 1918-1919 (2020).
Beruntung, dampak pandemi flu spanyol tidak sampai menghasilkan pertumbuhan ekonomi negatif. Pierre van der Eng (profesor dari Australian National University), dalam risetnya mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Hindia Belanda tumbuh sebesar 3,0% pada 1918 dan 6,6% pada 1919. Pertumbuhan PDB yang tinggi pada 1919 karena hasil panen padi yang sangat bagus di Jawa. Faktor lainnya karena tingginya produksi tanaman perkebunan dan tanaman uang (terutama karet dan kopra), serta produksi minyak bumi.
Yang Berubah Setelah Pagebluk
Setelah pagebluk menyingkir baik karena vaksinasi atau menghilang dengan sendirinya, bersamaan itu meninggalkan titik pijak baru yang mengubah banyak hal di Hindia Belanda dan dunia. Wabah dan tatanan “new normal” silih berganti pada siklus yang berulang. L’histoire se repete.
Ketika cacar, pes, hingga flu spanyol menjalar, Hindia Belanda berbenah diri agar tak tersapu pandemi lagi. Perkembangan kedokteran berbasis masyarakat lebih diperhatikan. Di masa ini, mulai dibangun sekolah kedokteran pertama di Hindia-Belanda, yaitu Sekolah Dokter Djawa yang kemudian menjadi School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada tahun 1849.
Sekolah ini pada mulanya bertujuan mencetak para mantri atau juru cacar pribumi untuk membantu pemerintah yang kewalahan dalam memvaksinasi cacar di kalangan pribumi. Ditambah ada kecenderungan kolonial tidak mau menangani secara langsung epidemik cacar di wilayah pribumi. Sejak itu, dengan bertaruh nyawa dan kerap tanpa alat pelindung diri, dokter-dokter lulusan STOVIA terjun langsung mengobati pasien pribumi baik saat terjadi wabah kolera, pes, maupun flu spanyol. Keunggulan dokter-dokter STOVIA dalam pendekatan bahasa, kultur, dan pengobatan tradisional dengan penduduk lokal membuat ‘misi kesehatan’ berjalan mulus.
Di luar peran bidang kesehatan, dokter-dokter STOVIA juga memelopori pergerakan modern kebangkitan nasional. Tiga tokoh jebolan sekolah ini: Wahidin Soedirohusodo, Cipto Mangunkusumo, dan Soetomo, menginisiasi pendirian Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Sejarawan publik dari Universitas Indonesia, Kresno Brahmantyo, menyebut pendorong munculnya nasionalisme pribumi salah satunya karena wabah. Saat wabah-wabah itu terjadi, dokter-dokter dan tenaga kesehatan Belanda tidak mau bersentuhan, bahkan cenderung tidak peduli, dengan warga pribumi. Sikap dokter dan tenaga kesehatan Belanda itu membuat kesal para dokter Jawa, yang juga ikut memengaruhi sikap kebangsaan para calon dokter pribumi yang bersekolah di STOVIA.
Kehidupan pasca-wabah pes juga begitu terasa. Masyarakat di Jawa mulai mengenal rumah-rumah yang terbuat dari bata dan kayu dengan atap genteng. Rumah-rumah mereka yang sebelumnya terbuat dari bambu beratap daun ataupun jerami dibakar karena dianggap sarang tikus berkutu pembawa penyakit pes. Rumah-rumah yang sudah dibakar itu kemudian dibangun ulang dengan bata dan kayu, atap genteng, untuk mencegah mudahnya tikus masuk rumah. Selain itu, program makanan bergizi diperkenalkan secara masif kepada masyarakat.
Sementara di Batavia, ketika sanitasi buruk dan munculnya berbagai wabah seperti kolera dan malaria, Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels memutuskan memindahkan pusat pemerintahan dari kawasan Kota Tua ke arah Selatan, yang bernama Weltevreden (daerah Medan Merdeka). Pada masa inilah, kanal-kanal yang dulu digali untuk mengatur arus air dan sarana transportasi, ditimbun dijadikan jalan raya.
Pemerintah melakukan perbaikan pada sistem sanitasi kota dan memperketat aturan suplai air. Gedung-gedung pemerintah dan perkantoran, termasuk De Javasche Bank (kini BI) di daerah Kota Tua, menyediakan wastafel untuk mencuci tangan karena adanya wabah kolera. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, Batavia telah mencapai kemapanan sebagai ibukota kolonial.
Begitu pula pasca pandemi flu spanyol, selain memperkuat peran dokter-dokter pribumi, juga terjadi reformasi sektor kesehatan. Influenza Ordonatie (protokol resmi untuk menghadapi epidemi influenza di masa depan) diluncurkan pemerintah pada Oktober1920. Pemerintah juga membentuk Inter-coordination Agency (badan yang mengatur koordinasi antar-lembaga), menyempurnakan aturan tentang pelabuhan, karantina, dan edukasi. Imbauan pembatasan sosial dan penerapan hidup bersih selama dan setelah wabah, diberlakukan kepada masyarakat. Mirip dengan apa yang terjadi saat ini guna memerangi pandemi COVID-19.
Pada skala global, pandemi flu Spanyol memaksa perang segera dituntaskan. Pandemi ini disebut berperan dalam Perjanjian Perdamaian Paris yang menyepakati penghentian Perang Dunia I. Kelelahan dan keruewtan akibat flu juga mendorong berbagai upaya kemitraan internasional hingga terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (kini PBB). Berkaca dari lintang-pukang negara-negara dalam mengatasi flu, Liga Bangsa-Bangsa meluncurkan Health Organization di tahun 1923 sebagai cikal bakal World Health Organization (WHO), yang lahir pada 1948.
Jennifer Cole, antropolog Royal Holloway, University of London, menyebutkan perang dan wabah turut berperan dalam lahirnya konsep negara kesejahteraan yang kemudian diadopsi banyak negara di Eropa. Konsep ini dikembangkan setelah berkaca dari wabah yang meninggalkan banyak janda, anak yatim-piatu, dan penyandang disabilitas.
Wabah ataupun pandemi memang selalu menyisakan dua muka: petaka dan pembaharuan. Sebagaimana pagebluk di masa lalu, COVID-19 yang melanda dunia dan Indonesia pada awal 2020, menuntut penduduk bumi beradaptasi dan melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak terlalu dipedulikan. Terobosan-terobosan baru pun pasti akan lahir pasca pagebluk Covid-19 usai.
Oleh: Zainal C. Airlangga