Sudah hampir setahun perjalanan waktu yang telah dilalui dalam proses sub holding pertamina. Anak anak perusahaan Pertamina dipisahkan dari induknya. Maksudnya supaya bisa diprivatisasi atau dijual sebagian sahamnya kepada publik. Cara jualnya adalah melalui IPO di bursa saham. Induknya pertamina tidak bisa diprivatisasi karena dilarang oleh konstitusi.
Sub holding Pertamina telah menjalar ke PLN. Anak anak perusahaan PLN akan dipreteli untuk digabungkan dengan anak perusahaan Pertamina dalam skema sub holding. Kali ini yang diembat adalah unit usaha PLN di bidang energi terbaharukan yakni pembangkit geotermal. PLN meradang ! karena bagi PLN memiliki pembangkit energi terbaharukan adalah bagian dari prestasi PLN dalam mengejar target bauran energi. Kehilangan pembangkit geotermal adalah musibah bagi PLN. Perusahaan ini selalu menjadi sasaran kampamye negatif oleh organisasi lingkungan karena dianggap tidak komitmen pada transisi energi. Apesnya justru dalam skema sub holding ini malah pembangkit terbaharukan diembat oleh pihak lain. Padahal nanti capaian perusahaan dalam bauran energi akan menjadi standar bagi PLN dalam bidang keuangan, dalam mendapatkan pinjaman murah, investasi baru dan lain sebagainya.
APA MAUNYA PARA MENTERI?
Sub holding anak perusahaan pertamina dan juga akan mengambil anak perusahaan PLN tujuannya adalah mencari uang. Saya rasa ini tujuan pokok. Sepertinya ini tujuan paling utama. Setelah sub holding uang diharapkan akan datang baik melalui utang baru, investasi baru dan hasil jual saham. Semua di-angan angan akan dapat uang besar. Khayalan pemerintah ini tampaknya didasarkan pada asumsi bahwa aset perusahaan migas pasti laku kalau dijjual atau banyak pembelinya. Jika swasta diberi peluang masuk dalam bisnis Pertamina maka banyak pemilik uang/modal yang akan menetes air liurnya. Mereka akan berbondong bondong membeli saham anak perusahaan pertamina yang di IPO nantinya.
Sehingga sub holding menyasar usaha hulu pertamina atau usaha dibidang ekplorasi dan ekploitasi minyak atau menyedot minyak dari dalam bumi. Di masa lalu usaha penyedotan minyak ini adalah sumber uang yang paling menggiurkan. Perusahaan asing selama ratusan tahun menyedot minyak di Indonesia. Sekarang banyak perusahaan asing sudah kabur dalam bidang ini. Blok minyak mereka dibeli oleh pertamina. Pertamina membelinya kepada pemerintah. Diantaranya blok mahakam, blok rokan, ONWj dll. Nah setelah dibeli Pertamina blok blok ini yang dikerjakan anak perusahaan pertamina akan di sub Holding dan selanjutnya di IPO. Aset anak perusahaan di bagian hulu ini sangat besar. Aset yang besar ini diharapkan bisa laku dijual demi dapat cuan.
Lalu kelompok kedua adalah kilang kilang pertamina. Sama dengan hulu, kilang meskipun usianya sudah tua tapi ini adalah aset yang bernilai ekonomi besar. Masih menghasilkan banyak uang. Swasta pasti tertarik menanamkan cuan disini. Demikianlah yang diangankan para menteri. Selama ini kilang sulit dapat modal. Kilang tidak terbangun dan tidak berkembang. Segitu gitu saja dari dulu. Kemarin beberapa waktu lalu kilang pertamina terbakar secara beruntun, mulai dari kilang balikpapan, diikuti kilang balongan lalu selanjutnya kilang cilacap. Ribuan orang diungsikan dan tedapat korban jiwa dalam kejadian ini. Kilang kilang tua ini akan disub holding dengan harapan dapat cuan, uang masuk dan saham laku keras. Demikian angan angan para menteri dalam urusan kilang ini.
Tidak sebatas itu usaha pertamina di bidang pembangkit listrik geotermal menjadi alat mencari cuan ditengah krisis dan pandemi copid. Dalam hal ini PLN keserempet. Aset pembangkit geotermalnya direnggut, untuk dijual ketengan bersama pembangkit geotermal pertamina yang dikelola PGE. PLN meradang karena bisa kehilangan prestasi dibidang bauran energi. Sementara pembangkit terbaharukan lainnya milik PLN seperti PLTA sulit dibangun karena diperas pajak macam macam termasuk pajak air. Aset pembangkit PLN ini akan diserahkan pada PGE untuk dijual ketengan kepada investor. Ini mungkin diharapkan para menteri Jokowi agar dapat cuan besar dari isue perubahan iklim. Aset geotermal ini mungkin akan dijadikan umpan cacing menarik uang dari kesepakatan COP 26 skotlandia. Tapi apa benar caranya dengan menjual pembangkit secara ketengan begitu bisa dapat cuan?
APAKAH SETAHUN SUDAH ADA HASIL?
Coba cari jawabannya, tampaknya para menteri Presiden Jokowi senangnya cuap cuap saja, biar dikira kerja oleh presiden. Tapi hasil kerjanya kagak ada. Sebagai bukti saya tidak melihat prestasi mereka dalam mengatasi kebangkutan Garuda. Ya ujung ujungnya garuda akan disuntik oleh APBN. Tidak ada terobosan dalam mengatasi kebangkrutan BUMN karya, dan menyelamatkan keuangan BUMN holding tambang yang uangnya kesedot beli saham Rio Tinto di Freeport grasberg Papua dan puluhan BUMN lainnya sekarang di ujung tanduk tersandera utang besar.
Kita perhatikan menteri Jokowi dalam hal ini menteri BUMN cuma gonta ganti pejabat komisaris BUMN, menempatkan orang dalam lingkaran pendukung kekuasaan di posisi penting di BUMN. Tapi hasilnya apa? Di depan mata mereka hanya menonton BUMN berguguran satu persatu dihantam krisis dan ekonomi copid 19. Tidak ada langkah terobosan. Langah mereka muter muter dalam lingkaran, gak punya jalan keluar. Lalu bikin khayalan sub holding, jual ketengan anak perusahaan Pertamina untuk dapat cuan. Tapi langkah tehnisnya tidak jelas. muter muter, bingung.
Padahal sub holding sudah hampir setahun berjalan sejak ditetapkan, tapi ternyata tak bisa dilaksanakan. Mereka para menteri hanya bermain main wacana tapi tak tampak eksekusinya. Boro boro mau dapat cuan dari sub holding, yang ada saja gak bisa dipelihara, pertamina secara perusahaan cuma bisa untung seupil, penjualan menurun, kinerja keuangan memburuk, walaupun laporan keuangannya mantap dan mentereng. Pertamina dikekuarkan dari JP morgan indek karena tidak aman untuk investasi. Bagaimana menjual anak perusahaan yang tidak dijaga dengan benar? Diacak acak penguasa saban hari, jadi sapi perahan melalui kebijakan acak adul, tumpang tindih dan berubah ubah. Tergantung hitungan mimpi?.
Oleh : Salamuddin Daeng