Damar Banten – Syekh Yusuf Al-Makassari adalah seorang intelektual, ulama, sufi bahkan seorang pejuang yang lahir pada 13 Juli 1627 di Gowa, Sulawesi Selatan. Asal muasal nama Al-Makassari tersebut merupakan tanda jika dirinya berasal dari Makassar, sementara untuk nama Muhammad Yusuf itu sendiri adalah pemberian langsung dari Sultan Kerajaan Gowa, yang bernama Sultan Alauddin. Sementara itu, Syekh Yusuf juga dikenal sebagai asy-Syekh al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj al-Khalawati al-Makassari, atau yang dikenal juga dengan nama Tuanta Salamaka ri Gowa yang berarti, ‘guru kami yang Agung dari Gowa’.
Syekh Yusuf Al-Makassari banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama Islam, di berbagai tempat. Salahnya satu tempat Syekh Yusuf dalam menimba ilmu serta memperdalam agama Islam adalah di Timur Tengah. Di usia 18 tahun Syekh Yusuf Al-Makassari bahkan sudah menunaikan ibadah haji. Sementara itu, Syekh Yusuf juga banyak singgah diberbagai tempat di Nusantara. Perjalanan seorang Yusuf tersebut selaras dengan rute perkapalan yang dilaluinya, serta salah satu daerah yang Yusuf singgahi merupakan Banten. Di Banten sendiri, Syekh Yusuf bersahabat dengan seorang Putra Mahkota, yang nantinya akan menjadi Sultan Ageng Tirtayasa.
Perjalanan dakwah dari seorang Syekh Yusuf bahkan hingga ke daerah Aceh, Gujarat, sampai India. Di Aceh sendiri, Syekh Yusuf mempunyai guru serta belajar langsung kepada seorang ulama besar bernama Syekh Nuruddin Ar-Raniri, yang adalah seorang penasehat Sultan perempuan Safyatuddin. Selanjutnya, Syekh Yusuf juga berguru hingga ke Turki, Yaman, bahkan Damaskus.
Syekh Yusuf sendiri wafat pada 23 Mei 1699, serta di makamkan pada dua tempat, yakni Faure, Cape Town, serta di Lakiung, Sulawesi Selatan. Dua makan dari Syekh Yusuf tersebut berada di Afrika Selatan serta di Sulawesi Selatan, hal tersebut terjadi karena adanya permintaan dari kerajaan Gowa untuk jenazah dari Syekh Yusuf dikembalikan ke kampung halamannya. Permintaan tersebut akhirnya dikabulkan oleh pihak Belanda, sehingga pada 5 April 1705 jenazah Syekh Yusuf dikembalikan ke Indonesia.
Di tahun 1664, setelah 15 tahun menimba ilmu di Timur Tengah, akhirnya Syekh Yusuf kembali ke Banten. Sultan Ageng Tirtayasa, sahabat dari Syekh Yusuf yang sebelum kepergian syekh Yusuf ke Timur Tengah, merupakan penguasa Banten saat itu. Masyarakat Banten menyambut Syekh Yusuf dengan penuh rasa hormat yang luar biasa, ketika dirinya kembali ke Banten untuk kedua kalinya. Hal tersebut diakibatkan karena saking luasnya pemahaman agama dari Syekh Yusuf, terkhusus pada bidang tasawuf. Ditambah, banyaknya dari orang Banten yang sudah mengetahui status dari Syekh Yusuf, yang termasuk ke dalam kalangan intelektual ternama Haramain. Pada akhirnya, Syekh Yusuf kemudian memilih untuk memantapkan dirinya berada di tengah-tengah masyarakat
Banten, bahkan dirinya dianggap sebagai syekh tarekat yang sangat kompeten.
Tidak saja itu, syekh Yusuf mempunyai tempat khusus pada kalangan masyarakat Banten. Ditambah, antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Yusuf merupakan seorang sahabat yang erat. Karena kepandaiannya dalam ilmu agama, serta kedekatannya dengan keluarga Sultan, akhirnya Syekh Yusuf kemudian dipercayai agar mendidik putra-putri Sultan Banten. Bahkan, Syekh Yusuf kemudian diangkat sebagai mufti, serta penasehat Kesultanan Banten, setelah dirinya menikahi seorang putri dari Sultan Banten, yang bernama Siti Syarifah.
Putra mahkota Kesultanan Banten, Pangeran Abd al-Qahhar, merupakan salah satu murid dari Syekh Yusuf, karena rekomendasi dari Syekh Yusuf. Pangeran Abd al-Qahhar akhirnya mengunjungi Istanbul, Turki, setelah menyelesaikan haji. Misi diplomatik dari Pangeran Abd alQahhar sangat terbantu oleh jaringan luas Syekh Yusuf, di seluruh Timur Tengah. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa sedang berziarah serta mengunjungi Turki. Putra Sultan Ageng yang lain, bernama Pangeran Purbaya, kemudian dipilih sebagai penggantinya.
Ketika Sultan Ageng kembali ke Banten, proses pengangkatan tersebut menyebabkan keretakan di antara dirinya dengan Pangeran Abd al-Qahhar, Syekh Yusuf kemudian terjebak di dalam pergolakan politik tersebut, akibat dari perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya, dalam kondisi tersebut, posisi Syekh Yusuf berada pada jajaran Sultan Ageng, ketika terjadi pertempuran terbuka antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, sialnya, Sultan Haji kala itu dibantu oleh Belanda. Disaat Sultan Haji dan Sultan Ageng sedang bertikai, dan kemudian ditangkap oleh Belanda, Syekh Yusuf kemudian langsung mengambil alih komando pasukan Banten, syekh Yusuf bersama dengan Pangeran Purbaya, serta Pangeran Kidul, terus melakukan peperangan dengan cara gerilya di hampir seluruh wilayah Jawa Barat, perlawanan tersebut didukung oleh sekitar 5000 pasukan, termasuk juga dengan 1000 orang Makassar, Bugis, serta Melayu.
Perlawanan gerilya dari Syekh Yusuf dianggap cukup merepotkan bagi Belanda, yang saat itu dipimpin De Ruvs Eygel, serta Van Happel. Pada September 1683, terjadi sebuah pertempuran di Padalarang antara pasukan dari Syekh Yusuf, serta gerilyawan dari Banyumas yang dipimpin oleh Namrud, dengan pasukan Eygel dan Van Happel. Dari pertempuran tersebut, Kedua belah pihak mendapati jatuhnya banyak korban pada konflik tersebut, termasuk Pangeran Kidul, serta istri Syekh Yusuf, serta salah satu putranya, yang dibawa oleh Belanda. Terlepas dari kenyataan bahwa Pangeran Kidul tewas dalam pertempuran tersebut, kendati demikian istri beserta putrinya tidak terpengaruh sedikitpun.
Pada akhirnya Syekh Yusuf tetap saja bertahan untuk melawan pasukan Belanda. Belanda yang kala itu hampir putus asa karena taktik perang gerilya yang dipakai oleh pasukan Syekh Yusuf. Setelah beberapa kali Belanda gagal untuk menangkap Syekh Yusuf di medan perang, Belanda kemudian memakai siasat guna menangkap syekh Yusuf, akhirnya pada 14 Desember 1683, Belanda berhasil menangkap Syekh Yusuf. Syekh Yusuf akhirnya diasingkan ke Cirebon beserta keluargnya, Selang beberapa saat, tepatnya pada 23 Januari 1684, tentara beserta pengikut dari syekh Yusuf yang berasal dari Makassar dan Bugis, dideportasi kembali ke kampung halamannya.
Syekh Yusuf kemudian dideportasi ke Cirebon serta divonis satu tahun penjara. Sayangnya, pada 12 September 1684, Syekh Yusuf diculik dari Cirebon serta kemudian dipenjara di Batavia, Syekh Yusuf akhirnya dijatuhi hukuman pembuangan di Ceylon, Sri Langka, Keputusan dalam mengasingkan Syekh Yusuf beserta keluarganya, adalah bermula dari kekhawatiran pemerintah Belanda bahwa Syekh Yusuf akan melarikan diri, serta akan membahayakan kepentingan Belanda.
Gubernur Simon van der Stel, penguasa Belanda di Tanjung Harapan, serta putranya Willem Adriaan, mulai merasa khawatir di saat pengikut dari Syekh Yusuf di Sri Lanka, mulai bertambah banyak. Akhirnya langkah untuk melakukan antisipasi pun segera dilakukan. Belanda kemudian mendeportasi Syekh Yusuf pada tempat yang lebih jauh, yaitu menuju Afrika Selatan, pada 7 Juli 1693. Syekh Yusuf akhirnya diangkut ke Kaap, Cape Town, Afrika Selatan, dengan kapal 'Voetboeg' pada 7 Juli 1693, pada usia 68 tahun, bersama dua istrinya bernama Kare Kontu dan Kare Pane, dua asisten wanitanya bernama St. Muminah dan St. Naimah, dan ke 12 anaknya, M.Rajab, M.HayiM, Jaelani, Raden Bakar M.Pia, Kare Nanang, Abidah, hamidah, St.sari, Bibi Aisyah, Daeng Maanika, M.Kasim, Ketul Said, M.Rahuna, Abu Bakar, Abd. Rauf, serta Abd. Jafar. Juga termasuk di antara nama santri beserta pengikutnya, yang berjumlah 49 orang, rombongan yang ikut diasingkan tersebut tercatat pada dokumen kompeni di Cape Twon.
Ketika Syekh Yusuf masuk di Cape Town sebagai seorang pengasingan politik, dirinya mendapatkan sambut hangat dari Gubernur Simon Van Der Stel, Simon menghormati seorang syekh Yusuf, perlakuan terhadap Syekh Yusuf tersebut tidak seperti pengasingan politik yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa Syekh Yusuf bukanlah orang biasa, menurut I.D. Calvin pada bukunya yang berjudul, ‘The Romance Of South Africa’ (1897), halaman 165-175—”Penghormatan yang telah berlangsung selama 200 tahun di kalangan orang Melayu, di Tanjung Twon, dapat dibayangkan jika Syekh Yusuf bukanlah orang biasa”. Dirinya tidak saja berdarah bangsawan, akan tetapi juga seorang individu yang taat, serta tidak sewenang-wenang. Syekh Yusuf merupakan seorang pejuang, seorang penulis, seorang sarjana, bahkan seorang pria saleh yang fasih dalam masalah agama.
Syekh Yusuf beserta rombongan kemudian tiba di bagian paling selatan Afrika Selatan, pada 2 April 1694 jam 15.00 waktu setempat, tanpa keadaan dirantai, bahkan dirinya ditemui pejabat perusahaan. Syekh Yusuf lalu dibawa pergi ke Kastle, di Cape Twon, tidak jauh dari pelabuhan. Setelah tiba di pengasingan, rombongan kemudian melaksanakan
sholat maghrib pertama di Kastle. Kehadiran Islam di Tanjung Dua, pertama kali dibuktikan dengan dilaksanakannya sholat maghrib tersebut. Syekh Yusuf tinggal di Kastle, selama 72 hari, bersosialisasi dengan tentara India yang disewa oleh para Kompeni, serta pekerja Kastle. Mereka lambat laun mulai bersimpati bahkan terpengaruh dengan kepribadian seorang Syekh Yusuf, sayangnya mereka mulai khawatir jika Kastle akan terjerumus pada dalam kekacauan.
Pada akhirnya, diputuskanlah agar rombongan Syekh Yusuf untuk dipindahkan ke daerah Zandvleit, dekat muara sungai Eerste, di Cape, 36 kilometer dari pusat kota Cape. Peternakan Pastor P. Kalden terletak di daerah tersebut, dekat Faura Hill dan menghadap ke False Bay. Para Kompeni menilai jika pembuangan Syekh Yusuf ke Zanvleit, sebagai langkah yang tepat, karena tempat tersebut dirasa aman dari status terdakwa, sebagai “musuh daging” bagi kekuasaan Belanda di Hindia Timur. Hindia Timur serta Afrika Selatan, merupakn dua dari usaha Kolonial Kompeni, yang harus disembunyikan dari seorang syekh Yusuf.
Pada akhirnya, pesona dari seorang Syekh Yusuf kemudian menyebar hingga ke desa-desa lainnya di sekitar Zandvleit, syekh Yusuf berhasil mempengaruhi desa-desa kulit hitam, khususnya seorang budak yang dibeli di Indonesia, India Melayu, Madagaskar, serta Ceylon yang sebelumnya datang untuk bekerja di perkebunan anggur, dan industri milik perusahaan di sana.
Pada proses pengasingan ke Afrika Selatan, terjadi pada dua gelombang pengasingan para tahanan politik yang tiba di Cape Town. Pertama, pada tahun 1658, yang merupakan pendatang Muslim dari Banda-Ambon yang tiba di Cape Town, serta dikenal sebagai ‘MARDYCKERS’, atau orang yang bebas. Nama tersebut diberikan agar membedakannya dari praktik pengiriman budak. Portugis merupakan pihak yang pertama kali mengasingkan orang-orang bebas, yang kemudian diikuti oleh Belanda. Syekh Mahmud Al Qadri dan Syekh Abd. Rahman Matebe Shah, merupakan bagian dari gelombang kedua pengasingan politik, yang dikenal sebagai ‘orang Cayen’ atau ‘orang kaya’. Mereka ditempatkan pada wilayah yang berbeda, satu ditempatkan di pulau Robben, sedangkan yang lain ditempatkan di tengah hutan Konstantin. Mereka berdua berasal dari Sumatera, khususnya dari Silebar, dan Barus, dengan tangan beserta kaki yang dibelenggu ketika tiba. Mereka berdua ditangkap ketika mengumpulkan hasil pertanian dari Sumatera, orang kaya tersebut dianggap mengganggu monopoli perdagangan atas Kompeni.
Kapal “Polsbroek”, yang meninggalkan Batavia pada 24 Januari 1667, dan mendarat di Cape Town, pada 13 Mei 1667, merupakan kapal yang mengangkut orang kaya tersebut. Tawanan yang dikurung di Pulau Robben dianggap oleh kompeni merupakan tahanan paling berbahaya, sehingga rantai yang dipasangkan terus menempel di tangannya hingga dirinya meninggal, serta ia dimakamkan di pulau itu juga. sementara yang lainnya dimakamkan di wilayah Konstantin.
Syekh Yusuf merupakan rombongan yang mendarat di Cape pada tahun 1694, yang sekaligus sebagai gelombang ketiga pengasingan politik. Dikarenakan prestise serta kekuasaan kompeni di Hindia Timur, Ceylon, serta Afrika Selatan, membuat rombongan Syekh Yusuf menetap di bagian terpencil Zandvleit, mereka hidup bebas tanpa kehidupan, akan tetapi juga bukan warga negara, akibat status mereka yang masih menjadi tawanan atau dipenjara. Menurut arsip Cape, ada sekitar 270 Muslim di Cape pada tahun 1667. Kemudian, pada tahun selanjutnya mereka bergabung bersama dengan orang-orang buangan politik Muslim lainnya, yang kemudian menghasilkan perkembangan yang cukup cepat, yang akhirnya bercampur dengan Muslim dari belahan dunia Islam lainnya yang memasuki kota-kota di Afrika Selatan.
Syekh Yusuf merupakan orang yang terlibat dalam pengembangan Islam di Ceylon serta di Afrika. Peran Syekh Yusuf ialah agar meningkatkan pendidikan Islam pada kalangan pengikutnya sendiri. Pada akhirnya, Syekh Yusuf masuk dalam golongan budak, status tersebut sama dengan tahana yang lebih awal dibawa ke Afrika. Syekh Yusuf beserta ke 12 muridnya, dan orang buangan lainnya, akhirnya berhasil mendirikan sebuah komunitas Muslim di Afrika. Komunitas Muslim tersebut dikenal sebagai orang Slamaajer di kalangan penulis barat.
Penulis : Ilham Aulia Japra