By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Sekali Peristiwa di Cikande Udik (Pasca Pemberontakan Nyai Gamparan) Bagian I
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Budayaopini

Sekali Peristiwa di Cikande Udik (Pasca Pemberontakan Nyai Gamparan) Bagian I

Last updated: Februari 6, 2024 12:08 pm
1 tahun ago
Share
6 Min Read
SHARE
Damar Banten - Pemberontakan yang dilakukan oleh Nyai Gamparan di tanah partikelir Cikande, telah banyak mempengaruhi perubahan besar terhadap kepemilikan atas tanah tersebut. Akan tetapi, dampaknya justru tidak sebanding dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tahun 1845 di Cikande Udik. Sejak dilepaskan oleh pemilik lamanya di tahun 1836, para tuan tanah yang baru sangat dijamin keamanannya oleh pemerintahan kolonial, serta diharapkan dapat memasok hasil produk tanaman yang lebih besar dan bisa memaksimalkan produk di Cikande Udik dan Cikande Hilir. 

Tercatat, bahwa pada jangka waktu beberapa tahun saja tanah di Cikande Udik sanggup menghasilkan produksi hingga empat kali lipat lebih banyak, dibandingkan dengan hasil produksi yang dicapai ketika sebelum-sebelumnya. Sedangkan, di Cikande Hilir sanggup memasok hingga 20 ribu pikul beras sekalipun prioritas utama dalam penanaman di ke dua tanah itu, bukan ditujukan untuk komoditi ekspor yang sangat diharapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun demikian tetap saja hal tersebut dianggap penting dalam memasok tanaman pangan bagi kebutuhan pemerintah, serta masyarakat sehingga bisa mengantisipasi terjadinya kelaparan, selama sistem cultuurstelsel berlangsung di daerah tersebut.

 Guna memaksimalkan produktivitas atas tanah dengan menerapkan manajemen target kuota dari hasil bumi yang dapat dijual, untuk itu seorang Administrator Yang bernama Pes yang diangkat oleh P.S.J. Kamphuis, menerbitkan sebuah peraturan baru yang diberlakukan pada pengelolaan tanah Cikande Udik, peraturan tersebut merupakan penetapan atas daya produksi tertentu serta memungut 1/5 dari hasil panen yang diperolehnya.

Dengan begitu, sistem leasing yang diadopsi dapat menghasilkan sebuah peluang baik atau buruk hasil panen, ditentukan dengan mengorbankan para petani. Hal tersebut tentu saja telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang khawatir jika kuota produksinya tidak dapat tercapai, yang nantinya akan berdampak pada mereka serta akan mendapatkan hukuman dari si pemilik tanah. 

Kendati demikian, sekali waktu kegagalan panen pada pertengahan tahun 1844, telah menyebabkan tanah partikelir perlu untuk mengimpor beras dari daerah lain. Akan tetapi, kegagalan panen tidak saja terjadi di tanah Cikande, melainkan justru di seluruh Karesidenan Banten. 

 Namun, ketika pertengahan tahun 1845, panen di tahun itu akhirnya berhasil di Banten, sehingga bisa menjadi pemasok beras bagi daerah lainnya, terutama di Jawa Timur yang kala itu sedang mengalami paceklik. Penjualan atas produksi pangan ke luar Banten dianggap sangat menguntungkan bagi pemilik tanah serta pemerintah, alhasil Pes sampai memaksimalkan produksi padi guna menutup deficit yang diakibatkan musim paceklik di tahun sebelumnya.

  Namun di sisi lain, Pes juga menyadari jika memaksimalkan produksi justru akan mengakibatkan semua beras akan hilang dari Cikande Udik, serta penduduk akan kembali mengalami kesulitan pangan seperti di tahun sebelumnya. Hal tersebut yang kemudian mendorong Pes agar berusaha untuk mengambil strategi lain dengan cara menaikkan pajak tanah, guna menutupi pajak penduduk terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dibayarkan melalui pemilik tanah. 

Sehingga dengan strategi kenaikan pajak itu mendapatkan hasil keuntungan dari penjualan beras tersebut. Selain itu, Pes bahkan menerapkan peraturan lainnya, yaitu hewan ternak akan dikenakan pembayaran pajak. Kondisi semacam itu telah menambah keresahan sosial di kalangan masyarakat yang sudah cukup terbebani, atas penerapan kebijakan pajak yang dilakukan Pes.

 apalagi ketika hasil panen serta pajak tidak dapat terpenuhi, maka para petugas diberi kewenangan agar membawa benda apapun yang ada di rumah masyarakat. Di antara masyarakat yang sangat khawatir atas penerapan dari peraturan baru yang dibentuk di Cikande Udik, ialah Amier dari desa Bajoekoe yang rumahnya terpaut 1 ½ pos dari rumah elite bangsawan Banten.

 Amir menyatakan, "jika ketika dirinya beserta saudaranya kehabisan padi guna membayar pajak yang belum dibayarkan, mereka mau tidak mau harus membayarnya dengan cara menjual dua ekor kerbau miliknya."

Selanjutnya Amier juga mengatakan, "jika Pes semestinya perlu mendiskusikan terlebih dahulu mengenai masalah tersebut kepada kepala desa," Namun administrator Mr. P justru malah menyuruhnya untuk pergi jika merasa ada masalah dalam kebijakan di Cikande Udik. Situasi tersebut memaksa Amier untuk mencari solusi lain guna menyelesaikan berbagai masalah yang tengah dihadapi oleh para petani, serta para penduduk di  Cikande Udik. 

Pada akhirnya, para petani kemudian berhasil menemukan jawabannya dari seorang tokoh yang mereka anggap sakti dan mempunyai darah keturunan sultan, yang bernama Bapak Sarientan yang tinggal di Rangkas Kole, Cikande Udik. Sarientan merupakan salah seorang tokoh yang kala itu yang sangat dihormati di antara orang-orang di Cikande Udik, bahkan pernyataan-pernyataannya sudah dianggap sangat menentukan serta mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat.

Sarienta sendiri berasal dari Desa Gerdoek, dusun Rangkas Kole yang letaknya di atas tanah Cikande Udik. Bagi masyarakat, sosok Sarientan dianggap sebagai orang yang pandai dalam strategi politik bahkan salah satu provokator utama pada peristiwa pemberontakan Cikande Udik. Dirinya sudah mendapatkan pendidikan spiritual pribumi serta menjalankan fungsinya sebagai guru ngaji yang kharismatik, bahkan sangat dihormati oleh para masyarakat di Cikande Udik.
 Pada saat Amier menyampaikan mengenai situasi keberatannya atas kebijakan kolonial Belanda, Sarientan lalu menyampaikan jika permasalahan yang dirasakan oleh para petani hanya dapat diselesaikan dengan gerakan sosial, yang itu memperlukan kekerasan
guna melawan para Tuan tanah beserta pemerintah kolonial Belanda.
 Bapak Sarientan kemudian menanamkan gagasan milenarisme guna membangkitkan serta menanamkan semangat bagi para petani, dalam menghadapi kebijakan kolonial
Belanda yang sudah menyengsarakan kehidupan para petani, dengan pergolakan jihad
dalam melawan penguasa kafir.

Penulis: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Wagub Banten A Dimyati Natakusumah: Pemimpin Harus Cerdas, Berakhlak dan Komunikatif
Empat Syarat Sah Hewan Kurban
Europa Universalis V Rilis,  Anda Serasa Tokoh Hebat Dunia
Ini 6 Keutamaan Berkurban, Salah Satunya Mengantarkan ke Surga
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Prabowo : Pangan dan Energi Pilar Kedaulatan Bangsa

1 bulan ago

Quo Vadis Koperasi Merah Putih

2 bulan ago

Mengenal Makna Waisak

2 bulan ago

Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang

2 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?