Damar Banten – Pada Jumat, 3 Oktober 2025, saya berkunjung ke Islamic Museum of Australia di Thornbury, Melbourne, Australia. Museum ini menampilkan sejarah Islam, mulai dari pengenalan singkat tentang Nabi Muhammad saw. hingga perjalanan Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Australia.
Ada dua hal yang paling menarik bagi saya. Pertama, tentang sejarah Dark Ages di Eropa. Kita sering diajarkan bahwa dari abad ke-5 hingga sekitar abad ke-15, Eropa mengalami masa kegelapan. Namun museum ini memperlihatkan sudut pandang lain. Di tengah-tengah Dark Ages itu ada masa-masa di mana dunia Islam justru mengalami masa keemasan. Masa kejayaan Islam, yang sering disebut Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age), terjadi antara abad ke-8 hingga abad ke-13 Masehi (sekitar tahun 750–1258 Masehi). Di saat Dark Ages sedang terjadi di hampir seluruh Eropa, dunia Islam justru sedang memainkan peran sentral dalam mengembangkan berbagai bidang ilmu, dari astronomi, kedokteran, perdagangan, ekonomi, hingga teknologi. Baghdad, Kairo, hingga Cordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan, kedokteran, filsafat, dan seni. Nama-nama seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd menjadi mercusuar peradaban. Jadi sesungguhnya Dark Ages tidak sepenuhnya gelap.

Hal kedua yang menarik bagi saya adalah sejarah awal kedatangan orang-orang non-Aborigin ke Australia. Ternyata, sebelum bangsa Eropa tiba, kelompok nelayan Makassar dari Sulawesi Selatan sudah lebih dahulu menginjakkan kaki di pesisir utara Australia pada awal 1700-an. Mereka berlayar dengan kapal pinisi, berdagang teripang, dan menjalin hubungan dengan masyarakat Aborigin di sana. Hubungan ini meninggalkan jejak budaya, bahasa, bahkan garis keturunan yang masih ada hingga kini. Fakta ini memberi gambaran bahwa Islam punya sejarah panjang dalam lanskap Australia, jauh sebelum gelombang migrasi Eropa. Baru pada 1770, James Cook dari Inggris mendarat di pantai timur Australia dan catatannya menjadi dasar kolonisasi Eropa. Perbandingan ini menunjukkan bahwa interaksi masyarakat Islam dengan Australia berlangsung jauh lebih awal dibandingkan kedatangan resmi bangsa Eropa.
Islamic Museum of Australia ini tidak berhenti pada kisah sejarah. Ia juga mengajak pengunjung memahami Islam sebagai jalan hidup yang menyentuh aspek keadilan, kesetaraan, lingkungan, moralitas, keluarga, dan sebagainya. Di salah satu dinding, terpampang beberapa ayat Al-Qur’an. Misalnya:
“O you who have believed, be persistently standing firm in justice, witnesses for Allah, even if it be against yourselves or parents and relatives.” (Surat An-Nisa 4:135)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, sebagai saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.”
Juga ada hadis Nabi berbunyi:
“Among the inhabitants of Paradise are those who wield authority and are just and fair.” (Sahih Muslim, 2865a)
“Di antara penghuni surga adalah mereka yang memiliki kekuasaan, lalu berlaku adil dan jujur.”
Keduanya jelas menunjukkan bahwa salah satu hal terpenting dalam ajaran Islam adalah keadilan.
Tidak jauh dari situ, saya juga menemukan panel tentang kesetaraan.
“And We have certainly honored the children of Adam.” (Surat Al-Isra 17:70)
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam.”
Ada pula hadis Nabi yang berbunyi:
“No Arab has superiority over a non-Arab, and no white has superiority over a black, and no black has superiority over a white, except by piety and good action.” (Musnad Ahmad, 23536)
“Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, tidak pula orang putih atas orang hitam, dan tidak pula orang hitam atas orang putih, kecuali atas dasar ketakwaan.”
Ini adalah pesan kesetaraan yang sangat kuat dan masih relevan hingga sekarang. Tidak hanya bagi Australia yang multikultural, tapi juga bagi dunia yang tengah dilanda begitu banyak ketidakadilan dan prasangka berbasis ras dan agama.
Aspek lingkungan juga mendapat sorotan di museum ini. Sebuah panel mengutip firman Allah:
“Do not waste by extravagance. Indeed, He does not like those who commit excess.” (Surat Al-An’am 6:141)
“Janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam konteks ekologi, ayat ini mengingatkan manusia bahwa sebagai khalifah di bumi manusia justru harus menjaga keseimbangan dan menjaga bumi. Bukan melakukan tindakan berlebihan dan merusaknya – seperti yang banyak terjadi sekarang ini.

Di sudut lain ada pesan Islam tentang tentang keluarga:
“And among His signs is that He created for you from yourselves mates that you may find tranquility in them; and He placed between you affection and mercy.” (Surat Ar-Rum 30:21)
“Di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian kasih sayang dan rahmat.”
Museum unik ini juga menampilkan pandangan beberapa tokoh dunia tentang Nabi Muhammad saw. Karen Armstrong dalam Muhammad: A Prophet for Our Time menuliskan,“The emancipation of women was a project that was very close to the Prophet’s heart.” Di sini Armstrong menegaskan bahwa Nabi Muhammad sangat peduli terhadap hak, kedudukan, dan peran perempuan dalam masyarakat – sesuatu yang selama ini masih sering tak dipahami.
Sir George Bernard Shaw (1856-1950), yang pernah memenangkan Nobel berpendapat, “He was a religious teacher, a social reformer, a moral guide, an administrative colossus, a faithful friend, a wonderful companion, a devoted husband, a loving father- all in one. No other man in history ever excelled or equalled him in any of these different aspects of life.” Artinya kira-kira, “Beliau adalah seorang guru agama, pembaharu sosial, panutan moral, tokoh administrasi yang besar, teman yang setia, sahabat yang luar biasa, suami yang penuh pengabdian, dan ayah yang penyayang – semuanya ada. Tidak ada orang lain dalam sejarah yang pernah menyamainya dalam berbagai aspek kehidupan yang berbeda.”
Sementara seorang penulis besar asal Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910), berpendapat, “If Muhammad returned today, he would disown those who commit violence in his name, just as Christ would disown the Inquisition.’ (The Kingdom of God is Within You, 1894, Chapter 11).
Masih banyak lagi sisi lain yang menarik dari Islamic Museum of Australia, seperti penghargaan masyarakat muslim terhadap Aborigin dan penduduk asli Australia lainnya, serta perkembangan terkini masyarakat muslim di Australia. Di museum ini juga ada ruang pertemuan, tempat pameran seni, ruang podcast, dan kafe.
Keluar dari museum tersebut, saya merasa membawa pulang lebih dari sekadar pengetahuan sejarah. Museum ini menyajikan kisah Islam di Australia, yang dengan jernih mampu menyatukan masa lalu dan masa kini, yang bermanfaat bagi masa depan kemanusiaan. Ia juga mengingatkan kembali nilai-nilai Islam yang sesungguhnya seperti keadilan, kesetaraan, kasih sayang, dan penjagaan bumi. Nilai-nilai tersebut tetap relevan di tengah masyarakat multikultural seperti Australia, juga bagi masyarakat di seluruh dunia.