Delapan Sekolah Khusus di Provinsi Banten berkontestasi dalam pertunjukan teater boneka. Bertempat di Rumah Dunia, Kota Serang, mereka tersebar di tiap sudut lengkap dengan kostum, setting, dan properti. Hari Jum’at (11 April 2025) bukan hanya hari di mana mereka akan berlomba, tapi berekspresi di depan publik. Pertunjukan teater boneka yang akan mereka tampilkan merupakan usaha dan ekspresi dari seorang yang berkebutuhan khusus.
Pandita Serang, SKhN 01 Cilegon, SKhN 01 Serang, SKh Samantha Serang, SKh Mathallul Menes, SKh Darmawati Arif Tangerang, SKh Lebak, dan SKh Korpri Rangkasbitung merupakan sekolah pilihan panitia Festival Atraksi Boneka. Mereka dipilih sesuai dengan domisili seniman yang melatih mereka. Seniman yang diminta untuk melatih pun merupakan hasil dari pilihan panitia dan diberi pembekalan dalam acara Lokakarya Teater Boneka yang diselenggarakan pada 18 Februari 2025. Panitia merancang konsep pelatihan dari seniman hingga ke anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan langkah yang dinilai efektif karena menjaga kualitas konten yang akan diajarkan. Terlebih dalam ekosistem seni teater di Banten, teater boneka belum banyak dieksplorasi. Hal ini menjadi ruang tersendiri untuk eksplorasi seniman dan anak berkebutuhan khusus. Akhirnya perlombaan ini bukan hanya soal berlomba, tetapi perlombaan ini dibangun oleh beberapa kegiatan pendukung sebelum akhirnya dilombakan.
Jika melihat skema yang demikian, saya pikir makna dari perlombaan bukan menjadi sasaran utama. Ia berkamuflase agar sekolah lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan. Bagi sekolah ini ruang bagi siswanya untuk mengembangkan diri lewat perlombaan, tetapi bagi seniman dan panitia ini adalah proses pendidikan melalui seni teater. Memang tidak ada salahnya, karena pada dasarnya acara ini menyangkut banyak orang dan perlu menemukan sinergisitas. Apalagi kegiatan ini berhubungan dengan membuka ruang-ruang inklusif pada masyarakat.
Sepengetahuan saya, ruang perlombaan untuk anak berkebutuhan khusus di Banten hanya hadir dalam Lomba Keterampilan Siswa Nasional (LKSN) yang diselenggarakan sekali setahun. Melihat kehadiran lomba ini bukan hanya membuka ruang pengembangan diri baru bagi anak berkebutuhan khusus, melainkan membuka diri mereka pada publik. Karena LKSN biasanya ditonton oleh publik yang mengikuti lomba saja seperti guru, juri, siswa, dan panitia, bukan masyarakat luas. Kini anak berkebutuhan khusus menampilkan talenta-nya di depan publik dan ternyata tak jauh menakjubkan dari anak pada umumnya.
Ketika perlombaan dimulai, tema-tema cerita hingga kreativitas dalam menggarap pertunjukan beraneka ragam. Walau judulnya teater boneka, seniman tidak menutup kemungkinan untuk menyilangkannya dengan beberapa jenis seni lainnya. Misalnya pantomime, tari, solo vokal, hingga permainan multimedia dan animasi. Terlepas dari daya kreativitas, hal ini menimbulkan pertanyaan ”mengapa tidak fokus pada teater boneka?”. Pertanyaan tersebut memaksa untuk melihat bagaimana proses teater boneka. Apakah memang sulit?
Untuk menjawab hal tersebut, saya menyarankan untuk melihat terlebih dahulu publik yang dilibatkan dalam karya. Bisa jadi mudah menurut pandangan umum, tetapi tidak dalam pandangan inklusif. Ada batas-batas yang hadir baik secara fisik maupun psikis antara pelatih dan anak berkebutuhan khusus. Tentu hal tersebut menjadi masalah dalam proses, sehingga perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud ialah pedagogi dan pilihan artistik. Bagaimana menempatkan diri sebagai seniman dan memfasilitasi aktor yang terlibat.

Dalam pertunjukan yang disajikan, bisa dilihat bahwa beberapa seniman yang memiliki kecenderungan memanfaatkan talenta yang sudah melekat pada individu berkebutuhan khusus. Misalnya SKh Mathallul Menes menyajikan solo vokal di klimaks pertunjukan. Ia memberi atmosfir pada adegan perpisahan yang terjadi di kelir. Dari caranya menyanyi, ia mahir bermain teknik vokal. Sehingga produksi vokal yang dihasilkan tidak terdengar dari seorang pemula.
Namun, talenta yang dihadirkan kurang dicari relasinya dengan teater boneka. Bagaimana seharusnya talenta-talenta yang dimiliki dapat membangun teater boneka itu sendiri, bukan menjadi 1 bagian yang asing dari teater boneka. Hasilnya pertunjukan menjadi seperti gado-gado. Talenta tiap individu mungkin dapat menonjol, tetapi sayangnya sama sekali tidak ada relasinya dengan teater boneka. Seniman perlu memikirkan komposisi dan di sisi yang lain memikirkan strategi penggarapan.
Di sini seniman memang memegang peran yang krusial. Di samping ia dibekali oleh disiplin ilmu seni, ia pun berperan sebagai pelatih atau guru untuk anak berkebutuhan khusus. Seniman memegang hierarki tertinggi dalam garapan. Apalagi jika menggunakan perspektif diskriminatif dengan melihat seniman sebagai seseorang yang berdaya karena bukan disabilitas. Berbicara mengenai ini, bagaimanakah seniman memposisikan diri sebagai seseorang yang inklusif? Saya berpendapat untuk melihat kembali tujuan dari proses teater ini.
Dalam balutan ambiguitas, hasrat untuk memenangkan kompetisi teater dapat menjadi dorongan motivasi di kelompoknya. Namun, dapat juga melahirkan dominasi di mana peran penting akan diambil alih oleh seseorang yang superior dalam kelompok tersebut. Bentuk-bentuk yang muncul terlalu sutradara-sentris – tidak ada sentuhan kerja seni kolektif. Ia dapat memilih untuk bersikap inklusif dalam proses dan membangun kesadaran agar memperkuat karakter dan motivasi anak berkebutuhan khusus dalam menghadapi dunia – memfungsikan seni pada hal yang lebih penting.
Kang Adi, pengasuh seni anak berkebutuhan khusus dari Galeri PlaAstro Bandung mewejangi saya bahwa, seharusnya kita tidak memandang mereka sebagai seseorang yang selalu dikasihani. Lalu dalam segi ekspresi pun mereka harus didominasi. Mereka mampu dan memiliki dunia yang barang kali kita tidak mengerti. Memahami dunia mereka ialah cara menghargai keberagaman umat manusia. Dalam pertunjukan, mereka fokus dan berdedikasi pada pertunjukan. Sesekali harus menunggu bisikan dari pelatihnya dari wing panggung. Tertekan, santai, hingga bersemangat tertuang dalam pertunjukan hari Jum’at itu. Rasanya seniman yang harus banyak belajar dari mereka. Jangan-jangan memang mereka yang mampu ”memerdekakan” kita.
Penulis : Rizal Sofyan