Damar Banten – Ketika Belanda sudah jatuh di tangan Prancis—akibat gempuran bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Prancis, dalam rentang waktu Desember 1794 hingga Januari 1795. Seketika hampir seluruh daratan Eropa jatuh di tangan Perancis, terkecuali Inggris. Setelah Belanda jatuh, Perancis Bergegas membentuk pemerintahan boneka mereka di Belanda, dengan membubarkan pemerintahan resmi Heeren XVII serta menggantinya dengan sebuah komite baru.
Pada tahun 1806, Napoleon kemudian mengangkat Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon yang menjadi penguasa baru itu pun lantas mengirimkan Herman Willem Daendels ke Hindia Belanda, untuk mengamankan daerah tersebut dari serangan Inggris yang ada di India.
Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa Inggris merupakan musuh besar dari Perancis. Belanda yang saat itu sudah jatuh ke tangan Perancis secara otomatis menyebabkan Belanda akhirnya menjadi musuh Inggris juga. Louis Napoleon membutuhkan figur agar dapat mengamankan pulau Jawa, yang sebagi mana telah menjadi sentral kekuasaan dari Belanda di kawasan samudera Hindia serta Asia Tenggara.
Dapat dikatakan bahwa Herman Willem Daendels merupakan seorang pemuja prinsip–prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dirinya kemudian membawa gagasan-gagasan pembaruannya dengan cara memberantas ketidakefisienan, penyelewengan, serta korupsi, yang acap kali terjadi, terutama di pulau Jawa yang menjadi pulau sentral kekuasaan Belanda.
Di tanggal 1 Januari 1808, Daendels kemudian tiba di pelabuhan kecil dekat Banten. Ketika telah sampai di Batavia, Deandels kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota yang baginya dirasa tidak sehat, dan kemudian pindah ke Buitenzorg (Bogor). Daendels pada akhirnya mulai bekerja memberantas korupsi, menata administrasi, menata jalan dan benteng.
Bagi Deandels, Bidang pertahanan adalah persoalan yang utama, karena dirasa bagi Daendels saat itu, sangat lemahnya angkatan bersenjata serta pertahanan di Jawa terhadap serangan Inggris. Akhirnya, Daendels kemudian membuat dua kebijakan mendesak guna memperkuat pertahanan di Hindia-Belanda. Kebijakan yang pertama dilakukan Daendels pada bidang pertahanan ialah melakukan rekruitmen terhadap kaum pribumi serta kemudian nantinya dilatih menjadi militer (milisi). Kebanyakan serdadu Bumiputera tersebut berasal dari Manado, Jawa, serta Madura. Dengan begitu, Deandels kemudian berhasil menambah jumlah angkatan bersenjatanya mencapai 18.000 hingga 20.000 serdadu.
Pada semua usaha telah Deandels jamah guna mendukung kelengkapan pada bidang militer tersebut. Seperti contoh, guna menyediakan perlengkapan seragam militer, para petani kemudian dipaksa untuk memintal benang dan menenun kain. Para pengrajin gamelan yang ada di
Semarang, kemudian diubah menjadi pekerja pabrik mesiu untuk keperluan senjata. Sementara itu, sentra pengrajin peralatan dapur tembaga di Gresik diubahnya menjadi pabrik senjata.
Kemudian Koningsplein (Lapangan Merdeka) diubahnya menjadi tempat latihan militer, serta membangun pangkalan angkatan laut di Surabaya. Kemudian kebijakan kedua yang dilakukan Daendels pada bidang pertahanan ialah membangun Grote Postweg (Jalan Raya Pos), dari Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut panjangnya kurang lebih 1000 km, pembangunan jalan tersebut guna mendukung mobilitas militer, terutama
menjaga pos-pos pertahanan penting di sepanjang pantai utara Jawa.
Pada saat itulah kemudian sistem kerja rodi diberlakukan oleh Daendels, guna memperlancar proyek raksasa tersebut. Kerja rodi diberlakukan karena tuntutan Waktu yang sangat mendesak dan banyaknya tenaga yang dibutuhkan—akhirnya Deandels memiliki untuk memberlakukan kerja rodi. Hingga saat ini, pengerjaan dari proyek Jalan Raya Pos tersebut, saat ini dikenal dengan Jalur Pantura.
Jalan raya Pos tidak saja memberikan keuntungan pada bidang militer, akan tetapi juga membawa arti penting bagi mobilitas ekonomi, sosial, serta politik. Pada bidang ekonomi misalnya, semakin banyak hasil produk kopi dari pedalaman Priangan yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu (sebelumnya tidak pernah terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi). Dalam bidang perhubungan misalnya, transportasi menjadi semakin mudah dan lancar. Jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat menjadi 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang dikelola oleh dinas pos. Mulai sejak saat itulah, nama jalan raya proyek Daendels ini dikenal dengan nama “jalan raya pos”.
Sementara pada bidang politik, Deandels merombak penuh pada soal administrasi. Daendels kemudian mengangkat semua bupati Jawa menjadi pejabat pemerintah Belanda, guna melindungi mereka atas pemerasan yang sering dilakukan oleh pejabat Belanda. Alhasil, Dewan Hindia yang saat itu memegang posisi penting di dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda, pada akhirnya tidak boleh lagi ikut berkuasa. Bagi Deandels, badan tersebut hanya menjadi embel-embel kekuasaan
gubernur Jenderal.
Daendels berupaya keras untuk melakukan pemusatan kekuasaan. Bagi Daendels, kekuasaan atas pejabat yang diwariskan VOC terlalu besar, yang menjadikan mereka mudah untuk memperkaya diri dengan cara korupsi. Dengan begitu, Daendels kemudian menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Serta Residen Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambil alih oleh pemerintah pusat Batavia.
Pada wilayah Jawa di luar dari pada kerajaan Surakarta serta Yogyakarta, kemudian dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Prefektorat, yang kelak pada masa pemerintahan Raffles berganti dengan nama Gewest (Karesidenan).
Kemudian, Daendels menjalankan pemerintahannya dengan cara menghilangkan model pemerintahan yang feodal, yang sedari awal sangat diutamakan oleh VOC. Akhirnya, hak-hak para Bupati mulai dibatasi guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan, apalagi soal yang menyangkut mengenai penguasaan atas tanah serta memanfaatkan tenaga rakyat. Status Raja yang pada masa VOC dianggap sebagai sekutu, akhirnya diturunkan statusnya menjadi pegawai biasa.
Penurunan atas status tersebut mengakibatkan hilangnya tanda kehormatan para Raja, semisal payung serta kereta kebesaran. Ketika masa pemerintahan Gubernur-gubernur Pra Daendels, para Residen Belanda diperlakukan layaknya penguasa raja-raja Jawa, yaitu, seperti rakyat yang harus duduk di lantai serta mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada Raja Jawa.
Bagi Daendels, seorang Residen tidak layak lagi diperlakukan semacam itu. Daendels berpikiran secara rasional bahwa—menganggap sikap terlalu menghormati Raja merupakan sesuatu yang berlebihan. Daendels akhirnya mengeluarkan beberapa peraturan guna menjelaskan kepada rakyat jika kekuasaan tertinggi berada di Batavia, dan bukan di tangan Raja-raja.
Perlu diketahui bahwa para Residen (pada masa pemerintahan Daendels disebut menteri), memiliki kedudukan sejajar dengan Raja, memakai payung seperti Raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, serta harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Residen datang ke keraton. Pada saat Residen bertemu di tengah jalan dengan Raja, Residen tidak perlu turun dari kereta, tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta Raja.
Daendels merupakan seorang yang sekuler. Kendati dapat terlihat dari keputusannya memisahkan kekuasaan negara serta kekuasaan agama. Kendati begitu, lembaga-lembaga agama masih tetap disubsidi, dengan begitu, Agama Katolik juga kembali diperbolehkan berkembang di Nusantara.
Bahkan Daendels sampai pada tahap merombak organisasi serta praktik pengadilan di Batavia, dengan cara melakukan pemisahan antara kelompok masyarakat yang berbeda dalam urusan peradilan. Bahkan Pengadilan berada mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat Prefektorat, yang anggota di dalamnya terdiri atas Bumiputera serta dua orang Belanda.
Pengadilan-pengadilan tersebut akan menghakimi setiap kasus yang melibatkannya orang Jawa berlandaskan hukum adat serta istiadat Jawa. Sedangkan, jika semua kasus yang
melibatkan orang asing (orang Eropa, Cina, Arab, Bumiputera non Jawa) akan ditangani oleh Dewan Peradilan berlandaskan undang-undang Hindia Belanda. Pengadilan tersebut didirikan di Batavia, Semarang, serta Surabaya.
Kendati demikian atas langkah Daendels pada setiap bidang, seperti pertahanan, administrasi negara, serta sisitem peradilan, tentunya akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ditambah dengan komoditas perdagangan dari dalam negeri tidak bisa dijual dan menumpuk di gudang pelabuhan akibat blokade laut yang dilakukan Inggris. Dengan kondisi tersebut, pada akhirnya Daendels mencari ide lain, salah satunya merupakan dengan menghidupkan kebiasaan lama VOC, tidak lain adalah dengan cara menjual tanah kepada pihak swasta disertai dengan memberikan hak kepemilikan.
Daendels sebetulnya sering menjual tanah luas di wilayah barat serta timur Batavia, namun, transaksi terbesarnya merupakan penjualan atas seluruh wilayah yang saat ini bernama kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kepada orang Cina, yang bernama Han Ti Ko, sebesar tiga setengah juta gulden.
Sekalipun banyak perubahan yang dilakukan oleh Deandels, reaksi terhadap kebijakan Daendels yang memberatkan penguasa lokal terjadi pada beberapa wilayah, serta yang paling keras terjadi di Banten. Para pekerja rodi yang menolak untuk membangun pelabuhan di Merak, mereka melarikan diri ke hutan. Residen Banten yang mengetahui kejadian itu, datang ke kesultanan untuk menuntut pertanggungjawaban dari Sultan. Sehingga Sultan akhirnya dibunuh hingga menyebabkan Daendels menjadi marah besar. Istana Sultan Banten sampai dihancurkan hingga hartanya dijarah. Sultan ditangkap dan dibuang ke Ambon.
Akhirnya, Daendels kemudian menunjuk keponakan dari Sultan untuk menjadi pengganti di Surosowan. Sementara itu, kejadian serupa juga terjadi di Yogyakarta, ketika Sultan Hamengkubuwono menolak diangkatnya Danurejo II sebagai Patih. Sultan Hamengkubuwono malah mengangkat Pangeran Natakusumah, sehingga membuat Daendels akhirnya menggempur Yogyakarta pada tanggal Desember 1810. Sultan Hamengkubuwono II diganti oleh putranya (Hamengkubuwono III). Kemudian pihak Belanda mendapatkan ganti rugi biaya atas perang tersebut sebanyak 500.000 gulden.
Pengaruh atas kebijakan yang diterapkan oleh Daendels pada bidang politik sangat
berkesan, terutama pada kebijakan penghapusan upacara kehormatan Raja-raja di Jawa,
yang kemudian menimbulkan kebencian yang mendalam, baik dari kalangan penguasa daerah, rakyat, serta orang-orang Belanda sendiri. Keputusan Daendels mengenai penghapusan penghormatan atas Raja-raja di Jawa dianggapnya sebagai perendahan martabat.
Deandels seakan meruntuhkan teori kekuasaan masyarakat Jawa yang menitikberatkan pada simbolisme raja sebagai sentral kekuasaan. Sedangkan kebencian rakyat kepada Daendels disebabkan atas penyerahan paksa tanaman kopi, serta kerja rodi tanpa upah untuk pembangunan jalan raya pos yang banyak menimbulkan kerugian baik materi maupun korban jiwa. Dean
Sedangkan, para petinggi Belanda yang membenci Daendels, seperti gubernur pesisir timur laut Jawa (wilayahnya mencakup Cirebon sampai ujung timur Jawa), Nicolaas Engelhardt yang juga jabatannya dihilangkan oleh Deandels, panglima angkatan laut Arnold Adriaan Buykens, serta Letkol Johannes van den Bosch yang dipecat hanya kerena Daendels jengkel kepada keduanya.
Di tahun 1810, Kaisar Napoleon mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan jika
negeri Belanda masuk kepada Imperium Prancis. Berita tersebut sampai ke Hindia Belanda disertai sambutan suka cita oleh Daendels. Kendati demikian, akibat tindakannya yang
terlalu otoriter, maka Napoleon memutuskan untuk memanggil pulang Daendels di tahun
1811, serta menggantikannya dengan seorang yang lebih moderat, yakni Jan Willem Janssens.
Sayangnya, Daendels meninggalkan Jawa ketika sistem pertahanan yang dibangunnya belum kuat, akibatnya pada tanggal 18 September 1811, Janssens menyerah akibat serangan dari Inggris. Peta kekuasaan pun akhirnya berpindah dari tangan Belanda ke tangan Inggris, walaupun demikian, Hindia Belanda praktis menjadi milik Inggris. Pada saat pemerintahan Inggris inilah, muncul suatu periode baru dalam sejarah Hindia Belanda, yaitu periode Liberal.
Penulis : Ilham Aulia Japra