Damar Banten - Berdasarkan hasil pertemuan rombongan Saleh dengan BR, Khaerul Saleh kemudian mengajak Wahidin Nasution pada kedudukannya sebagai Komandan Divisi 17 Agustus, serta Oya Sumantri sebagai Ketua PRJB untuk mengadakan rapat. Pada rapat yang diselenggarakan pada 6 Maret 1949, Saleh beserta kelompoknya menyatakan tidak sepakat terhadap keputusan konferensi. Rapat tersebut akhirnya memutuskan untuk mengembalikan nama PNKRI ke PRJB, serta mepertahankan kesatuan bersenjatanya yakni Divisi 17 Agustus, serta perjuangan tidak bertumpu diri terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Sejak hasil rapat tersebut, kemudian Hasan Gayo berserta Johar Nur dari kelompok Khaerul Saleh memperkuat PRJB. Di sepanjang bulan Maret 1949, konflik di antara Kesatuan Siliwangi serta laskar dapat dihindari. Selaras dengan itu, kemudian pada 6 April 1949, dibentuk sebuah Staf Gabungan Gerilya Jakarta Timur yang adalah pergabungan antara BR, SP88, serta Kesatuan Siliwangi di bawah pimpinan Mayor Sambas Atmadinata. Mereka kemudian bersama-sama melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Namun, kerja sama tersebut kemudian berakhir setelah tercapainya Persetujuan Rum - van Royen, yang berisi bahwa agar dapat menyelesaikan konflik antara kedua negara, dipilih jalan perundingan. Agar dapat menunjang persetujuan tersebut, diadakanlah kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata yang itu ternyata menjadi sumber perpecahan di antara laskar serta tentara. Pada sebuah pertemuan di minggu kedua bulan Agustus 1949, terjadi silang pendapat di kalangan Divisi 17 Agustus.
Wahidin Nasution beserta Oya Sumantri berpendapat jika Persetujuan Rum - van Royen adalah kemenangan akhir pemerintah Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, mereka kemudian menyerukan supaya anggota gabungan mengikuti kebijakan tersebut. Pendapat itu lalu ditentang oleh Khaerul Saleh beserta kelompoknya dari BR. Bagi Saleh, kesepakatan tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip revolusi nasional.
Akibat hal tersebut, berdasarkan gagasan Saleh diadakan lah pertemuan antara BR, SP88, serta Kesatuan Siliwangi di kampung Tonjong, lereng Gunung Sanggabuana, pada 6 Agustus 1949. Mayor Sambas Atmadinata sebagai pimpinan kesatuan Siliwangi menyatakan jika TNI perlu bersikap loyal, serta tunduk pada putusan gencatan senjata.
Pandangan yang sama juga disampaikan oleh SP88. Akan tetapi Hasan Gayo yang mewakili BR menyatakan sebaliknya, serta atas nama kelompoknya itu, Gayo bertekad agar meneruskan perjuangan. Pertentangan itu akhirnya menyebabkan bubarnya staf gabungan. Khaerul Saleh akhirnya memindahkan markasnya ke Pangkalan, di lereng utara Gunung Sanggabuana, Purwakarta.
Di pertemuan PRJB pada 1 September 1949, Oya Sumantri, memutuskan agar membubarkan pemerintah tersebut. Hal tersebut juga dilakukan oleh Wahidin Nasution kepada Divisi Gerilya 17 Agustus pimpinannya, serta Kemudian membebaskan para anggotanya supaya memilih jalan mereka masing-masing. Akan tetapi, Khaerul Saleh beserta kelompoknya kembali menentang keputusan tersebut.
Setelah pertemuan tersebut, di antara BR serta kesatuan Siliwangi sering kali terjadi bentrokan bersenjata, banyak anggota BR yang kemudian terbunuh. Kesatuan Siliwangi bahkan mendesak kedudukan BR, mereka akhirnya terusir dari markasnya, menyingkir menuju daerah Cibinong, Bogor Utara. BR masih tetap bertekad agar melanjutkan gerakannya. Pada tanggal 28 September 1949, mereka kemudian melaksanakan pertemuan rahasia di Jonggol, Bogor Utara.
Pada pertemuan tersebut, banyak di antara yang hadir menginginkan supaya BR mengkonsolidasikan kekuatannya di Banten Selatan. Pemilihan wilayah tersebut berdasarkan bahwa BR akan mendapat dukungan dari rakyat Banten. Hanya sedikit anggota yang menentang rencana tersebut, di antaranya Wahidin Nasution.
Penulis: Ilham Aulia Japra
Laskar Bambu Runcing Cikal Bakal “Tentara Rakyat” Bagian II

Tidak ada komentar