By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Memaknai Puitisasi Lukisan Sangkan Paraning Dumadi
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
opini

Memaknai Puitisasi Lukisan Sangkan Paraning Dumadi

Last updated: September 22, 2025 10:03 am
3 minggu ago
Share
8 Min Read
SHARE

Damar Banten – Di tengah ruang galeri Rplay Lombok, awal pekan ini,  seorang pelukis, Mantra Ardhana, menggelar dan  mendiskusikan karya-karya lukisannya dalam pameran bertajuk “Oxygen Poetry”.

Salah satu karya lukisannya, berlabel  “sangkan paraning dumadi”, diulik seniman Zaeni Mohammad dalam bentuk puisi. Judulnya sama persis dengan label lukisan Mantra.

Di hadapan kanvas yang menumpulkan jarak antara lautan warna dan keheningan penonton, Zaeni Mohammad membacakan puisinya.

Zaeni Mohammad

Sangkan Paraning Dumadi

ibu bumi bopo angkoso
kakang kawah adi ari-ari
papat kiblat limo pancer
sedulur tuwo sedulur enom
nini among kaki among
sing momongi jiwo rogoku
tak jaluk rewang
rewangono anggonku nyuwun
bismillah
Om
opo sing dadi pandongaku
bakal kawujud

aku bertanya
dan terus bertanya
siapakah aku
dari mana muasalku
akan kemanakah
kemudian aku

ya tubuh
kedirianku
ya daya aku
betapa ringkih
ya jasad aku
betapa rapuh
seonggok debu

aku berlayar jauh
menuju aku
berjalan jauh
menuju aku
aku dan aku
akuaku
aku

pada ruang sempit
sempit tak terlihat netra
pada ruang
melebar
memanjang luas
luas seluasnya
tak lagi terjamah
lima indera

manunggaling kawula gusti

ya tubuh aku
tak lagi wujud
ya daya aku
kuat tak terukur

ya jasad aku
ya mati aku

hidup
mati
hidup
mati

aku bertanya
dan terus bertanya
tak berujung pungkas

aku didalam aku
aku diluar aku

mengalir terus mengalir
daya hidup
berputar terus berputar
kencang berputar
sangat kencang berputar

hulu aku
bergerak
muara aku
segara tak bertepi

diam

Peta Kosmologis
Karya interpretasi  itu bukan sekadar sebagai puisi atau teks; ia membaca sebagai peta kosmologis yang merentangkan kelahiran, keberadaan, dan kembali.

Judul tersebut— dalam tradisi Jawa berarti “asal dan tujuan (kembali) dari adanya”—menggoda mata untuk mencari garis-garis asal: ibu bumi, bopo angkoso, kakang kawah, ari-ari—kata-kata yang sekaligus merangkum genealogis kosmik dan personal.

Dari sini, muncul dua pengamatan filosofis utama: pertama,  karya itu menegaskan tubuh sebagai locus pengalaman sekaligus fragmen debu; kedua,  karya tersebut mengundang kita memasuki ritme berulang; antara bertanya dan hening, antara bergerak dan menjadi diam.

Pada bait pertama, struktur kosmik teks membuka wacana tentang kedudukan manusia dalam tatanan yang lebih luas . Baris-baris awal—”ibu bumi bopo angkoso / kakang kawah adi ari-ari”—membawa kita pada sebuah pembacaan yang sakral, manusia terangkai dalam keluarga kosmos. Penggunaan kata-kata kultural (ibu, bopo, kakang) yang bersanding dengan unsur-unsur alam (bumi, kawah, ari-ari) menunjukkan bahwa identitas manusia tak pernah atomistis. Ia adalah simpul relasi.

Filosofisnya, ini merujuk pada pandangan holistik.  Eksistensi manusia bukan monopoli jiwa yang terpencar, melainkan jaringan keterkaitan dengan bumi, dengan leluhur, dengan pusat-pusat sakral (“papat kiblat limo pancer”).

Di sini, lukisan Mantra menjadi medium etnografis visual. Tubuh manusia dibaca sebagai hasil interaksi simbolik, bukan sebagai substansi tertutup.

Selanjutnya, teks mengutarakan “dialektika tubuh dan daya”: pengakuan “ya tubuh / kedirianku / ya daya aku” yang segera diikuti pengakuan kelemahan—“betapa ringkih / ya jasad aku / betapa rapuh / seonggok debu”—menggambarkan paradoks eksistensi. Tubuh adalah tempat berkunjungnya kekuatan dan kerentanan sekaligus.

Lukisan “sangkan paraning dumadi” karya Mantra Ardhana

Medan Ontologis

Dalam konteks lukisan, Mantra tampak mengajak kita menatap tubuh bukan sekadar representasi anatomi, tetapi juga sebagai medan ontologis—tempat dimana daya hidup, kerinduan, dan kesadaran bergesekan. Tubuh yang “seonggok debu” merujuk pada fragilitas manusia dalam skala kosmik; namun tubuh itu juga berlayar, berjalan jauh menuju “aku”—sebuah perjalanan intuitif menuju pusat subjektivitas yang selalu multipel: “aku dan aku / akuaku”.

Poros berikutnya dari bacaan Zaeni menyangkut “ruang pengalaman” : dari ruang sempit yang dibatasi indera ke ruang meluas yang “tak lagi terjamah lima indera”. Ini membawa kita pada pengalaman mistik fenomenologis—momen ketika keberadaan transenden menyingkap dirinya di luar kategori-kategori sensorik biasa.

Merleau-Ponty menulis tentang tubuh-sebagai-subjek yang menyingkap dunia; namun di sini adalah tubuh yang menyingkap dirinya sendiri dan, pada titik tertentu, menanggalkan wujudnya: “ya tubuh aku / tak lagi wujud / ya daya aku / kuat tak terukur”. Lukisan Mantra, bila diterjemahkan melalui kata-kata ini, bukan hanya mereproduksi rupa tubuh tetapi meramu ruang yang membuka kemungkinan pengalaman transindrawi—suatu estetika yang merangkul pengalaman batin yang tak terbatas oleh bentuk.

Satu hal pokok yang muncul berulang adalah *ritme berulang hidup-mati* : “hidup / mati / hidup / mati”. Pengulangan ini bukan sekadar gubahan retorik, melainkan pengakuan terhadap siklus eksistensial sebagai nadi yang tak pernah berhenti. Secara filosofis, ini menyalakan dialog antara Herakleitos dan tradisi-tradisi kebijaksanaan Timur: segala sesuatu mengalir, menjadi, lenyap, dan kembali.

Mantra menempatkan kanvas sebagai arena putaran itu: pigment, garis, sapuan kuas—semua menjadi metafora sirkulasi yang tak jemu. Dalam konteks “algoritma kehidupan” masa kini, bacaan ini tetap relevan: seni menampilkan siklus sebagai pola yang berulang namun selalu berbeda, selaras dengan gagasan bahwa identitas adalah proses, bukan substansi.

Selain dialog kosmik dan siklus, teks juga menegaskan *ketidaksudahan pertanyaan* : “aku bertanya / dan terus bertanya / tak berujung pungkas”. Ini adalah pilar filsafat: pertanyaan sebagai cara hidup.

Perjalanan Tanda Tanya

Lukisan Mantra, lewat teks yang diinterpretasi Zaeni, mengundang penonton menjadi subjek yang terus bertanya—tentang siapa, dari mana, dan ke mana. Tidak ada jawaban final; yang ada adalah perjalanan tanda tanya yang memelihara kepekaan. Relasi ini menggeser karya dari objek untuk dikonsumsi menjadi sarana untuk direnungkan—sebuah praktik estetika yang memelihara kebiasaan bertanya.

Pembacaan Zaeni juga menyingkap *dialektika dalam-dan-luar* : “aku didalam aku / aku diluar aku”. Di sini hadirnya kedua kutub memperlihatkan bahwa identitas tak pernah tunggal; ia simultan—innerity dan exteriority bertaut. Fenomena psikologis dan spiritual bertemu: kesadaran memantulkan dirinya, citra-diri dan dunia berinteraksi, sementara lukisan menjadi tempat pantulan itu. Dalam praktik penghayatan seni, ini mendorong penonton bergerak dari posisi pasif menjadi partisipan: melihat lukisan adalah juga melihat kembali diri.

Akhirnya, penutup teks dengan gambaran gerak—“mengalir terus mengalir / daya hidup / berputar terus berputar / kencang berputar”—diikuti kata tunggal yang monumental: *diam* . Diam di sini bukan kekosongan, tetapi kondisi puncak yang merangkum segala gerak: setelah berputar, setelah bertanya, setelah terfragmentasi, ada jeda hening yang merangkum makna.

Menuju Diam

Dalam tradisi meditasi dan estetika, diam adalah ruang pengetahuan non-diskursif. Mantra, lewat lukisannya, tampak menuntun kita menuju diam itu—sebuah undangan untuk meresapi keberadaan yang tak selalu harus diartikulasikan.

Sebagai kesimpulan reflektif: interpretasi Zaeni terhadap “Sangkan Paraning Dumadi” mengontekstualkan karya Mantra Ardhana sebagai laboratorium ontologis—sebuah tempat di mana tubuh dan asal, daya dan kelemahan, pertanyaan dan diam, dunia kultural dan kosmik—semuanya berkelindan.

Lukisan menjadi antarmuka yang memungkinkan penonton untuk menyusuri peta eksistensi: dari pangkal ari-ari hingga muara yang tak bertepi, dari keriput tubuh hingga napas tak terucap. Dalam galeri, di hadapan kanvas itu, kita tak hanya menyaksikan gambar; kita diajak berlayar pada arus yang menuntun kita pada satu kesadaran sederhana namun mendalam: bahwa menjadi manusia adalah sebuah perjalanan tanpa akhir antara bertanya dan diam, antara debu dan napas yang memberi ruang untuk bertanya lagi. (**)

Agus.K Saputra
#Akuair-Ampenan, 17-09-2025

You Might Also Like

Catatan dari Islamic Museum of Australia di MelbourneOleh: Swary Utami Dewi
Body Shaming terhadap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Krisis Etika di Era Demokrasi Digital
Gubernur Andra Soni Dorong Bank Banten Jadi Penyalur KPR Program 3 Juta Rumah
KH. Enting Abdul Karim: Generasi Qur’ani Harus Dibentuk Sejak Dini
Pentingnya Edukasi Perawatan Kulit di Era Digital
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Penyitaan Buku dan Kekeliruan Berpikir/LogikaOleh: Swary Utami Dewi

3 minggu ago

Banten Hadapi Tantangan Air, TKPSDA Bahas RAAT dan IKtA

4 minggu ago

Kuliner Legendaris Sejak Tahun 80-an di Kota Serang

4 minggu ago

Warkop Agam, Tempat Nongkrong Hits di Kota Serang

1 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?