By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Menuju Kehancuran II (Pemberontakan Ki Tapa dan Tubagus Buang)
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
BudayaFeatured

Menuju Kehancuran II (Pemberontakan Ki Tapa dan Tubagus Buang)

Last updated: Desember 17, 2023 12:45 am
2 tahun ago
Share
8 Min Read
SHARE

Damar Banten – Dikarenakan tingkah laku Sultan Haji yang ingin segera menjadi sultan, meskipun harus menentang serta menipu ayahnya, pada akhirnya Kompeni dapat menangkap Sultan Ageng. Akan tetapi, setelah Sultan Ageng wafat, Sultan Haji hanya dapat merajai Banten di bawah kekuasaan Kompeni. Karenanya, Sultan Haji dicap oleh rakyat Banten sebagai penjilat, pengkhianat, serta pemimpin munafik. Karena merasa tertekan oleh Kompeni, Sultan Haji jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tahun 1687.

Sultan Haji digantikan oleh anaknya Sultan Abu al Fadhal, yang memerintah hanya tiga tahun, 1687-1690, kemudian dilanjutkan oleh Sultan Abu al Mahasin Zainu al Abiddin sebagai sultan kesembilan. Sejak saat itu, Kesultanan Banten tidak mengalami kemajuan apapun. Hal tersebut dikarenakan adanya tekanan Kompeni yang sangat dirasakan oleh rakyat Banten, semisal kerja rodi serta monopoli perdagangan dan pertanian. Ketika Banten dipimpin oleh Sultan Muhammad Syifa Zainul al Arifin sebagai sultan kesepuluh, barulah Banten mengalami perubahan. Dirinya menjabat sultan pada tahun 1733-1750 dan kemudian digantikan oleh Sultan Syarifuddin Ratu Wakil sebagai sultan kesebelas pada tahun 1750-1752.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syifa Zainul al Arifin, terjadi sebuah pemberontakan, di antaranya merupakan perlawanan rakyat di bawah pimpinan Ki Tapa atau K.H. Tb. Musthafa, ulama yang berasal dari Gunung Muara. Rakyat yang saat itu menyaksikan bagaimana penguasa Keraton dikuasai oleh Belanda. Kesultanan tidak lebih hanya sekedar alat kompeni untuk memeras keringat rakyat. Terlebih lagi ketika Sultan Syifa Zainul al Arifin ditangkap dan dibuang ke Ambon atas hasutan Syarifah Fatimah pada tahun 1735.

Pada saat itu, Syarifah Fatimah diakui sebagai wakil sultan dan memakai gelar ratu. Hal tersebut merupakan penghinaan dan pengkhianatan terhadap penguasa dan rakyat Banten. Namun, dengan demikian, pengikut dan pecinta Sultan Ageng mendapatkan kesempatan bersama rakyat Banten melawan Belanda.

Ki Tapa, yang dibantu oleh bangsawan Banten, Tubagus Buang, dengan penuh semangat menyerang kedudukan Belanda dengan sekutunya hingga dapat merebut beberapa daerah Banten bagian barat. Mereka berusaha melumpuhkan kekuatan Belanda dan Syarifah Fatimah.

Bantuan pasukan Belanda yang datang dari Batavia dipukul mundur di tengah perjalanan. Belanda sadar bahwa pemberontakan yang sering terjadi itu merupakan perlawanan seluruh rakyat Banten untuk mengusir penjajah. Yang menarik justru di dalam perlawanan ini ikut pula Syarif Abdullah atau Pangeran Gusti, yang merupakan suami dari Ratu Fatimah sendiri.

Syarifah Fatimah pada akhirnya mendesak suaminya itu agar pergi ke Batavia. Di tengah perjalanan, atas usul Ratu Fatimah itu sendiri, Belanda berhasil menangkap Pangeran Gusti dan mengasingkannya ke Sailan. Hal tersebut terjadi pada tahun 1747.

Atas bantuan Kompeni, Syarifah Fatimah menghadiahkan daerah Cisadane serta separuh dari penghasilan tambang emas di Tulang Bawang, Lampung. Atas fitnah dari Syarifah Fatimah pulalah, Sultan Zainu al Arifin ditangkap Kompeni karena dianggap gila. Dirinya diasingkan ke Ambon hingga menemui ajalnya. Sebagai gantinya, diangkat Pangeran Gusti menjadi sultan kesebelas dengan gelar Syarifuddin Ratu Wakil pada tahun 1750.

Menyaksikan kenyataan tersebut, Gubernur Jenderal yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Fatimah kemudian diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Belanda mengangkat Pangeran Arya Adi Santika, adik Sultan Zainu al Arifin, menjadi wakil raja dan juga mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya.

Hal tersebut dimaksudkan agar supaya hati rakyat terobati dan tidak lagi mengadakan perlawanan. Akan tetapi, pada kenyataannya, semua itu tidak menyurutkan semangat perlawanan rakyat, karena yang mereka tuntut bukan sekedar itu, tetapi yang terpenting bagi rakyat Banten merupakan dapat mengusir Kompeni dari daerah Banten, sehingga mereka tidak mencampuri urusan dan perdagangan di dalam negeri.

Oleh sebab itu, rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang selalu mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota. Dalam penyerangan yang begitu besar yang dilakukan oleh kompeni, pasukan Banten dapat dipukul mundur hingga ke daerah pegunungan di Pandeglang. Mereka berusaha bertahan di sana, akan tetapi kemudian menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali, barulah Gunung Munara dapat dikuasai Kompeni, hingga Ki Tapa dan pasukannya tersingkir ke daerah Bogor dan Banten selatan.

Sementara itu di Surasowan, pada tahun 1752, Kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi sultan keduabelas dengan gelar Sultan Abu al Ma’ali Muhammad Wasi’ Zainu al Alimin. Ia ditempatkan sebagai putera mahkota dengan perjanjian yang isinya sebagai berikut:

a. Banten berada di bawah kekuasaan penuh Kompeni, walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan,

b. Sultan akan mengirimkan utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti lada yang jumlahnya ditetapkan Kompeni,

c. Hanya Kompeni yang boleh mendirikan benteng di Banten,

d. Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada Kompeni,

e. Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan oleh Kompeni.

Demikian dengan adanya perjanjian tersebut, para pangeran dan punggawa menjadi marah, termasuk juga Pangeran Gusti. Rakyat Banten akhirnya bergolak, mengangkat senjata serta mengadakan melakukan perlawanan. Mereka kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman. Pada akhirnya Diadakanlah kembali serangan serentak dari dalam dan luar kota. Pasukan dari kedua tokoh tersebut mengadakan penyerangan dari luar, sementara itu rakyat yang dipimpin oleh para pangeran dan punggawa menentang Kompeni dengan melakukan kekacauan dari dalam kota. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota Surasowan.

Dengan susah payah, pada akhirnya Kompeni berhasil melumpuhkan serangan. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priangan. Setelah terjadi perang di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya, Ki Tapa pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pejuang di sana. Ratu Bagus Buang hingga tahun 1753 tetap konsisten melakukan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan dari rakyat, Sultan Abu al Ma’ali Muhammad Wasi Zainu al Alimin menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Gusti yang sekaligus dinobatkan menjadi sultan ketigabelas dengan gelar Sultan Abu al Nasr Muhammad Zainu al Asyikin.

Demikian teguh dan tegar, TB. Buang mempertahankan Banten dari Grogotan Belanda, hingga namanya begitu kharismatik di kalangan rakyat. Bahkan, karena tidak diketahui wafatnya, sebagian masyarakat masih percaya Ratu Bagus Buang hingga kini masih hidup.

Pangeran Gusti kemudian memegang pemerintahan Banten selama 20 tahun, dari 1753-1773, hingga digantikan oleh puteranya, Sultan Abu al Mafakir Muhammad Aliyudin I, sebagai sultan keempat belas, yang memegang kekuasan selama 26 tahun, 1773-1799. Akibat tidak mempunyai anak laki-laki, setelah wafat, Sultan Abu al Mafakir Muhammad Aliyudin I digantikan oleh adiknya, Pangeran Muhidin, dengan gelar Sultan Abu al Fath Muhammad Muhidin Zaina al Shalilih sebagai sultan kelimabelas, yang memerintah pada tahun 1799-1801.

Sultan Abu al Fath Muhammad Muhidin Zaina al Shalilih, wafat dibunuh oleh Tubagus Ali, putera Aliyudin, dirinya gugur dibunuh oleh pengawal Sultan. Kemudian yang menjadi sultan keenambelas merupakan putera Sultan Aliyudin yang lain, Sultan Abu al Nasr Muhammad Ishaq Zainu al Muttaqin yang hanya berkuasa selama satu tahun, 1801- 1802. Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya sebagai sultan ketujuhbelas yang berkuasa pada tahun 1802-1803.

Penulis : Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Tragedi Holocaust: Genosida Paling Kelam dalam Sejarah Modern

1 tahun ago

Sejarah Berdirinya Budi Utomo: Dari Inspirasi Hingga Pergerakan Nasional

1 tahun ago

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?