By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Quo Vadis Koperasi Merah Putih
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
opini

Quo Vadis Koperasi Merah Putih

Last updated: Mei 13, 2025 8:25 pm
2 bulan ago
Share
6 Min Read
Illustrasi dibuat dengan Chat GPT
SHARE

“Koperasi adalah instrumen demokrasi ekonomi yang lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika intervensi negara terlalu dalam, maka ruh koperasi sebagai usaha rakyat akan kehilangan makna.”

Sri Edi Swasono – Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia

Program Koperasi Merah Putih yang diluncurkan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tampaknya ingin menjadi ikon baru dalam membangun ekonomi nasional dari desa dan sedang berlomba membumikan semangat nasionalisme ekonomi hingga ke desa-desa. Semangat yang dibawa adalah gotong royong dan nasionalisme ekonomi, yang dalam konteks koperasi, seolah menemukan momentumnya. Namun di balik slogan yang menggelora itu, terdapat persoalan fundamental yaitu model pendekatan program ini berpotensi mencederai prinsip dasar koperasi dan menggerus otonomi desa yang dijamin Undang-Undang. Di balik semangat itu, ada sejumlah persoalan yang tak bisa diabaikan. Program ini bisa berpotensi mencederai amanat Undang-Undang tentang Perkoperasian maupun Undang-Undang Desa.

Koperasi sejatinya adalah buah dari inisiatif warga, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa koperasi harus bersifat sukarela, terbuka, dan dikelola secara demokratis oleh anggotanya. Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Koperasi Merah Putih banyak dibentuk secara top-down, tanpa partisipasi utuh dari masyarakat desa, bahkan bukan tidak mungkin tanpa musyawarah desa, walaupun ada musyarawarah terkesan formalitas belaka karena tidak melihat dari kebutuhan masyarakat nya.

Potensi Konflik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa koperasi adalah gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan dan bersifat sukarela. Dalam praktiknya, banyak Koperasi Merah Putih justru dibentuk secara top-down, ditentukan oleh pemerintah pusat atau instansi, bukan oleh kehendak warga desa. Ini melanggar prinsip sukarela, dan mengubah koperasi menjadi instrumen birokrasi, bukan alat pemberdayaan rakyat.

Pembentukan Koperasi Merah Putih ini menjadi rawan apabila tidak melibatkan struktur desa secara utuh, Pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), bahkan lembaga ekonomi seperti BUMDes, dan masyarakat tidak dilibatkan secara aktif. Alhasil, terjadi tumpang tindih fungsi dan kewenangan. Padahal, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjamin hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Bila koperasi dibentuk tanpa musyawarah dan koordinasi di desa, maka hak tersebut telah dilangkahi.

Pembentukan koperasi ini bisa tidak sejalan dengan struktur kelembagaan desa yang sudah ada, seperti BUMDes dan BUMDesma. Ketika Koperasi Merah Putih didorong menjadi kanal utama pengelolaan ekonomi desa tanpa koordinasi dengan pemerintahan desa atau pun lembaga lainnya yang ada di desa, maka lahirlah konflik kepentingan dan tumpang tindih fungsi. Ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang mengakui hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Kehadiran Koperasi Merah Putih tanpa koordinasi dan sinkronisasi berisiko menciptakan dualisme kelembagaan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan administratif, perebutan aset dan fungsi, serta menurunkan efektivitas pembangunan ekonomi desa.

Risiko penyimpangan dan korupsi

Dana besar yang dikucurkan untuk mendukung koperasi ini juga mengandung risiko. Minimnya kontrol, pengawasan, dan partisipasi membuatnya rentan terhadap penyimpangan. Bila tidak diantisipasi, program ini bisa menjadi ladang baru praktik korupsi terselubung. Dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke koperasi-koperasi ini berisiko besar tak termanfaatkan dengan baik. Minim pengawasan, rentan korupsi. Jika dibiarkan, koperasi bisa bernasib sama seperti proyek-proyek gagal sebelumnya  menguap bersama waktu dan anggaran.

Dengan adanya alokasi dana, hibah, atau pembiayaan khusus untuk koperasi ini, tanpa pengawasan ketat dan sistem pelaporan yang transparan, koperasi berpotensi menjadi celah baru korupsi berjubah pemberdayaan. Bila terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pendirian, pemanfaatan, dan pelaporan dana koperasi, pelaku bisa dijerat dengan ketentuan dalam UU Tindak Pidana Korupsi, seperti Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.

Dari perspektif hukum dan administrasi publik, pembentukan koperasi oleh negara harus tetap menghormati asas partisipatif dan demokratis yang menjadi roh koperasi. Jika pembentukan Koperasi Merah Putih dilakukan dengan pendekatan sentralistik, maka esensi koperasi sebagai gerakan masyarakat menjadi kabur.

Kedaulatan Desa

Koperasi tidak bisa dipaksakan. Ia harus tumbuh dari kebutuhan dan kesadaran masyarakat, bukan karena tekanan kebijakan pusat. Pemerintah harus menghentikan pendekatan satu model untuk semua desa. Desa-desa di Indonesia memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda. Karena itu, pemberdayaan harus berbasis lokal, bukan sentralistik.

Pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan “satu model untuk semua desa” dengan pendiriannya menggunakan “template” yang sudah disiapkan. Koperasi yang sukses adalah koperasi yang tumbuh dari kebutuhan dan kehendak warganya sendiri. Bukan karena tekanan kebijakan pusat.

Pemerintah juga harus kembali pada semangat konstitusional mengakui dan menghormati kedaulatan desa. Jika tidak, maka Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi proyek yang mengulang kesalahan masa lalu bagus di dokumen, buruk dalam pelaksanaan. Koperasi harus menjadi ruang demokrasi ekonomi warga, bukan alat politik atau birokrasi elite.

Kedaulatan desa bukan sekadar slogan. Ia adalah mandat konstitusi. Jangan biarkan semangat gotong royong yang asli justru dikooptasi oleh program yang baik di atas kertas, tetapi bermasalah dalam pelaksanaan.

Penulis : E Lista (Pemerhati Hukum, Sosial dan Kebijakan Publik)

You Might Also Like

Wagub Banten A Dimyati Natakusumah: Pemimpin Harus Cerdas, Berakhlak dan Komunikatif
Empat Syarat Sah Hewan Kurban
Europa Universalis V Rilis,  Anda Serasa Tokoh Hebat Dunia
Ini 6 Keutamaan Berkurban, Salah Satunya Mengantarkan ke Surga
Prabowo : Pangan dan Energi Pilar Kedaulatan Bangsa
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Mengenal Makna Waisak

2 bulan ago

Part.2 Perkuat Penegakan Hukum

2 bulan ago

Hapus Outsourcing, Prabowo Tak Realistis

2 bulan ago

Belajar Menjadi Inklusif: Catatan Mengenai Lomba Teater Boneka Festival Atraksi Boneka 2025

2 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?