Damar Banten - Para eksekutif PKI akhirnya memutuskan dalam rapat di Bandung pada bulan Juni, agar melaksanakan perlawanan bersenjata, akan tetapi pimpinan pusat PKI masih mengalami keraguan. Karena masih mengalami kesulitan dalam mengkondisikan gejolak-gejolak yang terjadi di sebagian wilayah, seperti di Tegal, mereka memilih untuk melakukan revolusi secepat mungkin. PKI Banten, yang saat itu sudah memberikan dukungan terhadap Sardjono serta pengurus PKI Bandung pada bulan Juni, hingga Agustus pada kondisi kurang kepemimpinan dari Bandung. Karena pada bulan Juli, salah satu pimpinan eksekutif yang mendukung revolusi, Winanta, telah ditangkap lalu ditahan polisi di Bandung. Sebagian besar pimpinan seperti Subakat, Suprodjo, Kusnogunoko serta Djamaluddin Tamin, diselimuti rasa keraguraguan serta semakin teryakinkan oleh arahan-arahan Tan Malaka, yang kala itu sedang berada di Singapura agar menunda revolusi.
Para aktivis militan PKI dari Tegal serta Pekalongan dengan dalih penggantian Gubernur Jenderal Fock, oleh A.C. de Graeff yang lebih liberal mendorong agar mempercepat revolusi. Pada 22 Agustus dalam sebuah upaya guna mengontrol situasi, pengurus PKI Bandung kemudian mengirim perwakilan menuju daerah agar dapat mendiskusikan aksi pemberontak yang diusulkan. Para aktivis PKI lokal diperingati supaya tidak terburu-buru dalam melakukan aksi revolusioner, bahwa ‘sentralisme federatif’ akan digantikan dengan sentralisme demokratik pada pola Leninis yang ketat.
Sayangnya, usaha untuk meredam kobaran api semangat revolusi oleh pengurus PKI Bandung gagal. Pada bulan Agustus, pengurus dari tiga daerah di Jawa Tengah menyatakan penolakannya untuk menunda revolusi. Pimpinan PKI Cirebon, Abdul Muntalib, berusaha untuk mencari dukungan ke Banten, saat itu dirinya disambut dan diterima oleh KH. Tb Achmad Chatib. Gagasan KH. Tb. Achmad Chatib yang menolak revolusi pada bulan Juni ketika dirinya bertemu dengan Sardjono, akhirnya berubah bahkan sekarang Chatib lebih memilih agar melakukan revolusi lebih cepat.
Sayangnya, PKI Banten sudah agak melemah dikarenakan banyaknya penangkapan oleh Belanda terhadap para aktivis pada bulan Agustus. Menunda revolusi justru akan menyebabkan keruntuhan bagi PKI Banten. Pada awal September, Bassaif beserta Sukrawinata, wakil ketua PKI Batavia akhirnya melakukan rapat dengan Achmad Chatib, Kiai Moekri, Tb. Haji Emed, serta Afif, di Caringin. Pada rapat tersebut disepakati jika PKI Banten akan mendukung inisiatif PKI Batavia untuk membentuk sebuah komite agar dapat mengkoordinasikan gerakan pemberontakan. Afif menyusul Bassaif, sementara Sukrawinata kembali ke Batavia beberapa hari kemudian dengan membawa kabar jika situasi di Banten semakin memburuk akibat adanya penangkapan setiap hari.
Hal demikian yang dikhawatirkan jika Haji Chatib beserta pimpinan lainnya di Labuan serta Menes akan segera ditangkap. Ketika melakukan pertemuan dengan para pucuk pimpinan PKI Batavia di Hotel Borneo yang berada di Jakarta Pusat, Afif kemudian menjanjikan agar supaya mendukung PKI Banten dalam revolusi, dengan harapan jangan sampai ada lagi penundaan. Para revolusioner di Banten masih memungkinkan untuk melakukan usaha menggalang lebih banyak dukungan, khususnya di Pandeglang, akan tetapi di sisi lain, menunggu lebih lama justru akan berakibat fatal.
Akhirnya, setelah keberangkatan Afif ke Batavia, para pimpinan PKI Batavia lantas membentuk sebuah panitia guna mengkoordinasikan revolusi. Komite tersebut selanjutnya membentuk sebuah Komite Penggalang Republik Indonesia, yang kemudian mengirim banyak utusan menuju ke berbagai cabang PKI di berbagai daerah, guna menggalang dukungan. Sekalipun hanya ada lima cabang seperti Padang, Tegal, Priangan, Batavia, serta Banten, yang bersedia memberi dukungan, Komite tersebut tetap melanjutkan revolusi serta ditetapkan tanggal 12 november sebagai pelaksanaan revolusi.
Pada saat-saat mendekati revolusi, para pemberontak di Banten mulai melaksanakan persiapan akhir, sekalipun sangat beresiko untuk terjadinya penangkapan serta sebagian aktivis melakukan desersi. Seperti Mohammad Ali (Mamak), yang secara diam-diam pergi menuju Batavia serta Sumatera. Pada saat kembalinya Afif dari rapat di Batavia dengan para pimpinan PKI, dirinya sangat terkejut ketika melihat seorang polisi dari Menes, Mangoendikaria, berada di stasiun Tanah Abang. Menyadari jika mungkin dirinya telah diikuti, Afif lantas sangat khawatir untuk menyampaikan hasil rapat di Batavia kepada
KH Achmad Chatib:
“Saya kembali ke rumah saya jam 2.00 dini hari. Istri saya telah menyiapkan makanan, namun saya tidak dapat makan sedikit pun karena saya terlalu tegang. Kira-kira jam 2.30 dinihari, asisten wedana Mas Wiriadikusuma datang. Kami telah lama saling mengenal sejak sekolah. Ia mengingatkan saya bahwa polisi dari Pandeglang mungkin akan menangkap saya pada hari itu. Setelah ia pergi, saya segera menulis sebuah catatan kepada Haji Chatib dan menghancurkan sebagian kertas saya tidak ingin jatuh ke tangan polisi. Sekitar jam 4.00 polisi tiba dan saya digelandang ke Pandeglang untuk diinterogasi.’
Penangkapan Afif sebagai pimpinan PKI di Labuan, disertai dengan pengawasan ketat oleh polisi terhadap kegiatan-kegiatan PKI di Pandeglang. Tidak sama dengan polisi administrasi lokal, Veldpolitie dikomandani oleh seorang pejabat polisi Belanda serta bertanggungjawab langsung terhadap residen Belanda, tidak kepada para bupati. Satuan tersebut dibentuk pada tahun 1920, polisi lapangan (PL) telah banyak mengubah perimbangan atas kekuasaan di antara Pangreh Praja pribumi dengan para pejabat Kemendagri Belanda, yang bertujuan agar memperkuat korsa administrasi bangsa Eropa serta memperlemah kuasa pejabat pribumi.
Polisi lapangan kala itu tidak saja bertanggungjawab guna untuk memulihkan tatanan serta hukum, akan tetapi, juga menyediakan informasi-informasi politik untuk para pejabat Belanda, dengan mengesampingkan para Pangreh Praja. Para pejabat Kemendagri Belanda dengan mudah bisa memanfaatkan polisi lapangan guna menginterpensi secara langsung atas urusan-urusan lokal, dan tidak memperlukan lagi para bupati dalam setiap urusan, seperti pada kasus Haji Nawawi pada 1922. Polisi lapangan tersebut dengan bersenjata lengkap, serta dilengkapi dengan kendaraan bermotor yang dipenuhi tugas pada tahun 1920-an untuk mengawasi semua kegiatan dari SI serta PKI.
Dengan demikian, perilaku para polisi lapangan tersebut telah sering menyinggung para bupati, yang secara turun temurun, selalu menjaga tatanan serta hukum di tengah-tengah masyarakatnya. Hal demikian terefleksi dalam konflik antara Bupati Pandeglang, R.A.A. Kartadiningrat, dengan Residen Banten, F.C. Putman Cramer, mengenai bahaya yang ditimbulkan PKI di Banten.
Pada tanggal 12 November pagi hari, suasana pasar Labuan tidak seperti biasanya, kala itu pasar sangat ramai dengan para pembeli yang memborong logistik sebagai antisipasi revolusi. Peningkatan penjualan garam serta kain putih dilaporkan terjadi di seluruh Banten. Pada malam hari ratusan petani sudah berkumpul di kampung Bama yang kala itu dipimpin oleh Kiai Moekri serta Kiai Ilyas. Senjata yang sudah dikubur selama berbulan-bulan, kemudian didistribusikan serta pembagian tugas dilakukan guna menyerang Labuan. Pertemuan diakhiri dengan melakukan sembahyang sebelum pejuang menuju Labuan untuk berperang.
Sementara itu, pertemuan besar lainnya, dihadiri oleh lebih dari 700 orang yang berlangsung di kampung Pasirlama, dekat Caringin. Yang kala itu dipimpin oleh Haji Mustafa, para pejuang kemudian berangkat menuju rumah asisten wedana Cening. Sedangkan untuk penyerangan di Menes akan dipimpin oleh Haji Hasan serta Entol Enoh, yang kala itu sudah mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat di wilayah tersebut.
Di Serang serta Pandeglang, pasukan revolusi juga berkumpul, namun tidak tersistematis seperti di Menes dan Labuan. Di Serang serta Pandeglang, kekuatan atas PKI telah banyak dilemahkan pada bulan-bulan sebelum revolusi. Dengan begitu Menes serta Labuan menjadi pusat atas revolusi Banten tahun 1926. Revolusi dimulai di Labuan ketika tengah malam dengan melakukan penyerangan yang dilakukan oleh ratus orang bersenjata di rumah tinggal asisten Wedana, Mas Wiriadikusumah, kala itu asisten Wedana beserta keluarganya ditangkap oleh para pemberontak.
Seorang polisi yang saat itu sedang bertugas menjaga rumah tersebut, kemudian dibunuh serta dua orang lainnya terluka parah pada peperangan tersebut. Setelah berhasil menyerang rumah asisten Wedana, pemberontak kemudian dipecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bertugas untuk mengawasi pemindahan Mas Wiriadikusumah menuju Caringin, sementara kelompok kedua menuju Labuan guna menyerang polisi. Sebelum itu, para pemberontak terlebih dahulu pergi menuju rumah Haji Ramal, yang saat itu menjadi tempat menginap tiga orang polisi dari Serang. Ketiganya polisi tersebut susah curiga dengan suara tembakan dari jalan, serta langsung kabur menuju pantai dan bersembunyi di sana hingga pagi.
Sialnya, ketiga orang polisi lainnya Jaimun, Haji Enceh, serta Kusen, yang baru saja kembali dari Serang, Jaimun serta Haji Enceh dibunuh, sementara Kusen mengalami luka berat. Selanjutnya Para pemberontak menyerang rumah Mas Mohammad Dahlan, seorang juru tulis yang memberikan informasi gerakan bawah tanah PKI, Dahlan mengalami sangat luka berat. Di Menes, revolusi tersebut menelan lebih banyak korban dibandingkan yang ada di Labuan. Target utama para pemberontak merupakan Wedana Raden Partadinata, pengawas Jalan kereta api Labuan, Benyamins, serta polisi. Penyerangan terhadap rumah wedana ketika pukul 1.00 dinihari serta melibatkan 300- 400 orang. Wedana beserta seorang polisi yang sedang bertugas, sempat melakukan perlawanan dengan menembak beberapa pejuang, sayangnya polisi tersebut berhasil dibunuh serta rumah wedana berhasil digeruduk.
Kelompok pejuang lainnya mengepung stasiun KA. Labuan dan menangkap satu-satunya orang Belanda yang tinggal di Labuan, Benjamin’s. Meskipun Benjamin’s mencoba menyelamatkan hidupnya dengan menunjukan keinginannya untuk masuk Islam, setelah berdebat, para pejuang memutuskan untuk membunuhnya. Dua orang polisi juga terbunuh pada malam itu dan serangan juga dilakukan ke rumah pensiunan Patih.
Di Cening, tepatnya di jalan antara Menes dan Labuan, seorang polisi terbunuh serta asisten Wedana mengalami luka tembak yang parah. Pasukan revolusioner bahkan berusaha untuk memutus jaringan telepon di sekitar Menes dan Labuan. Selanjutnya, pasukan pemberontak di Cadasari dan Baros yang sudah bersiap-siap menyerbu Pandeglang, berhasil dicegat oleh pasukan besar polisi dengan senjata lengkap pada jam 10.00 malam, di tanggal 12 November. Guna menambah kekuatan di lapangan agar dapat memadamkan pemberontakan, dikirim 100 tentara bersenjata lengkap yang berada di bawah pimpinan Kapten Becking, yang berangkat pada pukul 4.00
pagi dari Batavia.
Kala itu, bupati Pandeglang, Kartadiningrat, beserta komandan PL, Martens, serta 9 orang polisi, sudah berangkat dari Menes dan Labuan. Setibanya di Menes dirinya mendapati jenazah Raden Partadinata dan tiga orang polisi. Akhirnya, Rombongan Bupati dipecah menjadi dua, Kartadingrat beserta Martens dan empat orang polisi menuju ke Labuan.
Di sana dirinya lalu menghubungi wedana, yang sedang berupaya kabur guna menghindari sergapan para pemberontak, serta ketiga orang polisi yang kabur sembunyi di pantai. Sekalipun terjadi tembakan- tembakan kecil, untungnya tidak ada korban jiwa di kedua belah pihak.
Bupati Pandeglang kemudian berhasil membawa beberapa tahanan. ketika tengah hari, asisten Residen Serang, Westenberg tiba di Labuan bersama dengan 20 tentara bersenjata lengkap. Para pemberontak, yang kala itu dipimpin oleh Kiai Moekri, sudah berkumpul sejak pagi guna menyerang pasukan Bupati Pandeglang, sialnya mereka harus menghadapi pasukan tentara yang bersenjata lengkap. Akhirnya, pasukan dari Kiai Moekri bisa dipukul mundur serta sebagian anggota pasukannya mati terbunuh.
Ketika siang hari pada 13 November 1926, pasukan tambahan yang dipimpin oleh Kapten Becking kemudian tiba di Labuan serta langsung mengirimkan sebagian pasukan, guna melakukan patroli di Caringin agar mencari jejak Mas Wiriadikusumah, serta menangkap Tb. Emed. Patroli yang kala itu dipimpin oleh Letnan van der Vinne, menjumpai asisten Wedana yang kala itu hanya dijaga oleh satu orang, dan tidak melakukan perlawanan. Pada saat patroli mendekati rumah Tb. Emed, mereka mendapati serentetan tembakan secara bertubi-tubi dari arah warung. Ketika berlangsungnya pertempuran hebat itu, 7 orang pemberontak ditembak mati oleh tentara. Ada satu pejuang yang menyerah pada saat itu, akan tetapi ketika dirinya akan mendekati pasukan patroli, tiba-tiba dengan cepat dirinya menyerang tentara dengan goloknya. Akhirnya, mau tidur mau, pemberontak tersebut harus ditembak mati oleh Letnan van der Vinne, akhirnya diketahui ternyata orang tersebut ialah Haji Saleh. Pasukan kolonial lantas meninggalkan Caringin setelah kejadian itu, mereka kembali menuju Labuan tanpa berhasil menangkap Tb. Emed.
Penulis: Ilham Aulia Japra