Damar Banten – Dengan tertangkapnya KH. Tb. Achmad Chatib pada 23 Oktober 1926, telah menjadi pukulan telak bagi para pemberontak. Hal tersebut menjadi angin segar bagi polisi lapangan agar bisa melakukan penyelidikan. Seorang opsir polisi, Mas Mangoendiwiria beserta lima temannya lalu dikirim menuju Labuan pada awal November guna membantu polisi lokal. Pada saat itu, ada beberapa orang yang ditangkap. Pagi hari pada 12 November 1926, empat orang dikirim kembali menuju Serang dengan ditemani oleh bekas pimpinan PKI, Oesandiningrat, serta seorang polisi, Djaimoen. Hanya Djaimoen yang kemudian kembali ke Labuan, Oesadiningrat tetap berada di Serang. Sedangkan pada saat itu, Haji Hasan sudah kembali dari pertemuan dengan para pimpinan PKI Batavia, Sukrawinata, pada 9 November 1926.
Ketika perjalanan pulang ke Labuan, Haji Hasan menyempatkan singgah di Serang serta Pandeglang, guna memberikan instruksi terakhir terhadap para pimpinan aktivis di sana. Sehari setelah kepulangannya, dirinya lantas mengunjungi Haji Emed di Caringin. Sejak ditangkapnya Achmad Chatib, Haji Emed terlihat semakin khawatir dengan semakin dekatnya revolusi. Pada 9 November 1926, Emed kemudian dipanggil lagi ke Serang guna diinterogasi serta khawatir jika harus mengikuti jejak kakak iparnya di penjara. Melihat kekhawatiran atas Haji Emed mengenai rencana revolusi, Haji Hasan kemudian mengirim Haji Saleh agar mengunjungi Emed pada 11 November 1926.
Prinsip, tekad, bahkan keyakinan dari perjuangan Haji Saleh tidak dapat diragukan. Kakek serta ayahnya adalah martir pada saat terjadinya gerakan Revolusi Haji Wachia pada 1850, serta Geger Cilegon 1888. Haji Saleh menjelaskan jika rencana atas pemberontakan akan dilakukan dengan terlebih dahulu menguasai Labuan, Pandeglang, serta Serang, dan untuk mengatasi masalah jumlah pasukan di Rangkasbitung, akan membawa para pejuang dengan kereta api guna menduduki Rangkasbitung. Semua priyayi serta para Eropa wajib ditangkap serta yang melakukan perlawanan harus dibunuh. Jika Banten telah bebas dari kekuasaan Belanda, para pejuang kemudian akan berkumpul di Caringin, karena Kiai Asnawi merupakan pemimpin agama paling kharismatik serta paling berpengaruh di Banten, dan selanjutnya pasukan akan menunggu instruksi lanjutan dari Komite Pemberontakan PKI Batavia. Sekalipun upaya-upaya akhir tersebut dilakukan guna mendapatkan partisipasinya, Haji Emed tetap menolak untuk memainkan peran aktif pada saat pemberontakan PKI ini.
Setelah tertangkapnya Achmad Chatib, komando revolusi lalu diambil alih oleh Kiai Moekri. Langkah tersebut langsung dilakukan setelah Caringin disapu bersih oleh patroli pasukan Belanda, akhirnya pusat konsentrasi para pemberontak dialihkan ke kampung Bama sejak pagi hari pada 14 November 1926. Ratusan pejuang dari desa-desa sekitar berkumpul di sana sejak siang hari guna mempersiapkan serangan di Labuan yang menjadi markas pasukan Belanda. Seharian penuh para pemberontak melakukan persiapan di Bama sembari menunggu instruksi selanjutnya dari Kiai Moekri, yang sedari pagi sedang berusaha mengunjungi Syeikh Asnawi untuk melakukan pendekatan terhadap para pengikutnya Kiai Emed, agar kembali bergabung bersama pasukan Kiai Moekri yang sedang melakukan persiapan penyerangan markas pasukan Belanda di Labuan.
Syeikh Asnawi meminta semua anggota keluarganya agar tetap berada di rumahnya serta melarang anaknya, Emed, agar bergabung dengan para pejuang di Bama. Di sisi lain, para pimpinan pejuang lainnya terus melakukan upaya guna menggalang dukungan dari masyarakat. Haji Sirad, mengirim sepucuk surat kepada seorang ulama di kampung palembang, yang menyebutkan bahwa jika revolusi masih dipimpin oleh Syeikh Asnawi. Haji Subari, ulama yang menerima surat itu lantas menolak bergabung dikarenakan masyarakat di wilayahnya tidak memiliki senjata serta pasukan Belanda tidak dapat dengan mudah dilumpuhkan.
Akan tetapi, pada desa-desa lainnya utusan Kiai Moekri kemudian berhasil mendapatkan tambahan dukungan. Di kampung Pagelaran, para petani akhirnya bergabung ke dalam revolusi. Mereka bergerak dengan membunuh dua orang polisi. Sementara itu, di kampung Kadugadung, Haji Lambri menegaskan kepada para pengikutnya jika wajib hukumnya untuk mendukung revolusi, karena saat ini bukan waktunya bertanya siapa komunis serta siapa yang bukan, para pasukan Kiai Mukri wajib dibantu karena mereka adalah ‘orang kita dan orang Muslim.’ sekalipun eskalasi atas tentara Belanda terus meningkat, keteguhan para pejuang pada revolusi tersebut tak dapat disangsikan. Mereka lalu merencanakan penghancuran terhadap pos jaga militer Belanda yang dipimpin oleh Becking yang berada di Labuan.
Ketika siang hari pada 14 November 1926, para tentara yang menggunakan motor, yang datang dari Pandeglang kemudian berhasil dicegat oleh para pemberontak di tengah jalan, mereka berencana untuk memperkuat pertahanan di Labuan. Pertempuran berdarah akhirnya meletus antara pemberotak dengan militer Belanda. Patroli tentara Belanda yang berada di Labuan kemudian membantu melumpuhkan pasukan pemberontak dari arah belakang, yang akhirnya mengakibatkan pasukan pemberontak harus mundur serta kembali menuju hutan. Pada malam harinya, para pemberontak kembali mempersiapkan serangan untuk malam hari. Jembatan sungai Bama lalu dihancurkan serta mereka membuat barikade pada dua sisi sungai. Sambungan telepon Labuan, Menes, serta Pandeglang kemudian diputuskan oleh para pejuang, jalan menuju Menes dari Jiput juga akhirnya blokade oleh para pemberontak ketika siang hari pada 15 November 1926, Para pemberontak juga berusaha untuk memblokade jalan kereta api.
Saat itu, para pasukan pemberontak berpakaian serba putih dengan membawa bendera berwarna hitam dengan bertuliskan ayat al-Qur’an yang berbunyi: ‘Dengan pertolongan Allah segala sesuatu dapat dicapai.’ Panji tersebut dipegang oleh seorang peria tua berumur 70 tahun dengan nama Ja’far dari kampung Bama. Tanpa disadari para pemberontak, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Becking, secara diam-diam merangsek untuk menembus pertahanan dari 500 pejuang. Pertempuran sengit akhirnya tidak dapat dihindari.
Diakibatkan persenjataan dari para pemberontak yang tidak berimbang, karena saat itu para pemberontak hanya mempunyai sedikit senjata api serta yang lainnya hanya berbekal golok bahkan bambu runcing, dan pasukan Belanda yang kala itu dilengkapi dengan senjata karaben, pada akhirnya sebagian pemberontak harus meregang nyawa terkena timah panas dari pasukan Belanda, serta sebagian lainnya mengalami luka yang serius. Kendati demikian, ada dari para pemberontak yang mencoba untuk menyerang Belanda dengan golok dan pedang. Pada situs yang ceos, para pemberontak lalu berupaya untuk menyerbu Belanda dari semua arah, sialnya, taktik dari Becking rupanya begitu hebat, karena dirinya sangat berpengalaman dalam peperangan, alhasil, dengan begitu strategi darinya membuat pertahanan dari pasukan pemberontak menjadi buyar, dikarenakan taktik Becking yang tidak terduga oleh para pemberontak.
Para pemberontak yang kala itu memegang senjata api dilumpuhkan lebih awal, kemudian
Becking beserta pasukannya membantai para pejuang yang hanya bermodalkan kelewang serta bambu runcing. Pertemuan tersebut terjadi hanya dalam waktu setengah jam, namun telah banyak membuat gugur pasukan pemberontak termasuk para pimpinan pasukan pemberontak, para pemberontak kemudian memutuskan untuk mundur serta kembali bersembunyi di hutan. Setelah para pemberontak pergi menuju hutan, akhirnya Labuan dianggap sudah steril dari penyerangan para pemberontak, Gubernur Jawa Barat, Hillen, lalu mengirimkan dua pasukan brigade tambahan bersenjata lengkap pada 16 November 1926, serta esoknya pasukan zenit mulai memperbaikai jembatan Bama yang dihancurkan kemarin.
Guna mengamankan jalur Selat Sunda serta menghambat usaha melarikan diri dari para pemberontak menuju Sumatera, akhirnya diutus pasukan marinir dengan perahu bermesin dari Batavia serta yang kemudian berjaga di pantai Labuan.
Pasca pertempuran di jalan raya Labuan pada 15 November 1926, yang berakhir dengan hasil kekalahan atas pasukan pemberontak, akhirnya pertempuran berdarah tidak lagi terjadi. Hingga pada 17 November 1926, muncul desas-desus mengenai penyerangan Pandeglang oleh para pemberontak pada malam 17 November 1926. Tentara Belanda kala itu sudah dalam kondisi yang siap siaga bahkan eskalasinya ditingkatkan. Akan tetapi, nampaknya kekalahan telak atas serangan pemberontak pada pertempuran di Labuan serta gagalnya penyergapan di Cimanuk, cukup mempengaruhi mental para pemberontak.
Penulis: Ilham Aulia Japra