By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Sekali Peristiwa di Cikande Udik (Masa Bergerak Bapak Sarientan) Bagian II
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Featureopini

Sekali Peristiwa di Cikande Udik (Masa Bergerak Bapak Sarientan) Bagian II

Last updated: Februari 6, 2024 12:31 pm
1 tahun ago
Share
8 Min Read
SHARE
Damar Banten - Ketika melakukan strategi politik pada saat akan mengambil kembali kekuasaan di Banten, Sarienten lalu mendapatkan bantuan dan dukungan dari Mas Endong serta Mas Riela, yang tinggal di kampung Cikupa dan Kebon Jeruk, dan juga Mas Ubied yang berasal dari kampung Kole, serta beberapa kerabat jauh Mas Djakaria yang juga akan ikut serta bergabung, guna membalaskan dendam mereka terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang telah membunuh Ki Jakaria.

 Di bulan September 1845, Sarientan lalu melancarkan pemberontakannya dengan cara menyusun sebuah strategi politik untuk menghadapi pasukan militer Belanda, dengan cara membawa Mas Salad yang bergelar Kiai Sepuh Gede, seorang laki-laki tua yang kala itu membawa serta pengikutnya yang bernama Bapa Sapiengie dari desa Tegal Kuncir, Tanah Ketapang di sekitar Batavia.

 Ketika propaganda yang dilancarkan oleh para tokoh pemberontakan telah siap untuk memulai perlawanan, Sarienten lalu memerintahkan kepada Amier agar membujuk masyarakat Bajaoekoe supaya dapat ikut berpartisipasi dalam gerakan sosial, serta membujuk mantan mandor Desa Jadjawai tanah Cikande Hilir yang disebut Marup agar ikut serta ke dalam rencana perlawanan tersebut.

  Pembujukan Marup untuk ikut serta ke dalam pemberontak karena dirinya adalah salah seorang tokoh yang ikut serta, ketika pemberontakan Nyai Gamparan di tahun 1836 di Cikande. Akhirnya, Marup dengan 100 orang pasukannya menyatakan jika dirinya akan ikut serta pada gerakan sosial guna melawan para Tuan tanah, serta pasukan kolonial Belanda.
Ketika dirasa dukungan yang dibutuhkan telah cukup banyak dari tokoh utama, kemudian mereka masing-masing diperintahkan supaya mempersiapkan sejumlah orang yang dipersenjatai atau yang memiliki senjata lengkap, agar berpartisipasi dalam pemberontakan, yang kemudian pelaksanaan atas serangan ditetapkan pada 13 Desember 1845. 

 Namum, pada 11 Desember 1845, sebelum serangan dilancarkan, Sarienten beserta Amier terlebih dahulu mengadakan ziarah ke makam Kiai Santri di Rangkas Kole, dekat persimpangan Pamarayan, di sungai Ondar-Andir yang oleh masyarakat sekitar disebut Ciberang.

Hal tersebut dilakukan guna meminta restu Supaya perlawanan yang mereka lakukan akan berhasil, serta untuk menambah semangat dan kesaktian dari para pengikutnya. Di Ciberang, mereka lalu bertemu dengan Kiai Gede dan Mas Ubied yang ikut serta bergabung dengan pasukan Sarientan, guna melancarkan serangan besar terhadap kolonial Belanda.
Selanjutnya, pasukan pemberontak lalu berkumpul di kampung Krio dengan jumlah pasukan lebih dari 100 orang, dan membawa senjata lengkap yang berasal dari Cikande Udik, Cikande Hilir, dan Batavia. Hampir semua orang dipersenjatakan menggunakan klewang dalam melakukan serangan tersebut. Rencana pemberontakan ini dilakukan dengan strategi yang sangat hati-hati supaya infromasinya tidak akan bocor ke pihak kolonial Belanda.

  Karena sifatnya yang sangat rahasia, pada akhirnya para tokoh pemimpin pemberontak tidak mengikutsertakan para masyarakat yang berada di  Desa Djadjawai serta Tjerenang Carenang, karena Desa tersebut yang terletak berada di bagian utara jalan utama, yang itu dihawatirkan bisa dengan mudah diketahui oleh pasukan kolonial. Di tanggal 12 Desember 1845, Bapak Sarientan beserta para pengikutnya kemudian melakukan serangan pertama di rumah pemilik tanah di Cikande Udik, ketika itu mereka terlebih dahulu berhenti di dekat rumah Mr. Pes sebelum mencapai rumah Kamphuis.

  Kala itu Amier menyamar sebagai seorang kurir yang akan mengantarkan surat menuju kediaman Mr. Pes. Ketika Amier sudah berada si depan pintu, ia langsung mengetuk pintu tersebut, dengan curiga  Mr. Pes lalu mendekati pintu tersebut dengan berhati-hati sembari memegang sebuah pistol, Mr. Pes kemudian membuka pintu rumahnya, terlihat Amier yang sudah siap menyerang, dan para pemberontak yang sedari tadi juga sudah bersiap, mereka lalu segera menyerang Mr. Pes sehingga Mr. Pes kala itu langsung jatuh terkapar dan terbunuh, tanpa berlama-lama mayat Mr. Pes segera diseret oleh para pemberontak lalu dibuang ke sungai.

Strategi penyamarannya yang menjadi seorang kurir juga dilakukan oleh Amier terhadap Kamphuis beserta keluarganya. Dengan taktik yang sama, Amier lalu mengetuk pintu dari kediaman Tuan Kamphuis, mendengar ada suara ketukan dari luar, akhirnya tuan Komphuis keluar dari kediamannya, para pemberontak yang sudah pasti siap, segera menyerang dengan menggunakan tombak serta tebasan klewang, tuan Kamphuis akhirnya menjadi korban pembantaian selanjutnya dari para pemberontak, yang itu menyebabkan Tuan Komphuis meregang nyawa.

 Ternyata korban tewas di lokasi tersebut tidak saja para Tuan tanah yang dibantai oleh para pemberontak, akan tetapi juga istri tuan Kamphuis dengan lima orang pengasuhnya, serta semua orang Eropa yang kala itu berada di daerah sekitarnya, ikut serta dibantai oleh para pemberontak yang sudah mengamuk, untungnya, ketiga anak Kamphuis yang masih bayi berhasil diselamatkan oleh seorang kepala cutak (Kepala Distrik, bernama Jairun.

Seorang pengawas bernama Tuan Viering yang kala itu menyadari adanya serangan dari para pemberontak, kemudian mencoba untuk melarikan diri dari serangan para pemberontak, namun sialnya, Tuan Viering tidak dapat lolos dari kejaran para pemberontak, akibatnya ia tidak selamat dan ikut dibantai di tengah sawah oleh Marup, Lembang, Katiem, Massier, serta  Sewa—semua mayat-mayat yang telah dibantai oleh para pemberontak pada serangan kala itu, langsung diseret menuju sungai supaya dapat menghilangkan jejak dari para pemberontak.

Rumah Kamphuis akhirnya berhasil diduduki oleh para pemberontak serta dijaga ketat oleh para pemberontak sembari mengibarkan bendera pemberontakan, para pemberontak juga lalu melakukan sebuah upacara ritual di kediaman Kamphuis, yang itu mengingatkan massa terhadap upacara penghormatan terhadap Sultan Banten.

  Akan tetapi, pada saat penyerangan kala itu, ada seorang yang kemudian berhasil lolos dalam  peristiwa pemberontakan yang dilancarkan Sarientan beserta para pengikutnya, orang itu lalu melaporkan peristiwa penyerangan tersebut kepada pengawas Waubert De Puisseau yang tinggal di dekat desa Krio, sekitar 2 ½ pos dari rumah tuan Kamphuis serta tempat berkumpulnya para pemberontak.

 Orang tersebut bernama Kadjam, yang merupakan seorang mandor dari desa Gerduk yang kemudian disampaikan oleh Madessa, seorang utusan dari Krio. Puisseau yang telah mendapati  informasi mengenai penyerangan oleh para pemberontakan tersebut, dengan tidak tidak menunggu lama, dirinya lalu segera mengambil kuda-kudanya, sialnya kuda-kuda tersebut sudah berhasil dicuri oleh Rijal yang berasal dari desa Cidahu, sehingga pada akhirnya mau tidak mau, Puisseau harus berjalan kaki melintasi desa Gerduk menuju desa Nyompok, yang terletak di sungai Cikande. 

  Setelah tiba di desa Nyompok, Tuan De Puisseau yang tidak sadar atas intaian dari para penduduk,  seketika mendapatkan serangan secara tiba-tiba dari penduduk Nyompok, atas serangan tersebut mengakibatkan Tuan Puisseau tewas di tempat— mayat Puisseau lalu diseret para penduduk agar dibuang menuju sungai.

 Ternyata desa tersebut merupakan salah satu desa yang berhasil dipropaganda oleh pasukan Bapak Sarientan. Selanjutnya, mereka yang masih mempunyai kaitan dengan para Tuan tanah dan orang Eropa di daerah Cikande Udik, mau tidak mau harus menyelamatkan diri masing-masing.

 Frederika Rashoort (istri Th. Vier) berhasil pergi bersama kedua anaknya menuju Cikande Hilir, sialnya ketika di perjalanan mereka berhasil dibantai oleh para masyarakat yang ternyata sudah terpropaganda oleh para tokoh pemberontak, kala itu hanya pembantu di rumah Tuan Pes, bernam Sien, serta pembantu rumah Puisseau, bernama Aliena, serta seorang budak perempuan Kamphuis, bernama Piatoe, yang akhirnya berhasil kabur hingga ke Tangerang.

Penulis: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Wagub Banten A Dimyati Natakusumah: Pemimpin Harus Cerdas, Berakhlak dan Komunikatif
Empat Syarat Sah Hewan Kurban
Europa Universalis V Rilis,  Anda Serasa Tokoh Hebat Dunia
Ini 6 Keutamaan Berkurban, Salah Satunya Mengantarkan ke Surga
Prabowo : Pangan dan Energi Pilar Kedaulatan Bangsa
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Quo Vadis Koperasi Merah Putih

2 bulan ago

Mengenal Makna Waisak

2 bulan ago

Part.2 Perkuat Penegakan Hukum

2 bulan ago

Hapus Outsourcing, Prabowo Tak Realistis

2 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?