Damar Banten – Pengklasifikasian Bahasa Sunda kasar dan halus hanyalah kepentingan pemisahan geografis teritorial antara Banten dan Parahiangan.
Seperti kata Rocky Gerung, “sopan santun adalah bahasa tubuh, bahasa kritik pada kekuasaan yang disopan santunkan merupakan feodalisme”.
Sependek pengetahuan saya, Sunda sebagai sebuah peradaban memang memiliki bentang historis yang sangat panjang. Tidak cukup berlebihan jika peta Asia Pasifik ketika masih menyatu sebagai sebuah daratan disebut sebagai Sunda Land. Corak peradaban tentu tidak akan jauh dari sebuah hasil yang dimunculkan. Seperti peradaban Sunda, yang telah melahirkan Ajaran teologis (Sunda Wiwitan), Bahasa (Sunda), Serta corak kebudayaan (bertani).
Jika meninjau lebih jauh tentang Bahasa Sunda secara teologis. Orang-orang sunda sudah memakai konsep ketuhanan jauh sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara. Seperti halnya manuskrip Sunda yang kebanyakan ditemukan selalu memuat unsur ketauhidan, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan sang pencipta (Gusti Anu Maha Suci). Dalam salah satu manuskrip Kropak 422 yang berjudul Jatiraga abad ke 6 M, Masyarakat sunda sudah memakai konsep Aing Enya dia Enya Aing (aku adalah dia sebagai aku). Yang sama persis seperti konsep ketauhidan ala Siti Jenar, Manunggaling Kaula Gusti. Sebagi konsep ketauhidan sebelum Islam masuk.
Dari sini kita ketahui bahwa bahasa yang dipakai sebagai bentuk penyatuan seorang hamba dengan sang pencipta disebutkan dengan kata “aing” yang konotasinya diangggap kasar oleh orang-orang Parahiangan. Di masyarakat Kanekes (Baduy) obrolan antara sumia dan istri, anak dan orang tua, selalu menggunakan padanan kata “dia/aing” sebagai ucapan yang lumrah untuk dipakai. Lantas apakah masyarakat kanekes dapat disebut masyarakat yang tidak beretika dan bermoral. Bahkan kasus pembunuhan, pencurian serta pemerkosaan saja tidak pernah ada selama peradaban Baduy muncul.
Penyebutan satu objek dalam bahasa Sunda, seminimal memiliki 10 padanan kata. Seperti makan, dalam bahasa Sunda ada setidaknya 10 padanan. Dahar, daang, babadog, tetegig, tuang, mayor, emam, neda, encin, dan rewog. Serta penyebutan istilah Kamu. dia, sia, maneh, anjeun, salira, saria, dan sakur. Artinya sebagai sebuah peradaban, Sunda banyak melahirkan padanan hanya untuk satu istilah.
Masalah kemudian muncul akibat Sunda sebagai sebuah bahasa yang diajarkan dibangku sekolah, selalu memakai mulok bahasa Sunda persi Parahiangan yang sudah pasti dikatakan Sunda paling halus. Yang padahal dalam bahasa Sunda tidak ada istilah Sunda kasar dan sunda halus.
Seorang guru yang mengkritisi Ridwan Kamil tempo lalu, tidak memiliki kesalahan apapun di dalam penyampaiannya. Kata maneh, sudah sangat layak sebagai ungkapan kepada seorang raja sekalipun. Dalam manuskrip-manuskrip sunda, serta jajampean, tidak pernah memakai kata abdi, kuring, simabdi, kaula, dan anjeun baik dalam penyebutan ataupun penulisan. Akan tetapi akan selalu memakai kata aing dan dia.
Ridwan Kamil lewat kuasanya justru tidak merepresentasikan raja-raja Sunda. Seperti Suharto melalui Golkar, menjadikannya tangan besi kekuasaan yang tidak bisa disentuh bahkan dikritik. Ridwan Kamil telah terpengaruh kultur Golkar sebagai partai yang merepresentasikan raja-raja Jawa yang angkuh dan anti kritik. Bila hanya dengan ‘maneh’ Ridwan Kamil dapat tersinggung sehingga berujung pemecatan seorang guru honorer, itu artinya Ridwan Kamil sudah tidak layak sejak awal untuk melanjutkan karir kekuasaan kejenjang yang lebih tinggi (Presiden).
Guru honorer adalah manusia paling rendah dalam kasta gajih. Yang bahkan mereka digaji Rp.300.000 per tiga bulan. Bapak saya telah menghabiskan lebih dari setengah umurnya sebagai guru honorer. Akan tetapi dia mampu menyekolahkan ke empat anak-anaknya hingga lulus di perguruan tinggi negeri. Ridwan Kamil tidak hanya telah menyinggung guru honorer, tapi saya yang juga bisa hidup dari gajih seorang guru honorer yang tidak seberapa itu.
Di dalam negara demokrasi, tentu relasi kuasa sangat berpengaruh ke pada sikap manusia untuk berpihak. Jangan karna Ridwan Kamil mempunyai tragedi masalau yang kelam, membuat kita buta mata tentang pemecatan guru honorer akibat mengritik Ridwan Kamil. Yang padahal guru honorer tersebut juga punya anak yang hidup untuk dibiayai dari gaji honorer guru yang tidak layak itu.
Tragedi masa lalu Ridwan Kamil tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tetap berpihak kepadanya. Ridwan Kamil saat ini tidak hanya seorang raja di Jawa Barat, namun dia juga sebagai seorang kader partai Golkar. yang kita tahu bersama bahwa partai tersebut telah melanggengkan kekuasaan dari raja jawa yang angkuh dan kejam bernama Suharto.
Penulis : Ilham Aulia Japra