Damar Banten – Kata ngawalu dan ngalaksa pada kalimat (ngukus ngawalu muja ngalaksa) artinya menyelenggarakan upacara Kawalu dengan membuat makanan yang disebut laksa. Kawalu dilaksanakan tiga kali setahun, yaitu bulan Kasa disebut kawalu tembey (awal), Karo disebut kawalu tengah, dan Katiga disebut kawalu tutug (akhir).
Pada bulan-bulan tersebut, masyarakat Baduy melakukan puasa yang disebut puasa kawalu. Puasa kawalu dilakukan hanya satu hari setiap bulannya, yaitu dengan cara tidak makan mulai tengah malam hingga siang hari. Pada waktu menjelang malam mereka mulai makan.
Demikian dilakukan pada tiap bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Pada bulan Katiga, mereka menyelenggarakan Ngalaksa, yaitu membuat makanan laksa, sejenis makanan dari tepung beras yang dicetak seperti mie dan dicetak dalam tempat adonan yang disebut sangku.
Proses Ngalaksa dilaksanakan oleh ibu-ibu, padi untuk membuat laksa ini wajib dikumpulkan dari setiap kepala keluarga. Mereka harus menyerahkan ikatan padi sejumlah anggota keluarganya. Sebagian sumber menyebutkan, bahwa beras yang dijadikan tepung untuk membuat laksa ini harus dari tujuh rumpun padi yang ditanam di ladang suci (huma serang) yang berada di wilayah kampung Baduy Tangtu dan yang berasal dari ladang teladan (huma tuladan) kampung Baduy Panamping.
Pada saat ngalaksa ini juga, para tetua adat melakukan perhitungan jumlah warga dengan cara sederhana, yakni setiap kepala keluarga menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada kokolot kampung setempat. Dengan demikian, perkembangan jumlah penduduk di desa Kanekes dapat diketahui dengan akurat. Setelah selesai semua ritual tersebut, masyarakat Baduy bersiap untuk melaksanakan ritual Seba atau yang dikenal sebagai Upacara Seba.
Seba sendiri dapat diartikan sebagai kunjungan resmi yang merupakan peristiwa dalam rangkaian adat masyarakat Baduy yang dilakukan seusai Kawalu dan Ngalaksa. Rangkaian acara secara terperinci serta persiapan yang matang harus berpedoman pada peraturan adat dan orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah kepercayaan Puun atas nama warganya memberikan laporan kepada pemerintah sekaligus menjembatani komunikasi.
Maksud dan tujuan upacara Seba secara umum adalah untuk mengharapkan keselamatan, pernyataan rasa syukur kepada Tuhan bahwa selama setahun masyarakat Baduy mampu mempertahankan religi dan tradisi leluhur mereka. Adapun tujuan khusus diadakan upacara Seba adalah:
(1) Membawa amanat Puun;
(2) Memberikan laporan selama satu tahun di daerahnya;
(3) Menyampaikan harapan;
(4) Menyerahkan hasil bumi;
dan (5) Untuk mempererat ikatan tali silaturahmi secara formal kepada Bapak Gede.
Waktu penyelenggaraan upacara Seba telah diperhitungkan secara matang dan disepakati para jaro, warga masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, pimpinan pemerintahan mulai dari pemerintah kecamatan, kabupaten sampai ke tingkat provinsi. Tempat penyelenggaraan upacara yang termasuk dalam rangkaian upacara Seba antara lain, rute perjalanan dari Desa Kanekes ke kantor Bupati Lebak (Pendopo), dan puncaknya berakhir di kantor Gubernur Banten.
Pada umumnya, setiap upacara Seba melibatkan Jaro Tujuh sebagai perwakilan masyarakat Baduy, Jaro Warega sebagai utusan khusus Puun, dan Jaro Pamarentah (Kepala Desa Kanekes sebagai pelaksana upacara Seba). Selain itu, para Dangka, Pemangku adat, tokoh masyarakat, kokolot desa, serta kaum muda (para pemuda) sebagai generasi pelanjut upacara di masa yang akan datang.
Sebelum upacara Seba dimulai, para tetua adat menyeleksi warga Baduy yang akan turut dalam pelaksanaan upacara. Pemilihan warga yang akan turut dalam Seba perlu dilakukan, mengingat pada pelaksanaannya bagi warga Baduy Kajeroan (Baduy Tangtu) akan berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh dari waktu berangkat dan pulang (kurang lebih 80 km).
Namun bagi warga Baduy Luar (Baduy Panamping) diperbolehkan menggunakan kendaraan. Kaum sepuh berperan sebagai pengamat jalannya upacara dan pada saat upacara sedang berlangsung tidak berbasa-basi dalam menyampaikan kata-kata, tetapi tegas, jujur, tepat, dan jelas dalam menyampaikan segala permasalahan daerahnya, tidak menutupi yang buruk dan tidak memamerkan yang baik.
Kelompok pemuda mempunyai kewajiban sebagai pengemban amanat pusaka untuk tidak menyimpang dari tujuan, dan kelompok tokoh adat mengatur tata cara yang bertumpu pada pakem, larangan dan pantangan, keharusan, sejak berangkat dari daerahnya sampai tujuan.
Acara Seba diawali dengan pengucapan tatabean oleh Tanggungan Jaro Duabelas, yakni wakil para tetua adat Baduy. Tatabean adalah ucapan seserahan warga Baduy kepada bupati. Disebut tatabean karena diawali kata “tabe”, yakni ucapan sopan santun sebelum bertutur kata. Tatabean disampaikan dalam bahasa asli Baduy yang diwariskan turun-temurun.
Di antaranya isinya adalah melaporkan keadaan warga Baduy, apakah kondisi mereka sehat, panen bagus, lingkungan aman, dan sebagainya. Setelah Tanggungan Jaro Duabelas selesai menyampaikan laporan, acara dilanjutkan dengan dialog. Pada kesempatan itu, Ibu Gubernur/Pak Bupati mengucapkan banyak terima kasih kepada warga Baduy sebab mereka telah menjaga hutan dengan sangat baik. Karena itu, lingkungan hidup warga Baduy tetap terjaga.
Acara ditutup dengan penyerahan hasil bumi Baduy kepada Bupati, sebaliknya Bupati pun menyerahkan bingkisan kepada wakil warga Baduy. Acara Seba Baduy diadakan setiap tahun, yang dibawa ke kota bukan hanya hasil bumi, tetapi juga peralatan masak di antaranya kukusan bambu (aseupan), kipas bambu (hihid), centong pangarih (sendok aronan), alat menanak nasi yang terbuat dari kayu (dulang).
Makna upacara Seba di balik rangkaian ritual yang masih setia dipertahankan masyarakat Baduy adalah penegasan bahwa masyarakat Baduy merupakan masyarakat pertapa (asketis). Jika dilihat dari susunan kemasyarakatannya, Baduy Tangtu (Baduy Dalam), yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik, merupakan tiga kampung yang paling taat menjaga adat. Letak ketiga kampung tangtu dikelilingi oleh kampung panamping (Baduy Luar). Orang panamping kedudukannya lebih rendah dibandingkan Baduy Tangtu menurut adat mereka. Masyarakat Baduy panamping bertugas menjaga tiga kampung tangtu dari pengaruh masyarakat luar.
Makna hasil bumi atau hasil pertanian yang mereka bawa untuk “Bapak Gede” adalah penegasan bahwa hingga saat ini masyarakat Baduy adalah masyarakat petani yang sekaligus menegaskan bahwa kehidupan mereka amat tergantung pada kondisi alam. Kondisi alam akan berpengaruh langsung dengan pertanian yang mereka usahakan.
Untuk menjaga lingkungan alam agar tidak rusak, maka amanat Puun yang disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Lebak maupun Provinsi Banten adalah agar bersama-sama dengan masyarakat Baduy menjaga kelestarian alam. Ketentuan adat sangat ketat dalam menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan mereka.
Sistem perladangan berpindah (seperti telah dijelaskan di atas) sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah mereka. Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya.
Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada zaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air.
Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan DAS tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem.
Dengan demikian, pertanian yang mereka praktekkan adalah pertanian sederhana, sesedikit mungkin mengolah tanah dan hanya untuk kebutuhan bertahan hidup secara subsisten saja. Bekas ladang akan diliarkan kembali dan menjadi hutan belukar, dan seterusnya menjadi hutan sekunder. Selain itu, hewan ternak yang berkaki empat juga ditabukan mengingat injakan kaki serta kebutuhan makanan ternak akan daun-daunan dalam jumlah banyak diyakini pula dapat mengganggu kelestarian hutan. Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan fungsi.
Penulis : Alif Aulia Japra