Dijantung ekonomi informal Jakarta yang menggeliat, hukum paling dasar yang berlaku selalu terkait dengan penawaran dan penyediaan yang kontras, hal yang sama juga berlaku untuk air. Air adalah sesuatu yang ada dimana-mana tapi tidak mengalir kerumah-rumah penduduk, selain harus membayar biaya bulanan dan denda untuk air yang tak pernah mengalir, warga masih harus mengeluarkan duit untuk membeli air dari pedagang keliling.
Sebagai pengganti dari lemahnya pelayanan air perpipaan yang dikelola operator swasta – hanya 25 persen warga Jakarta yang mendapat akses terhadap sumber air minum layak (BPS 2014 – 2018[i])– sebagian besar warga yang hidup dikawasan kumuh hingga kawasan elite masih menggunakan sumur galian untuk memenuhi kebutuhan air guna memasak dan mencuci dan mereka yang tak mampu membeli air kemasan, terpaksa memasak air tersebut untuk dikonsumsi.
Akan tetapi Muara Baru adalah cerita lain, sumur disana sangatlah terkontaminasi oleh limbah dan air laut, hingga warga yang bermukim disalah satu kawasan termiskin Jakarta Utara ini terpaksa mencari air ditempat lain. Masalah air tanah yang terkontaminasi juga merupakan masalah sebagaian besar warga Ibukota. Lebih dari 94 persen air tanah Jakarta mengandung bakteri Ekoli.
Secara perlahan Jakarta sedang tenggelam, para ilmuwan memprediksi kawasan seperti Muara Baru akan tenggelam secara permanen jika tidak ada tindakan mendasar yang dilakukan. Operator swasta seringkali tanpa sepengetahuan Gubernur DKI menaikkan tarif dengan cara merubah golongan pelanggan, Gubernur juga baru mengeluarkan Keputusan yang melegalisasi perubahan adundum kontrak kerjasama PAM Jaya dengan AETRA yang seharusnya berakhir tahun depan, publik sama sekali tidak engetahui apa isi KepGub tersebut. Berbagai kampanye seadanya dilakukan untuk mengurangi ektraksi air tanah dengan maksud agar warga beralih menggunakan air pipa, namun tidak diiringi dengan perbaikan kinerja dua operator swasta, kapasitas keduanya juga sangat diragukan untuk bisa merespon peralihan yang dimaksudkan. Begitu kita melihat statistik, maka akan sangat jelas terlihat bahwa pelayanan air perpipaan di Jakarta adalah yang terburuk, namun berhasil mengumpulkan tumpukan untung yang dibagi – bagi antara perusahaan swasta dengan segelintir birokrat serta politisi pendukung mereka.
Instalasi perpipaan yang melayani 25 persen warga Jakarta sebagian besar telah berumur lebih dari 200 tahun yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Lebih dari 50 persen air yang mengalir bocor ditengah jalan, situasi yang masih diperumit dengan fakta ketiadaan peta instalasi jaringan. Walaupun operator selalu mengklaim bahwa air yang diproduksi dan dialirkan keluar dari instalasi pengolaan adalah air yang dapat langsung diminum, akan tetapi air yang sampai kerumah warga telah lebih dulu tercemar diperjalanan dan tidak mungkin untuk dijadikan air minum.
Lebih lanjut lagi, dari 13 sungai yang mengaliri Jakarta, sebagian besarnya merupakan tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga, hanya 1,5 persen pemukiman yang memiliki sistem sanitasi yang layak. Sementara jarak aman antara sumber air dengan septitank adalah 10 meter.
Adalah sesuatu yang miris bahwa pemerintah mengalihkan tanggung jawabnya dalam memastikan keteraksesan layanan air bagi warga dengan cara memperlakukan air sebagai barang ekonomi, ketimbang sebagai barang publik dengan fungsi sosial. Privatisasi layanan air telah dijadikan tujuan tersendiri, bukan lagi sebagai proses untuk meningkatkan pelayanan.
Setelah penetapan UU Sumberdaya Air No.7 tahun 2004, kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015, hingga lahirnya UU Sumberdaya Air No.17 tahun 2019, komersialisasi semakin menggila, peran swasta semakin meluas dalam sistem dan sumber air publik, tarif air telah naik sampai 227 persen sejak 2005, dan akan ada banyak lagi kenaikan tarif terselubung. Dalam setiap kerjasama Pemerintah dengan Swasta – sekarang disebut dengan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) – selalu ditandai dengan 3 jaminan penting dari pemerintah untuk swasta/penanam modal: (1) Jaminan pengembalian modal, yang prosentasinya ditetapkan dari awal kerjasama dan sering diselipkan dalam komponen tarif yang “wajib” dibayar warga, (2) jaminan keuntungan yang diatur diawal kerjasama dan selalu menyaratka kenaikan tarif secara berkala (setiap enam bulan sekali), yang wajib dibayar pelangan dan tidak mensyaratkan kewajiban meningkatkan kwantitas dan kwalitas layanan bagi operator, dan (3) jaminan dari resiko.
Buruknya layanan air di Indonesia bisa juga dilihat sebagai situasi yang dibiarkan dan menciptakan ketergantungan yang kuat pada air minum dalam kemasan, dua raksasa utama; Aqua yang dimiliki oleh Danone dan Ades yang dimiliki Coke mengendalikan 70 persen pasar.
Kembali ke Muara Baru yang sebagian besar warganya hidup dipemukiman yang oleh pemerintah dikategorikan “ilegal”, kampung-kampung yang ditolak untuk dipasangi instalasi perpipaan oleh operator swasta, akan tetapi ada saja orang-orang kuat yang bisa mengatur sambungan ilegal, jangan tanya bagaimana caranya, seorang toke yang memiliki sambungan dari PALYJA bisa melayani hingga seratus rumah tangga dengan selang temporer. Warga RW 17 Muara Baru banyak yang menjadi pelangan Master Meter yang dikerjakan Palyja, mereka membayar Rp.15.000 – hingga Rp. 17.000 / M3, sama dan bahkan lejauh lebih mahal ketimbang air yang digunakan oleh gedung-gedung mewah (apartement, mall, perkantoran) yang berjarak tidak lebih dari 5 kilometer dari kampung mereka.
Bu Sum (67 tahun), seorang ibu rumah tangga dengan 9 orang anggota keluarga, bercerita bahwa sudah sejak setahun lalu air di rumahnya tidak mengalir, tapi tagihan air datang terus.
“ Kami harus keluar duti Rp.600.000 per bulan,” kata Bu Sum,
Ibu Sumarti, warga RT 09 RW 17 pernah menyaksikan seorang pengelola hydran hanya membayar tagihan air sebesar Rp.70.000an saja, namun setelah sampai dirumah, ia disusul oleh beberapa pegawai PALYJA. Warga mencurigai disaat itulah terjadi pembagian hasil dari penjualan air yang disedot dari hydrant dan dijual ke warga Rp.10.000 hingga Rp.15.000 per gerobak, ditingkat pengecer air dijual seharga Rp.4000 – Rp.5000 per pikul (2 derigen/40 Liter)
Temuan lapangan yang terakhir oleh KRuHA pada menunjukkan ada proses kucing – kucingan: air akan mengalir (dialirkan) jika warga mulai konsolidasi, bahkan aksi sana sini, biasanya pasca konsolidasi antar RT air akan mengalirkan kerumah-rumah warga, walaupun terbatas hanya dari jam 01.00 WIB dinihari hingga 06.00 WIB. Hal ini terulang pada setiap kali warga melakukan pertemuan terkait air, air akan mengalir selama beberapa jam lalu mati lagi.
Disepanjang jalan raya Muara Baru akan dengan mudah ditemui pangkalan air isi ulang yang airnya bersumber dari Gunung Salak, air dialirkan melalui 6 tabung silinder dan dijual di dalam tabung aqua seharga Rp.3000 per galon. Test terbaru yang dilakukan menunjukkan bahwa kualitas air yang dijual sama dengan kualitas air yang bisa diminum, akan tetapi banyak warga yang tidak terlalu yakin dengan hasil tes tersebut.
“Dari mana kita bisa tahu kalau air itu benar-benar dari Gunung Salak?” kata Pak Lukas yang tinggal di RT 17.
“Terlalu mahal kalau harus pakai minyak ato gas untuk masak air, kami terpaksa beli air untuk minumlah. Gunung Salak itu kan jauh sekali dari sini, tapi mereka bisa jual air semurah itu, kayaknya agak mustahil juga, tapi kami bisa apa juga kalo mereka bohong?”.
Kab/Kota | Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air Minum Layak Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta, 2014–2018 | ||
2016 | 2017 | 2018 | |
Kep Seribu | 3.52 | 24.31 | 9.49 |
Jakarta Selatan | 31.77 | 32.11 | 33.37 |
Jakarta Timur | 24.74 | 23.08 | 25.76 |
Jakarta Pusat | 28.38 | 23.19 | 20.28 |
Jakarta Barat | 32.82 | 24.52 | 21.65 |
Jakarta Utara | 18.89 | 19.06 | 17.66 |
DKI Jakarta | 27.53 | 24.70 | 24.48 |
[i] Baca BPS DKI Jakarta https://jakarta.bps.go.id/dynamictable/2020/02/10/283/4-3-9-persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-sumber-air-minum-layak-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-dki-jakarta-2014-2018.html. Untuk membantah ini operator swasta biasanya akan bikin survey sendiri dengan indikator sendiri dan selalu keluar dengan presntasi yang tinggi. Hal ini juga terjadi pada pola hitung dan klaim kerugian akibat kebocoran air, baik kebocoran teknis maupun finansial / non reveneu water (NRW).
Muhamad Reza Sahib
@KRuHA2021