Damar Banten - Sekalipun demikian, usia dari Tentara Rakyat tidak lah panjang, di akhir bulan Oktober 1949, aktivitas mereka berhasil ditumpas. TNI dengan menggunakan stoot troep Brigade Tirtayasa yang berada di bawah pimpinan Letnan Satu Jambar Wardana, melakukan pengejaran serta penghancuran terdapat Tentara Rakyat.
Didatangkannya TNI dari luar Banten guna membantu usaha penumpasan tersebut. Setidaknya ada dua kompi dari Batalion pimpinan Kosasih dari Brigade Suryakencana, Sukabumi, kedua kompi itu di antara Kompi Kapten Tarmat serta Kapten Suripto, yang bergerak dari selatan melalui Cisolok–Cobareno–Cikotok–Bayah menuju Cibaliung.
Selanjutnya, mereka juga dibantu oleh Batalion Sudarsono yang bergerak dari utara melalui Menes–Labuan–menuju Cibaliung. Pasukan-pasukan itu lalu menyerang Cibaliung, Cibadak, Air Jeruk, serta Air Mokla. Daerah itu sebelumnya merupakan wilayah yang sempat dikuasai oleh Tentara Rakyat, yang kemudian berhasil direbut kembali.
Sempat terjadi beberapa kali pertempuran di antara kedu belah pihak, akibat kalah jumlah dan persenjataan, Tentara Rakyat akhirnya memilih untuk mundur dari Cibaliung menuju Gunung Honje, dekat Semenanjung Ujung Kulon, di sana pertempuran kembali terjadi. Kekuatan dari Tentara Rakyat hanya tinggal beberapa ratus orang, akibat banyak di antara mereka yang telah ditangkap dan menyerah kepada TNI.
Karena banyak dari Tentara Rakyat yang terbunuh serta terpencar, akibat sebagian besar dari mereka masuk ke dalam hutan di Semenanjung Ujung Kulon. Sebagian dari mereka ada yang naik perahu, sebagian lainnya berjalan menuju timur melalui hutan-hutan, kembali ke daerah mereka yang lama di sebelah timur, sebagian yang lain menuju Sukabumi Selatan, serta sebagian lain menuju wilayah Bogor.
Ada sekitar 200 orang Tentara Rakyat tertangkap serta menyerah, di awal bulan November 1949, operasi terhadap Tentara Rakyat berakhir. Pada pertempuran tersebut berlangsung, Khaerul Saleh tidak ada di sana, namun pada 4 November 1949, ketika dirinya menuju ke Jakarta via Balaraja Saleh akhirnya tertangkap, dirinya lalu ditahan di penjara Banceuy, Bandung.
Berkas perkaranya kemudian dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Banten, oleh Jaksa Tentara di Bandung. Pada tahun 1950, Saleh akhirnya dibebaskan dari penjara, selanjutnya menjalani pengasingan selama beberapa tahun di Jerman Barat. Hal serupa juga terjadi kepada K.H. Akhmad Khatib yang telah ikut menyetujui serta menandatangani ”proklamasi” beserta maklumat-maklumat Tentara Rakyat, Khatib akhirnya tertangkap lalu kemudian ditahan, dirinya dibawa menuju markas Brigade Tirtayasa di Kadukacang, Cibaliung.
Di tanggal 30 November 1949, berdasarkan panggilan dari Staf Divisi Siliwangi, Khatib pergi menuju Markas Divisi Siliwangi di Sumedang. Panggilan tersebut diduga berhubungan dengan pasukan Tentara Rakyat. Setelah pemanggilan itu, dirinya tidak lagi menjabat sebagai residen Banten, melainkan tenaganya diperbantukan pada Gubernur Jawa Barat Sewaka.
Guna mengisi kekosongan jabatan Residen Banten, untuk sementara diangkat M. Kafrawi dari Surabaya untuk berperan sebagai Residen Banten. Dirinya kemudian dibawa ke Yogyakarta, pada tahun 1950, dirinya dibebaskan namun pada tahun berikutnya tertangkap kembali, serta dipenjarakan di Bandung selama empat bulan. Pada 1955 ia menjadi anggota Parlemen Sementara mewakili PSII, serta pada 1958 diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI.
Syamsuddin Chan serta Muhidin Nasution juga ikut tertangkap. Wim Mangelep kembali ke daerahnya di hilir Sungai Citarum. Akan tetapi pada bentrokan senjata dengan TNI dirinya tewas. Sidik Samsi serta Camat Nata selamat, dirinya kembali memimpin BR di kaki Gunung Sanggabuana, Purwakarta. Nata akhirnya memenuhi amnesti resmi pada Maret 1954, dirinya kembali ke kehidupan sipil
Penulis: Ilham Aulia Japra