Diskusi bertajuk “Merawat Persaudaraan, Membangkitkan Keberanian” yang diselenggarakan Sabtu 4 Juli 2022 bertempat di resto Pawon Jinawi Yogyakarta berkesimpulan bahwa kini saatnya aktivis mahasiswa tidak lagi terlibat dalam aksi dukung mendukung Capres/Cawapres pada 2024. Diskusi yang berlangsung dari pukul 14.00 sampai 20.00 tersebut dihadiri oleh para pentolan aktivis dari angkatan 1974, 1977/1978,1980, 1998, dan 2000-an. Mantan Ketua FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogya), Brotoseno, karena itu berharap agar diskusi tersebut bukan bagian dari tiga diskusi yang diselenggarakan sebelumnya di Yogyakarta yang masih bernuansa mendukung Capres tertentu.
Aktivis Kembali ke Khitah
Jumhur Hidayat, tokoh mahasiswa tahun 1980, yang pernah ditahan saat Rezim Suharto dan kini oleh Rezim Jokowi menyerukan: “Agar para aktivis kembali ke khitah. Saatnya kembali membela serta menjadi bagian rakyat atau society. Marilah kita membela para buruh yang kini tertindas oleh UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) seperti para pejuang kemerdekaan yang melawan kebijakan Kerja Paksa pemerintah kolonial Belanda”.
“Siapapun presidennya dan apakah masa jabatan presiden mau diperpanjang 3 kali bahkan 5 kali bukan urusan para aktivis”, tambah Jumhur. Hal sama disampaikan oleh S Indro Tjahyono: “Siapa pasangan capres dan cawapres yang mau didukung, kalau itu cuma produk bongkar-pasang untuk melanggengkan kekuasaan para elit politik. Rakyat juga bingung pilih siapa kalau capresnya semua masih berbau kencur”. Kita merindukan kembali mahasiswa berjuang bersama dan berpihak pada rakyat dalam berhadapan dengan negara atau state yang cenderung korup, ujar Indro.
S Indro Tjahyono aktivis mahasiswa 1977/1978 yang kenyang disatroni polisi dan tentara saat melawan rezim-rezim otoriter mengajak para aktivis kembali ke fitrahnya sebagai kaum intelek. Sebaiknya kita buat konsep kebijakan strategis baru untuk presiden dan pemerintah baru setelah Nawacita gagal dilaksanakan. Dengan demikian presiden tidak hanya menjalankan program yang menjadi agenda oligarki.
Ikhlas Memilih Jalan Oposisi
Para aktivis harus mengawal dan mengawasi apakah konsep yang diserahkan benar-benar dilaksanakan. Jika diabaikan, para aktivis bersama masyarakat tinggal menjadi kelompok penekan (pressure group). Mengingat presiden selalu mendapat bisikan untuk tidak melibatkan vpara idealis dalam pemerintah, maka para aktivis harus ikhlas memilih jalan oposisi sebagai pembela aspirasi rakyat.
“Jangan sampai aktivis terhina lagi karena dihadapi oleh brimob dan tentara yang sering bertindak barbar”, jelas Indro. Kalau presiden benar-benar tidak bersedia berdialog dengan utusan rakyat, baru dilakukan cara lain. Tentu tidak berarti harus setiapkali presiden diminta mundur atau digulingkan.
Seiring dengan itu, Burhan, salah satu mantan aktivis FKMY yang berdomisili di Batang Jawa Tengah,mengajak semua kalangan untuk melakukan refleksi dan evaluasi demokrasi. Ia pun melempar pertanyaan: “Apakah kandidat yang ingin maju dalam Pilkada harus menyiapkan dana yang nilainya fantastis. Yang berujung dengan ditangkapnya Kepala Daerah oleh KPK karena melakukan korupsi”. Demokrasi kini merupakan bentuk kedaulatan yang palsu, ketika duit dan orang berduit (plutokrasi) mengendalikan keputusan-keputusan penting di negeri ini.
Revolusi Peradaban
In’am eL Mustofa, sebagai pembicara dalam acara tersebut mengajak masyarakat agar segera melakukan perubahan peradaban. “Kita sudah capek melakukan perubahan secara tambal sulam. Perbaikan sudah dilakukan tapi selalu kembali ke titik yang sama” , menurut In’am.
Negara industri baru, seperti Jepang, Korea, Vietnam, dll menempuh gfase revolusi peradaban terlebih dahulu. Sedangkan di Indonesia meremehkannya, sehingga kemajuan dan pertumbuhan yang dicapai mirip gunung pasir yang berantakan kalau tertiup angin
Penulis : Realis Panitia