Damar Banten - Upaya dari VOC dalam menjadikan Jayakarta sebagai pusat perdagangan serta markas mereka, telah dipersiapkan berdasarkan perjanjian yang sudah lebih dulu direncanakan pada 13 November 1610, oleh Jacques l’Hermite. Dirinya yang ketika itu menjabat sebagai kepala perwakilan Belanda yang bertempat di Banten, yang kemudian secara bersama-sama mendiskusikan perjanjian tersebut dengan Pangeran Jayawikarta, sera laksamana Verhoeff. Muatan atas perjanjian tersebut disusun ketika berada di Jayakarta, serta mengalami perubahan atas permohonan untuk dibebaskan atas biaya izin ekspor barang perbekalan. Yang pada akhirnya disetujui oleh gubernur jendral Both dengan pembelian tanah untuk penyimpanan barang serta tempat tinggal.
Tujuan demikian dilakukan oleh VOC disebabkan karena letak dari Jayakarta yang bertepatan dengan Selat Sunda, dan jaraknya yang tidak terlalu jauh dengan Selat Malaka. Setelah VOC bermarkas di Jayakarta melalui perjanjian tersebut, atas pembelian lahan di sekitar muara sungai Ciliwung pada tahun 1611, langkah selanjutnya dari VOC adalah membutuhkan sarana-prasarana untuk menunjang monopoli perdagangannya tersebut, seperti galangan kapal serta lokasi guna bongkar muat barang dagangngannya. Hal tersebut dirasa penting, sebab setelah VOC melakukan pelayaran selama berbulan-bulan dengan rute Eropa-Jawa, Asia Selatan-Asia Timur, dan Ambon-Batavia, kapal mereka tentu membutuhkan servis guna diperbarui dari kayu yang mulai rusak.
Beberapa tahun kemudian, VOC mulai melirik sebuah pulau bernama Onrust, yang posisinya tidak jauh dari Jayakarta. Ternyata, dahulunya pulau tersebut merupakan salah satu lokasi persinggahan bagi anggota keluarga kesultanan Banten. Bahkan pulau Onrust ternyata pernah diperebutkan perihal klaim kepemilikannya oleh kesultanan Banten dengan Jayakarta. Belanda yang saat itu sudah memiliki izin untuk bermukim di wilayah Jayakarta, mulai menaruh perhatian bahkan melakukan pembangunan di pulau Onrust di tahun 1613.
Akhirnya, di tahun 1615, pulau Onrust dimanfaatkan untuk pertama kalinya dengan dibangun berupa galangan kapal, serta ditaruhnya beberapa orang Cina agar membentuk pemukiman di pulau tersebut. Hal demikian dilakukan karena Coen menganggap jika etnis Cina mempunyai etos kerja yang disiplin dan terampil, maka dari dibangunlah sebuah sarana-prasaran di pula Onrust guna menunjang kehidupan mereka di sana.
Selanjutnya, perjanjian yang sebelumnya telah disepakati pada tahun 1611, terus dilanjutkan kembali oleh Pangeran Jayawikarta dengan gubernur jenderal VOC G. Reijsnt pada tahun 1614. Ada penambahan atas isi perjanjian yang dikarenakan ketidakjelasan atas kesepakatan biaya bea cukai, penambangan perjanjian tersebut dibuat supaya dapat meminimalisir permasalahan yang bisa terjadi di lapangan. Isi atas perjanjian tersebut menggambarkan jika aktivitas perdagangan VOC di Jayakarta, mengalami pertumbuhan pesat serta berjalan dengan adanya sedikit hambatan, hal demikian juga memperlihatkan, bahwa sejak saat itu kapal-kapal dagang yang mempunyai kepentingan dengan VOC, sudah sering berlabuh di Jayakarta.
Hal demikian telah menunjukkan jika pemanfaatan pulau-pulau disekitar teluk Jayakarta, sudah sangat berguna untuk menunjang perkapalan yang akan melakukan perdagangan. Pulau Onrust menjadi sangat penting karena letaknya yang sangat strategis sebagai galangan kapal. Ditambah, sistem perdagangan VOC di Batavia sejatinya memakai cara distribusi, yakni hasil produk-produk barang dagang serta komoditi yang dihasilkan dari daerah-daerah di seluruh Asia, akan dihimpun terlebih dahulu di pelabuhan kota, yang nantinya akan didistribusikan menuju negeri-negeri yang berpeluang menghasilkan laba yang banyak.
Ternyata, antara Inggris dan Jayakarta telah berhubungan sebelumnya, serta mengincar daerah Jayakarta sebagai tempat perdagangannya yang aman. Inggris kemudian mencoba untuk menganggu kedudukan VOC, dengan melakukan perundingan terhadap Pangeran Jayakarta, tentang perdagangan serta tempat pemukiman. Sayangnya, pada 2 Januari 1615, Pangeran Jayakarta engga menyetujui permintaan tersebut, karena melarang
keinginan Inggris untuk memiliki dua markas perdagangan, yang sudah bertempat di Banten.
Hal demikian menjelaskan jika perdagangan VOC di Jayakarta akan mengalami persaingan. Akhirnya, di tahun 1618, J.P. Coen sebagai gubernur jendral VOC menegaskan jika pulau Onrust dijadikan sebagai daerah kekuatan militer angkatan lautnya, dalam menanggapi
potensi serangan dari Banten dan Inggris, terkhusus untuk pertanahan dari penyerangan pasukan angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh Sir Thomas Dale. Inggris yang pada saat itu diperintahkan oleh kesultanan Banten, agar menyingkirkan VOC sebagai saingan perdagangannya yang berada di Jayakarta. Akhirnya, Inggris kemudian membawa kapal-kapalnya yang berjumlah sebelas, yang dipimpin oleh Sir Thomas Dale berkonfrontasi dengan kapal-kapal milik J.P. Coen yang berjumlah tujuh di teluk Jakarta.
Selama tiga jam bertempur, J.P. Coen berhasil dipukul mundur oleh Inggris, Coen kemudian
menghindar hingga Maluku, di Maluku, J.P. Coen kemudian menghimpun kekuatan serta kembali ke Jayakarta pada 28 Mei 1619, dengan membawa kekuatan seribu tentaranya ke Jayakarta, guna menguasai Jayakarta. Pada 30 Mei 1619, J.P. Coen bersama dengan tentaranya kemudian berhasil menguasai Jayakarta dengan cara menyingkirkan tentara kesultanan Banten, serta menghancurkan kota Jayakarta. Sebagai keberhasilannya dalam menguasai kota Jayakarta, Coen akhirnya mengganti sebutan Jayakarta menjadi Batavia.
Pada akhirnya, VOC secara mutlak berkuasa dengan menjadikan Batavia sebagai bagian inti dari monopoli perdagangan. Kemudian VOC melakukan pemugaran atas pulau Onrust, dengan membangun bangunan pertahanan yang berbentuk persegi empat, yang juga dilengkapi dengan dua bastion. Selanjutnya pada tahun 1671, benteng pertahanan VOC di Pulau Onrust direnovasi ulang dengan desain persegi lima yang lebih luas, serta dilengkapi dengan bastion disetiap ujungnya, benteng tersebut semuanya berbahan dasar bata dan karang dalam pembuatannya.
Di tahun 1674, didirikanlah sebuah kincir angin di Pulau Onrust, serta pada tahun 1691, didirikan kembali kincir angin tambahan di pulau Onrust. Kedua kincir angin itu berfungsi sebagai pemotong kayu-kayu yang dipotong dengan mekanisme kolam, yang kemudian akan dinaikan pada mesin di jalur menuju tempat penggergajian, yang akhirnya akan menghasilkan potongan berupa papan. Papan-papan tersebut yang nantinya akan berguna sebagai bahan dasar perkapalan.
Aktivitas perkapalan di pulau Onrust kemudian dikontrol oleh seorang kepala bidang perlengkapan kapal, yang dalam bahasa Belanda jabatan tersebut disebut dengan Equipagemeester. Jabatan sebagai Equipagemeester bertugas untuk mengontrol aktivitas perkapalan, baik yang berada di pelabuhan ataupun aktivitas perkapalan yang ada di pulau Onrust. Tugas dari Equipagemeester juga dibantu oleh jaksa yang bertugas melakukan pemeriksaan atas setiap administrasi kelasi, dan barang-barang yang dimuat di kapal-kapal. Seorang Equipagemeester juga biasanya menjalani bentuk usaha sampingan seperti, penjualan peralatan kapal yang harganya cukup mahal, guna mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Sementara itu, para buruh yang bekerja memperbaiki kapal-kapal layar di pulau Onrust, memiliki keahlian yang sangat handal, hal demikian telah diakui oleh James Cook yang berlabuh di pulau Onrust guna memperbaiki kapal Endeavour, ketika berlayar ke seluruh negeri di tahun 1770. Sebelumnya, di tahun 1757, VOC mengirimkan para budak guna dipekerjakan di pulau Onrust, yang pada tahun-tahun selanjutnya dikirim kembali 600 budak yang statusnya adalah disewakan, sementara bagi para buruh yang statusnya bukan budak, hanya dapat diperbolehkan setiap enam bulan sekali pulang ke Batavia. Para awak kapal yang membelot akan mengalami status sebagai pekerja paksa.
Para buruh di pulau Onrust, dituntut dengan keras agar dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan singkat, dengan upah yang yang sangat kecil. Kondisi para buruh kian menyedihkan dengan adanya wabah malaria yang mematikan, yang dapat kapan saja mengancam orang-orang yang tinggal di sana. Situasi di pulau Onrust antara tahun 1712, 1723, dan 1735, menjadi sangat mencekam, VOC setiap malam harus mengirimkan pasukan ke pulau Onrust, guna menghindari pemberontakan. Hal tersebut diakibatkan karena perlakuan terhadap buruh, tahanan, serta budak yang sangat buruk.
Pada masa itu, perdagangan budak memang sangat lumrah terjadi di Hindia Belanda, terkhusus menjadi perdagangan utama yang dihasilkan dari Bali, perdagangan tersebut merupakan budak yang didapatkan dari penguasa-penguasa daerah Bali, dengan cara menjual masing-masing tawanan mereka. Diperkirakan ada sekitar 1300 budak yang berasal dari Bali di tahun 1778, yang menetap di Batavia. Corak di era tersebut sangat menegaskan jika aspek perdagangan, bahkan manusia, dapat menjadi produk perdagangan.
Pada tahun 1808, Keterkaitan antara Eropa serta Jawa, mengalami perubahan corak baik dalam segi politik, sosial, serta ekonomi. Pada saat Belanda berhasil ditaklukan oleh Prancis, yang dipimpin oleh Napoleon pada tahun 1795. Akhirnya, ditunjuk Louis Napoleon sebagai pemimpin di Belanda di tahun 1806, yang kemudian mengangkat gubernur jenderal baru bernama Herman Willem Daendels pada tahun 1808, di Batavia. Raja Willem V yang merupakan raja Belanda sebelum ditaklukan oleh Prancis, berhasil menyelamatkan diri ke Inggris. Pada surat-surat raja Willem V, dirinya menyuruh kepada penguasa-penguasa yang ada di derah kolonial Belanda, agar segera memberikan kekuasaannya pada pihak Inggris, yang bertujuan supaya Prancis tidak dapat menguasai daerah-daerah tersebut.
Kendati demikian, Inggris memang telah mengisolasi Batavia pada tahun 1795, ketika markas pusat Prancis di Mauritus bisa ditaklukan pada tahun 1810 akhir, oleh sebab itu, Inggris berencana untuk segera menaklukan pulau Jawa. Pada tahun 1811, armada laut Inggris yang jumlahnya enam puluh kapal, berada di Batavia. Armada laut Inggris tersebut dipimpin oleh H. L Ball dan E. Pellow, yang kemudian meluluhlantakkan pulau Onrust. Hal demikian sebetulnya sudah pernah dilakukan di tahun 1803, pulau Onrust sudah lebih dulu dihancurkan oleh Inggris, sebelum mereka penaklukan seluruh pulau Jawa.
Penulis : Ilham Aulia Japra