Wacana evaluasi demokrasi pasca reformasi 1998 menjadi catatan penting perkembangan demokrasi di Indonesia.
Gagasan ini disampaikan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, sebagai refleksi 23 tahun perjalanan demokrasi pasca reformasi.
Melalui kajian panjang dan mendalam, serta berdasarkan fakta dilapangan selama 5 kali pelaksanaa pesta demokrasi (pemilu, seperti pileg, pilpres ataupun pilkada).
Demokrasi di Indonesia belum mampu menghadirkan kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan, keharmonisan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selama 23 tahun reformasi, demokrasi justru menghasilkan, kesenjangan, biaya politik yang mahal, transaksional, dan social distrust yang cenderung memecah belah sesama anak bangsa yang berpotensi mengoyak persatuan dan kesatuan Indonesia.
Semua lembaga pemerintahan (eksekutif), legislatif, yudikatif, bahkan sampai kepala daerah merasa paling hebat dan berkuasa.
Kondisi ini membuat Bang Zulhas terpanggil untuk mengembalikan demokrasi yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan janji kebangsaan cita-cita pejuang bangsa.
Yaitu, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, sebagaimana yang termaktub dalam nilai luhur Pancasila sila ke-4. Bukan berarti dipimpin oleh seseorang (presiden ataupun penguasa).
Bang Zulhas pun menegaskan, bahwa evaluasi demokrasi 23 tahun reformasi tidak sama dengan amandemen UUD 1945.
Evaluasi yang dimaksudkan bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang memiliki nilai, etika dan etiket.
Sehingga demokrasi bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran, kesetaraan, keharmonisan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah 5 kali pemilu, selama 23 tahun pasca reformasi. Demokrasi di Indonesia hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan semata, atau dengan istilah lain demokrasi prosedural, baik pileg, pilpres maupun pilkada.
Selain itu, semakin hari biaya demokrasi semakin mahal, ongkos politik pun semakin tinggi, transaksional, melahirkan kesenjangan dan social distrust.
Pasca pileg, pilpres, maupun pilkada, dari perkotaan hingga kepedesaan rakyat terbelah, ada kelompok sana dan kelompok sini.
Media sosial dipenuhi berita hoax, caci-maki, saling menghujat, menanamkan kebencian yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Akibat ongkos politik yang tinggi dan transaksional, tidak sedikit dari mereka yang terpilih dalam pemilu melakukan tindakan korupsi.
Biaya mahal yang dikeluarkan negara untuk penyelenggaraan pemilu tidak membuahkan hasil yang maksimal untuk kemajuan bangsa.
Pada akhirnya demokrasi di Indonesia hanya melahirkan raja-raja kecil baru, oligarki baru, dan dinasti politik baru yang memiliki akses di legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun TNI dan Polri, serta lembaga pemerintahan lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, jika kita abai maka akan menjadi suatu keniscayaan bangsa kita semakin menjauh dari cita-cita reformasi dan cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan.
Gagasan Bang Zulhas untuk melakukan evaluasi demokrasi diera reformasi harus disegerakan. Baik dari segi produk perundang-undangan maupun kebijakan parpol peserta pemilu, kebijakan pelaksanaan pemilu, serta hal terkait lainnya.
Sampai kapan kah demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan..?!
Saatnya kita semua memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, bahu-membahu dengan semangat gotong-royong bergerak bersama memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia, untuk menunaikan tugas sejarah yang kita emban, yaitu mewujudkan cita-cita reformasi dan cita-cita pejuang kemerdekaan.
Jika iklim demokrasi kita sehat dan kontestasi dalam pemilu berlangsung dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Serta mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan yang berpegang teguh pada UUD 1945 (Pembukaan dan Batang Tubuh) dan Pancasila.
Maka akan menjadi suatu keniscayaan Indonesia dapat menyongsong Indonesia Emas 2045 dengan gemilang dan penuh harapan.
Oleh: Lutfi Nasution/LuNas || Kader PAN – Aktivis Gerakan 1998
Jakarta, 9 September 2021