Urusan PT dan Capres adalah urusan politik negara ( state) . Urusan aktivis adalah membela dan berpihak kepada rakyat ( society/people). Sebaiknya kita kembali ke khitah yakni menjadi bagian dari rakyat dan membangun kekuatan rakyat. Karena negara harus menjalankan mandat atau perintah rakyat. Arah gerakan ditujukan untuk presiden dan anggota DPR yang tidak menjalankan amanat/ mandat rakyat. Inilah mengapa pada tahun 1998 Gedung DPR-RI diserbu dan diduduki. Sudahkah hal ini kita lakukan, yakni membangun jaringan kekuatan rakyat yang tercecer. Dipecahbelah oleh parpol, padahal parpol adalah petugas rakyat. Ingat ,rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan.
Aktifis harus mengurus demokrasi atau kedaulatan rakyat ini. Apakah DPR-RI sudah mendengar aspirasi dan menjalankan mandat rakyat ini? Wajib hukumnya ini kita persoalkan. Apakah presiden sudah menjalankan keputusan- keputusan DPR-RI? Triaspolitika harus dijalankan; tetapi kalau eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah menjadi satu; apakah negara demokrasi itu terwujud? Menurut UUD kita menganut sistem presidensial. Tetapi kalau hak prerogatif presiden justru digunakan untuk menempatkan orang- orang parpol di kabinet, lembaga nonpemerintah, dan lembaga atau badan/ dewan yang harusnya membawa suara dan berpihak pada rakyat (nonpartisan) yang hakekatnya merupakan sistem parlementer, apakah ini benar? Apakah urusan Presidential Threshold (PT) merupakan urusan MK? Padahal untuk menentukan PT harusnya dilakukan referendum. Kapan MPR dan DPR memasukkan referendum sebagai wujud hak politik fundamental dari rakyat.
Menjelang Pemilu/Pilpres 2024, kita disuguhi oleh kepongahan parpol seolah-olah itu pesta para parpol. Padahal jika politik uang ( money) masih berjalan, pemilu tak lebih dari kebohongan. Suara rakyat dirampas dan diborong dengan harga picisan. Kebohongan besar saat ini adalah, rakyat disuruh menonton mereka memilih pasangan capres/cawapres yang akan diadu pada 2024. Mereka membongkar pasangan calon Capres/Cawapres seperti pasangan pada karapan sapi. Mereka bayar lembaga polling, seolah angka yang tertinggi adalah mereka yang paling dikehendaki rakyat. Biarkan saja parpol jungkir balik bertingkah. Itu semua adalah bagian politik negara ( state) dan bukan urusan aktivis yang berpolitik dan berpihak pada rakyat ( people/society). Makin banyak parpol berakrobat akan makin memperlihatkan kualitas mereka.
Setiap periode Pemilu/Pilpres aktivis atau relawan selalu menjadi jongos partai politik dan capres/cawapres. Persepsi aktifis di mata parpol tidak dianggap dalam kontek sedang memperjuangkan perubahan. Aktivis atau relawan “dibeli putus” setelah diberi uang makan dan uang transpor. Setelah anggota DPR terpilih mereka dicampakkan. Apalagi mau menuntut agar mereka mau memperjuangkan aspirasi rakyat.
Pada Pilpres 2014 dan 2019 aktivis dan relawan ikut mendukung Capres/ Cawapres. Mereka inilah yang banting tulang memobilisasi rakyat untuk memberi dukungan. Bahkan termasuk memobilisasi dana dan menggunakan dana sendiri untuk terpilihnya seorang Capres. Tapi tragisnya di mata Capres mereka dianggap sebagai fans dan organ relawan dianggap fans club. Capres memerintahkan aktivis dan relawan membuat konsep. Tetapi setelah jadi presiden ,mana konsep relawan yang dijadikan kebijakan? Relawan cuma ditimang-timang dengan pertemuan dan selfie di istana yang maknanya mereka dimarginalisasi sebagai agen perubahan. Aktivis dan relawan hakekatnya adalah seorang fans yang pulang ke rumah dengan hanya mengantongi kekaguman dan eksistensi diri. Tetapi dengan masing-masing kelompok mendukung pasangan capres/cawapres, maka solidaritas aktivis yang menjadi pengawal rakyat terceraiberai. Aktivis tidak punya posisi tawar dan harus merengek-rengek kepada presiden untuk mendapat imbalan hadiah seperti seorang pramusaji yang belum dibayar tipsnya.
Good bye capres dan cawapres, kami menunggu seperti apa yang akan terpilih sebagai produk kotak-katikmu. Aktivis akan segera hadir bersama rakyat dan akan bersuara lantang jika presiden itu ternyata loyang rombeng dan bukan emas seperti diharapkan. Kami akan membawa tuntutan dan aspirasi rakyat untuk diwujudkan tidak seperti Nawacita yang kini menjadi asesori dan kaligrafi. Kembalikan lembaga partisipasi rakyat, baik badan maupun dewan, kepada rakyat bukan suplementer terhadap kebijakan pemerintah.
Sabdo Palon nagih janji kembalikan Nusantara kepada haribaan rakyat yang sejati. Jangan engkau tunggu Gunung Merapi Purba akan meletus kembali.
Gunung Kidul, 3 Juli 2022.
Penulis : S. Indro Tjahyono (Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78)