Saat Perang Vietnam lagi berkecamuk pada tahun 1970 an, para mafia Italia dan Gangster lainnya di New York mengalami serangan panik karena serbuan mendadak Narkoba jenis baru yang disebut ‘Blue Magic’. Narkoba tersebut di kuasai oleh kelompok baru tak terduga, pimpinan seorang kulit hitam afro amerika yang mendadak kaya dengan narkotika yg ajib serta tidak diketahui dari mana asalnya.
Dialah Sang Don Frank Lucas ( 09 September 1930 – 30 Mei 2019 , Amerika Serikat ). Saat ditangkap pada tahun 1976, terungkaplah kehebatan Frank Lucas. Dia mengimpor narkoba murni langsung (tanpa perantara) dari segi tiga emas: Vietnam, Thailand, Kamboja. Dan uniknya, pengiriman narkoba tersebut diselundupkan dalam peti mati tentara Amerika Serikat korban perang Vietnam. Bisa lolos karena dia bekerjasama dengan militer Inilah sebuah tragedi konspirasi yang menggemparkan tatanan kehidupan dunia.
Kisah nyata Frank Lucas tersebut ditulis dalam artikel The Return of Superfly di Majalah Newyork, oleh Marc Jacobson, pada 14 Agustus 2000. Riwayat ini kemudian di buat skenarionya oleh Steven Zaillian pada 2002, serta di rilis secara dramatik spektakuler dalam film laris “American Gangsters” pada tahun 2007. Film ini diperankan bintang utama, Denzel Washington, sebagai Frank Lucas dan Russel Crowe sebagai Richie Robert, serta sutradara kawakan Ridley Scot.
Menariknya, dari kisah nyata ini, Frank Lucas, yang divonis 70 tahun penjara, akhirnya hanya menjalani 15 tahun hukuman setelah mendapat program perlindungan saksi, dengan syarat: menyerahkan seluruh harta kekayaannya dan membongkar jaringan mafia internasional. Termasuk keterlibatan aparat militer dan penegak hukum lainnya, serta para gangster terkait. Hal Itu tidak terlepas dari kehebatan detektif kejaksaan / Kepala Satuan Tugas Biro Narkotika Federal, Richie Robert yg fokus dan bersih dari pengaruh kotornya dunia gangster.
Sebenarnya, banyak kisah nyata gembong narkoba dan para gangster, yang kemudian digunakan oleh aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Sebut saja Joe Valachi yg dipenjara tahun 1963, kemudian membocorkan Valachi Papers, yang akhirnya dibunuh dipenjara pada tahun 1971. Selain itu, kisah nyata Josep Massino yg dihukum mati tahun 2004, kemudian bekerjasama dengan pemerintah, maka hukumannya diringankan menjadi seumur hidup.
Fredy Budiman
Fakta kisah ini layaknya menjadi hikmah teruntuk negeri kita Indonesia tercinta. Kisah macam Freddy Budiman (lahir di Surabaya 18 Juli 1977 dan dihukum mati pada tanggal 29 Juli 2016 di Nusa kambangan). Ketika itu usianya masih muda, baru 39 tahun.
Sosok yang oleh keputusan Hukum disebut gembong narkoba ini mengakui mengimport langsung narkoba dari China. Pengakuan itu sepatutnya dijadikan bukti pegangan untuk membongkar jaringan gangster narkoba Internasional.
Pengakuan Freddy Budiman yang menghebohkan adalah, import narkoba dijalankannya selama ini sesungguhnya bekerjasama dengan berbagai aparat Bea Cukai, polisi, BNN dan Militer.
Kesaksian Fredy, sebenarnya, dapat digunakan untuk mengusut keterlibatan aparat di dalam negeri dan saingan mafia dalam negeri serta sebagai alat penekan terhadap pemerintah Cina agar serius bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan interpol untuk mengadang penyelundupan dan membumihanguskan narkoba. Perang Candu babak baru adalah Perang yang sesungguhnya.(Tempo 29 Juli 2016).
Semakin Mengganas
Perang Melawan Narkoba ini wajib segera dilakukan, mengingat penyelundupan narkoba sudah semakin mengganas. Belum lagi, narkoba yang telah di produksi massal di dalam negeri kita, dalam berbagai bentuk yang semakin canggih. Payahnya, narkoba selalu berdampingan dengan korupsi. Sehingga, pemberantasannya harus dengan kekuasaan besar.
Menurut hemat saya, gembong narkoba tidak harus dihukum mati bila dia bersedia bekerjasama mengungkap semua jaringannya, dan membongkar kedok para aparat penegak hukum sipil dan militer yg terlibat bersama cukong besar narkoba. Jika informasinya sepadan dalam menguak konspirasi gembong narkoba, terutama keterkaitan antara bos besar gangster narkoba China dengan bos besar gangster narkoba Indonesia, bahkan negara lain, maka keringanan hukuman tentu layak diberikan, setidaknya diringankan hukumannya dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Perkara semacam ini tidak hanya semata tentang penerapan UU No. 35 / 2009 tentang Narkotika (yang juga perlu revisi), namun sebaiknya juga dimanfaatkan oleh Pemerintah sebagai justice collaborator, demi membongkar jaringan narkoba internasional sebagaimana juga telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 ( perubahan dari UU Nomor 13 / Tahun 2006 ), tentang perlindungan saksi dan korban.
Saat ini Freddy Budiman telah dihukum mati. Memang, gembong narkoba yang tak berguna untuk diajak kerjasama (menjalankan tradisi Omerta tutup mulut), sudah sepatutnya layak di hukum mati. Namun hendaknya, bagi yang bermanfaat dalam membongkar jaringan besar narkoba tentu layak pula diberikan jaminan keringanan hukuman dan keselamatan jiwa nya. Pertimbangannya, jelas. Bahwa setiap orang berhak untuk bertaubat dan memberikan yang terbaik untuk negaranya serta memulai kembali jalan hidupnya menuju kebaikan.
Sayang sekali, Freddy Budiman sepertinya tidak diberikan kesempatan untuk membongkar jaringan mafia narkoba international. Bahkan terkesan terdapat konspirasi untuk segera melaksanakan eksekusi hukuman mati nya. Padahal sudah sepatutnya aparat hukum menyelidiki ulang untuk membongkar jaringan mafia narkoba internasional.
Kini, Pemerintah Indonesia wajib segera meruntuhkan kekuasaan gelap narkoba yang mencengkeram negeri ini. Apalagi, bos besar mafia narkoba di negeri ini masih tentram makmur hidupnya, sementara rakyat makin rusak merana dibuatnya.
Selama ini Indonesia telah menjadi surga bagi para gangster ini. Indonesia bahkan disinyalir menjadi negara darurat narkoba. Kegundahan ini pula yang membuat Komisi III DPR-RI naik pitam mengancam membubarkan Badan Nasional Narkoba (BNN). Pasalnya, BNN selama ini tidak berani menghadap presiden dan melakukan terobosan untuk menyatakan perang terhadap narkoba (Kompas 18 Maret 2021).
Bahwa untuk meruntuhkan kekuasaan Indonesian Gangsters harus pula dihadapi dengan kekuasaan pemerintah. Saatnya Presiden Jokowi belajar dari kegagalan Presiden sebelumnya –Megawati maupun SBY– untuk meruntuhkan jaringan narkoba dan korupsi. Inilah momentum Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bersama wakil rakyat di parlemen untuk memporakporandakan kebejatan narkoba, korupsi, kolusi, nepotisme, rente utang, pencucian uang, perdagangan manusia, terorisme, serta segala bentuk kebejatan moral demi terwujudnya Revolusi Mental yg Hakiki berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jika Penguasa suatu negeri tidak berani memulai sebuah kebaikan, maka sesungguhnya mereka adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Dan bila rakyatnya hanya diam menerima kejahatan, maka mereka juga telah menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Sesungguhnya, kehancuran menunggu mereka yang tidak mau memulai suatu kebaikan.
Oleh karena itu, mari kita Rakyat Indonesia mulai berbuat segala macam kebaikan. Semoga Allah SWT melindungi kita semua. Alfatihah. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.
Wassalam
Penulis : Moh. Syafiq Khan adalah Advokat, Senator Prodem, dan Mantan Ketua Presidium Senat Mahasiswa Universitas Mataram