By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Jalur Rempah Banten Dalam Jejak Cagar Budaya
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Budaya

Jalur Rempah Banten Dalam Jejak Cagar Budaya

Last updated: November 7, 2023 3:43 pm
2 tahun ago
Share
15 Min Read
SHARE
Cagar budaya merupakan suatu jejak sejarah yang bersifat kebendaan baik berupa bangunan, Struktur, Situs, benda, serta kawasan cagar budaya yang berada di darat ataupun di air, yang keberadaannya harus dilestarikan sebagai sarana untuk pengkajian ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta memiliki nilai penting bagi sejarah. Keberadaan dari cagar budaya merupakan bukti langsung secara fisik atas sejarah, berdasarkan tinggalan masalau. 

Sebagai kota masalalu yang sejak dahulu menjadi tempat ditujunya para pedagang dari berbagai belahan dunia, Banten memiliki jejak-jejak tinggalan kebudayaan dari masa lampau yang masih dapat dilihat hari ini, sebagai bukti pentingnya Banten sebagai pelabuhan dalam perdagangan internasional. Jejak-jejak tersebut seperti tidak dapat terpisahkan dari jaringan perdagangan yang sepertinya sudah dimulai sejak abad pertama. 

Salah satu Temuan-temuan arkeologis yang berkaitan dengan komoditas perdagangan kala itu berupa keramik dari Cina. Benda-benda yang dibawa dari Cina tersebut masih tersimpan rapih di Museum Banten Girang dan dapat dilihat setiap hari. Barang-barang yang dibawa dari Cina tersebut salah satunya adalah keramik, menjadi alat tukar bagi beberapa komoditas seperti lada, beras, jahe, serta hasil bumi lainnya.

Berikut merupakan jejak-jejak cagar budaya yang memiliki keterkaitan dengan perdagangan di Banten, yang merupakan bukti dari jalur lada di Banten.
  1. Prasasti Munjul
    Prasasti Munjul berada di aliran sungai Cidanghyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Karena perasasti tersebut ditemukan di Munjul, akhirnya temuan tersebut dinamakan Parasasti Munjul. Dilaporkan ditemukan pertama kali pada tahun 1947 oleh Tobagoes Roesjan dan dilaporkan kepada Dinas Purbakala. Perasasti tersebut berhuruf Palawa dan berbahasa Sansekerta, dipahat pada batu andesit yang berukuran panjang 3,2. Di tahun 1954, J.G. de Casparis dan Boechari melakukan transkripsi pada Prasasti Munjul. Perasasti ini terdiri dari dua baris kalimat yang merupakan seloka dan metrum anustubh, yang berbunyi:

“vikranto ‘yam vanipateh prabhub satyapara (K) ra (mah) narendraddvajabhutena srimatah
Purnnavarmmanah”

Yang artinya

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulai Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”

Dari hasil pembacaan perasasti tersebut, sudah dipastikan bahwa Banten pernah berada di bawah kekuasaan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang berlatar belakang agama Hindu Wisnu. Wilayah Kerajaan Tarumanegara meliputi dataran rendah dari muara sungai Citarum, hingga ke Selat Sunda. Keberadaan dari sebuah perasasti yang berada jauh di pedalaman Banten, menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan keberadaan lada pada masa jauh sebelum perdagangan rempah di Banten tercatat. Bagaimana bisa satu dari tujuh Prasasti Tarumanegara berada jauh dari prasasti-prasasti lainnya yang terpusat di pesisir utara Teluk Jakarta dan Pedalaman Bogor. Apa yang menyebabkan Raja Purnawarman mau melegitimasi wilayah kekuasaan yang sangat jauh dari ibukota-nya. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan sesuatu yang berharga, berupa lada. Hal ini juga diperkuat dengan lokasi ditemukannya Prasasti Munjul berada di aliran sungai Cidanghyang yang merupakan anak sungai Ciliman yang bermuara di Teluk Lada, di daerah pelabuhan bernama Panimbang.
  1. Banten Girang
    Banten Girang adalah situs purbakala yang merupakan cikal bakal Banten. Salah satu tinggalan Kerajaan Banten Girang yang masih dapat ditemui adalah situs Banten Girang yang terletak di Kampung Telaya, Desa Sempu, Kecamatan Serang, Kota Serang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Claude Guillot pada tahun 1988-1992, situs Banten Girang merupakan situs pemukiman/perkotaan. Penafsiran tersebut berdasarkan pada temuan struktur pertahanan yang berbentuk parit dan dinding tanah dengan pola yang tidak teratur. Diperkirakan situs ini berasal dari abad ke-10 dan mencapai puncaknya pada abad ke-13 hingga 14 Masehi. Periodisasi tersebut mengacu pada keramik asing, keramik lokal, pecahan prasasti, benda-benda logam, mata uang, sisa hewan, batu-batuan, dan manik-manik yang ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Guillot. Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. Adapun Banten Ilir atau Banten Lama pada masa itu berfungsi sebagai
    pelabuhan. Agama yang dianut Prabu Pucuk Umun dan rakyatnya ketika itu adalah Hindu-Budha. Di tepi Sungai Cibanten, terdapat goa buatan yang dipahat pada sebuah tebing jurang. Goa ini memiliki dua pintu masuk yang di dalamnya terdapat tiga ruangan. Pada pertengahan tahun 1990-an, ditemukan sebuah arca Dwarapala di Sungai Cibanten, tidak jauh dari situs Banten Girang. Sebagaimana dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Sungai Cibanten dahulu kala berfungsi sebagai jalur transportasi yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman. Di dalam Babad Banten dikisahkan tentang penaklukan seluruh wilayah Banten oleh bala tentara Islam, yang diinterpretasikan sebagai perebutan Kota Banten Girang. Dalam Babad Banten juga disebutkan keterkaitan antara Banten Girang dengan Gunung Pulosari. Ketika Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin singgah di Banten dan Banten Girang, mereka kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Gunung Pulosari yang menjadi tujuan utama. Gunung Pulosari pada masa itu merupakan wilayah Brahmana Kandali, yang dihuni oleh para pendeta. Hasil penelusuran dan penelitian kemudian membuktikan bahwa ditemukan peninggalan pohon lada era purbakala di lereng gunung Pulosari, tepatnya di Desa Pandad, Kabupaten Pandeglang.
  2. Keraton Surosowan
    Keraton Surosowan merupakan salah satu keraton yang berada di Banten. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, yang kemudian dikenal sebagai pendiri dari Kesultanan Banten. Pada masa penguasa Banten berikutnya bangunan keraton ini ditingkatkan, bahkan konon juga melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yang bernama Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk Islam bergelar Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektare. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Sehingga pada masa jayanya Banten juga disebut dengan Kota Intan.Saat ini bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan fondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
  3. Benteng Speelwijk
    Benteng Speelwijk terletak di kampung Pamarican sekitar 600 meter ke arah Barat Laut Keraton Surosowan, Situs Banten Lama. Benteng ini berdenah persegi panjang tidak simetris dan setiap sudutnya terdapat bastion. Benteng Speelwijk didirikan pada tahun 1682, mengalami perluasan pada tahun 1685 dan 1731. Benteng ini dirancang oleh Hendrick Lucaszoon Cardeel, adapun namanya diambil dari nama gubernur VOC, Cornelis Jansz Speelman. Benteng ini seakan menjadi simbol kekuasaan Kolonial Belanda yang dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Abu Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal sebagai Sultan Haji. Sultan Haji adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa yang
    Bersekutu dengan Belanda, sangat berbeda dengan sang ayah yang sangat tegas dalam urusan politik. Saat ini Keadaan bangunan tidak lagi utuh, tapi beberapa sudut benteng ini meninggalkan bentuk bangunan yang masih bisa dinikmati dan diketahui fungsinya. Benteng ini mempunyai dua fungsi, yakni sebagai pertahanan dan pemukiman. Benteng tersebut juga menjadi tempat mengontrol segala kegiatan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten dan juga sebagai tempat berlindung/bermukim bagi orang Belanda. Benteng ini semakin mengokohkan posisi Belanda dalam usahanya memonopoli perdagangan lada yang berasal dari Lampung Selatan, untuk kemudian dijual lagi kepada pedagang-pedagang asing yang berasal dari Cina, Malaysia, Arab, India, dan Vietnam. Benteng Speelwijk dilengkapi dengan empat bastion, jendela meriam, ruang jaga, basemen untuk gudang/logistik, dan tambatan perahu. Benteng ini dilengkapi parit keliling yang berfungsi sebagai pertahanan luar benteng dengan ketebalan antara 1,5 sampai 2 meter. Di benteng ini terdapat bastion dan sebuah menara pengintai. Di bawah bastion terdapat ruangan tempat mesiu disimpan. Pembagian ruangan utama di dalam benteng
    adalah kamar penyimpanan senjata, rumah komandan, kantor administrasi, dan gereja yang semuanya tinggal reruntuhan dan fondasinya saja. Di areal benteng, tepatnya di sisi luar sebelah selatan, terdapat pemakaman orang asing yang disebut kerkhoff. Bentuk bangunan makam terlihat tidak seragam. Salah satu bangunan makam yang paling besar adalah makam Komandan Hugo Pieter Faure (1718-1763), sang panglima perang.

5. Kelenteng
Avalokitesvara Merupakan vihara tertua di Provinsi Banten, konon vihara ini sudah dibangun sejak abad 16. Pembangunan vihara yang terletak 15 km arah utara dari Kota Serang, Banten ini juga tidak bisa dilepaskan dari Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia. Sejarah pembangunan vihara yang terletak di Kecamatan Kasemen, wilayah Banten Lama ini berkaitan dengan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Tokoh penyebar Islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih keturunan Kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien. Melihat banyak pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada tahun 1542 di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid
Agung Banten. Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang. Versi lain menyebutkan, vihara ini dibangun pada tahun 1652, yaitu pada masa emas kerajaan Banten saat dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Bekas Keresidenan Banten
Dibangun pada tahun 1814 dan digunakan petama kali sebagai kantor residen pada masa J. de Bruijn W. D. (1817-1818). Pada tahun 1974 Keresidenan Banten diubah statusnya menjadi Wilayah I Provinsi Jawa Barat dan bangunan ini digunakan sebagai kantor keresidenan Pembantu Gubernur Jawa Barat Wilayah I Banten. Pada tahun 2000,
saat Banten dikukuhkan sebagai provinsi, bangunan ini difungsikan sebagai Pendopo Gubernur Banten. Bangunan ini berbentuk empat persegi panjang, menghadap ke timur, dengan serambi muka ditopang oleh delapan buah pilar bergaya Tuscan berwarna putih. Pada bagian kiri dan kanan serambi terdapat jendela berdaun ganda yang terbuat dari kayu yang bergaya Jalousie. Atap bangunan berbentuk limasan dengan konstruksi kayu. Bangunan ini berdiri diatas fondasi masif yang ditinggikan sekitar 60 cm dari permukaan tanah di sekitarnya dengan lantai berlapis marmer. Jika dilihat dari bentuk gaya arsitekturnya, bangunan ini memiliki gaya yang disebut The Empire Style atau ada juga yang menyebutnya The Dutch Colonial yang berkembang di Indonesia pada masa Daendels. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pilar-pilar putih bergaya Tuscan yang menopang atap depan bangunan.

7. Jembatan Rante
Jembatan ini dibangun di atas anak sungai Kota Banten Lama, yang berfungsi sebagai “tol perpajakan” perahu pengangkut barang dagangan para pedagang asing yang masuk kota kerajaan. Ini mencerminkan betapa sudah majunya ekonomi dan politik Kerajaan Banten pada masa itu. Dengan pajak yang masuk, Maulana Yusuf sudah banyak membangun fasilitas kota. Jembatan Rante dibangun dengan dua buah tiang kokoh dari material bata dan karang di kedua sisinya. Bila tidak ada kapal yang masuk maka jembatan digunakan untuk menyeberang orang dan kendaraan darat, tetapi bila ada kapal yang merapat, maka jembatan dari papan itu diangkat menggunakan rantai, maka disebut Jembatan Rante Jejak arsitekturnya masih dapat dilihat meskipun sudah tidak ada rantai dan papannya lagi. Dua tiang berukuran jumbo masih ada di sana. Anak sungai pun masih ada, meskipun sekarang tidak digunakan lagi. Di sekitar anak sungai sudah banyak dibangun rumah penduduk.

8. Pelabuhan Karangantu
Pada tahun 1511 saat Malaka jatuh ke tangan Portugis, menyebabkan pedagang muslim yang berasal dari daerah Arab, Persia, dan Gujarat enggan untuk berlabuh dan singgah di sana. Hal ini menyebabkan daerah Banten yang terletak di ujung barat bagian Jawa menjadi pilihan. Para pedagang mengalihkan pelayaran melewati Banten yang dinilai memiliki nilai ekonomis dan geografis yang bagus. Terlebih lagi para pedagang tidak
menyukai Portugis yang saat itu sudah menguasai wilayah Malaka. Maka lahirlah sebuah pelabuhan yang besar dengan nama Pelabuhan Karangantu. Pelabuhan Karangantu merupakan pelabuhan terbesar kedua setelah Pelabuhan Sunda Kelapa di Jayakarta,ungkap Tom Pires, seorang pedagang yang juga ahli obat-obatan dari Portugal. Hal ini tercatat dalam buku Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama oleh Uka
Tjandrasasmita, Hasan M Ambary, dan Hawany Michrob. Pada abad 16, pelabuhan ini menjadi tempat persinggahan para pedagang sebelum melanjutkan perjalanan ke Benua Australia. Bahkan, Belanda saat pertama kali masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1596 memakai jasa pelabuhan ini untuk berlabuh. Masih dari buku yang sama, disebutkan Gubernur Belanda Jan Piterzoon Coen pernah membuat catatan soal perahu Tiongkok yang membawa barang senilai 300.000 real di Karangantu. Pelabuhan Karangantu tidak hanya tercatat dalam buku, tetapipeninggalan barang berharga yang pernah diperjualbelikan dapat dilihat di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. Nama Karangantu sendiri menurut mitos yang beredar di masyarakat lahir karena saat itu ada seorang Belanda yang membawa guci berisikan hantu. Hingga suatu hari guci itu pecah dan hantu yang di dalamnya keluar. Mulai saat itulah pelabuhan yang telah berganti menjadi kampung nelayan ini diberi nama Pelabuhan Karangantu.

Sumber : Poko Pikiran Kebudayaan Daerah

Penulis: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Tradisi Kawalu dan Seba dalam Masyarakat Baduy: Upacara, Makna, dan Pelestarian Lingkungan

1 tahun ago

Sebanyak 1.500 Warga Baduy Jalani Tradisi Seba Baduy 2024

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?