Kata “kemandirian” menjadi sebuah konsep atau istilah yang populer, terutama berkaitan dengan kemauan dan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Namun apakah kemauan dan kemampuan untuk mandiri itu terpisah dari hubungan sosial, di mana seseorang atau sekelompok orang itu tidak berhubungan dengan orang lain atau sekelompok orang lainnya? Di sadari atau tidak, dipahami atau tidak, tidak ada kehidupan manusia baik secara perorangan maupun berkelompok orang yang tidak berhubungan dengan orang lain atau kelompok orang lainnya. Hanya Adam dan Hawa, manusia yang “dilahirkan” ke dunia tanpa dua orang yaitu perempuan dan laki-laki yang disebut ibu dan ayah. Hanya Isa manusia yang dikandung dan dilahirkan di dunia oleh seorang perempuan sebagai ibu bernama Mariam tanpa ada ayah sejak awal kejadiannya. Sehingga dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, sifat relasional manusia dengan manusia lainnya adalah natural atau alamiah. Tanpa manusia lainnya, manusia bukanlah manusia, bukan apa-apa. Termasuk kemandirian, tidak terjadi dalam ruang hampa hubungan antar sesama manusia. Kemandirian itu, untuk seseorang atau sekelompok orang itu relasional, bukan personal atau individual. Lalu bagaimana sebuah doktrin yang menjadi dogma sebuah ajaran tentang kehidupan sehari-hari yang baik adalah mendorong atau menjadikan setiap orang berkarakter dan berlaku individual atau menjadi individualis(tik)? Mungkin untuk keegoisan, keserakahan, dan kemunafikan, hal itu cocok dalam menjerumuskan manusia ke dalam neraka atau kehancuran hidup duniawi atau kesengsaraan dalam sejarah kehidupan setiap orang. Hikmahnya memang akhirnya setiap orang akan belajar bahwa kemandirian seseorang atau sekelompok orang itu relasional. Mengapa?.
Seseorang atau sekelompok orang untuk mau dan mampu mandiri saja membutuhkan keberadaan orang lain atau sekelompok orang lainnya untuk mengajari atau membimbingnya. Kemandirian adalah sebuah konstruksi sosial atau diciptakan dalam situasi relasional dan kondisi yang mutual. Tanpa itu, kemandirian hanya menjadi bualan. Apakah mungkin kemandirian seseorang dan sekelompok orang berada dan masih dipercaya akan ada begitu saja termasuk ketika orang lain tidak ada? Alam semesta tidak hanya berisi manusia, sehingga ketika orang lain tidak ada, masih ada tumbuhan dan binatang yang akan “membantu” kemandirian seseorang menjadi manusia. Bahkan, secara naluriah, jika skenario itu ada, maka seorang manusia itu akan berusaha menemukan seorang manusia lainnya untuk mengisi “ruang kosong” dalam kehidupannya. Artinya, kemandirian seseorang atau sekelompok orang membutuhkan lingkungan yang mendukungnya dalam membentuk kemandirian tersebut. Lingkungan yang hidup dan menghidupkan itulah yang kemudian disebut sebagai ekosistem, karena kemandirian adalah sebuah sistem diri yang juga menjadi sub-sistem, artinya membutuhkan sistem lainnya yang terjalin dan terikat untuk mengkondisikan dan mengkonsolidasikan kehidupan seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain atau kelompok orang lainnya. Dan itu harus mutual, jika tidak maka akan destruktif atau menghancurkan salah satu pihak atau seluruh pihak yang terlibat.
Lalu bagaimana dengan kemerdekaan? Sebuah sistem diri kehidupan yang ada dalam ekosistem kehidupan yang lebih luas tidak dipaksa atau dibentuk untuk terus bergantung sepenuhnya pada pihak yang lain, yang ada adalah saling mengisi karena saling pengaruh itu ada. Artinya, kemerdekaan itu sebuah “pemberian” otonomi pada seseorang atau sekelompok orang sebagai pihak lain untuk membangun kapasitas gagasan, kapabilitas material, dan kemampuan menginstitusionalisasi kehidupan suatu pihak untuk membangun dan memajukan sistem dirinya. Jika “pemberian” itu tidak pernah ada atau sengaja tidak diselenggarakan, maka akan dilakukan “perebutan” untuk membangun dan memajukannya sendiri. Sebab kuasa atas diri sendiri yang sistemik itulah kemerdekaan bersemayam pada seseorang atau sekelompok orang untuk hidup di dunia. Dengan demikian maka kemerdekaan itu juga relasional, dan ini mungkin lebih jelas serta lebih mudah dipahami ketimbang memahami kemandirian itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kemandirian dan kemerdekaan yang relasional itu bisa ada dan menjadi fakta yang solid untuk didefinisikan dan diidentifikasikan? Apakah harus selalu dengan cara konfliktual atau kooperatif? Keduanya memang tidak bisa atau setidaknya tidak mudah untuk dihindari atau dihilangkan sama sekali. Namun bisa menjadi pilihan ketika rasionalisasi yang digunakan adalah meminimalisir kerugian dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin relatif. Dalam kondisi “kenormalan” yang tidak solid dan seringkali absurd, pilihannya biasanya adalah jalan kooperatif meskipun harus tetap dan terus ada kontradiksi. Sehingga dengan demikian koperasi semestinya menjadi pilihan, ketika koperasi dipaham sebagai institusionalisasi dari kapasitas berpikir yang menghasilkan ide atau gagasan, dan kapabilitas bekerja mengolah materi yang ada, untuk kehidupan bersama yang lebih baik termasuk mewujudkan kemandirian dan kemerdekaan yang relasional tersebut.
Padang, 21 November 2021.
Penulis : Virtuous Setyaka, Ketua KMDM.