By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Konflik Kepentingan di Antara Elit Birokrat Pangreh Praja
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
opini

Konflik Kepentingan di Antara Elit Birokrat Pangreh Praja

Last updated: Januari 6, 2024 6:06 pm
1 tahun ago
Share
11 Min Read
SHARE

Damar Banten – Atas kebijakan politik reaksioner dari Pemerintah Belanda, serta adanya depresi ekonomi yang mengakibatkan bangkrutnya sejumlah perusahaan swasta hingga perkebunan, membuat Pemerintah Kolonial terpukul keras dengan adanya krisis tersebut, pada akhirnya dengan terpaksa pemerintah Kolonial melakukan penghematan. Penghematan yang pertama dilakukan adalah di ranah para pegawai pemerintahan. Para pegawai dinilai sebagai pemborosan atas anggaran. Penghematan tersebut dilakukan dengan cara mengurangi jumlah gaji serta pemberhentian sebagian pegawai.

sekolah Pangreh Praja di Serang, Banten, juga pada akhirnya ikut ditutup. Hal tersebut diakibatkan adanya perluasan pendidikan yang ditentukan oleh kebutuhan pegawai, serta juru tulis yang meningkat. Karena banyaknya perkebunan-perkebunan milik orang asing yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak, akan tetapi, hal tersebut justru menjadikan masalah sosial baru di Banten, akibat banyaknya masyarakat yang meninggalkan daerah asal serta pindah ke perkebunan Belanda.

Pada akhirnya, Pemerintah Kolonial tak dapat mengontol masyarakat yang lambat laun semakin banyak. Kebutuhan atas tenaga pegawai pemerintah serta perusahaan swasta, mengakibatkan pendidikan barat makin terbuka bagi orang pribumi. Kemajuan atas ekonomi, serta ditambah oleh perkembangan pendidikan, mengakibatkan depresi ekonomi yang mengakibatkan kemunduran pada pendidikan. Hal demikian dirasa jika kebutuhan pemerintah atas pegawai pribumi di daerah Banten dianggap sudah sangat mencukupi. Akhirnya, pemerintah Belanda melakukan tindakan dengan membatasi pendidikan atas orang pribumi.

Kebutuhan atas pegawai yang memiliki pendidikan lebih baik, akhirnya berpengaruh juga terhadap perluasan sistem pendidikan secara vertikal. Hal tersebut berdampak kedepannya pada produksi berlebihan, yang perlu dicegah sebagai bahaya politik serta sosial, yang nantinya dapat mengancam eksistensi Pemerintahan Kolonial Belanda di kawasan Banten. Pada akhirnya, Hollands Inlandsch Onderwijs Commissie (HIOC), atau Komisi Sekolah Belanda untuk rakyat Pribumi, pada tahun 1927, mengusulkan supaya jumlah sekolah di
Hindia Belanda agar dikurangi. Kebijakan dari HIOC tersebut mengakibatkan beberapa jumlah sekolah di Hindia Belanda termasuk OSVIA di Serang, harus ditutup oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1927.

Pada akhirnya gedung Bekas OSVIA di Serang, dimanfaatkan sebagai Sekolah Guru (Normal School). Setelah tahun 1949, gedung OSVIA tersebut kemudian dipergunakan sebagai Markas Besar Polisi Kota Serang hingga saat ini. Pada tahun 1927, terjadi depresi ekonomi pada pemerintah kolonial yang menyebabkan, pemerintah menutup sekolah guna tidak banyak pengeluaran atas anggaran negara, sehingga salah satu dampaknya adalah keenam  OSVIA kemudian bergabung menjadi empat 

MOSVIA. Sekolah tersebut tingkatannya lebih tinggi serta menerima lulusan sekolah menengah pertama menjadi murid, dan memberikan latihan pendidikan kejuruan selama tiga tahun pada para siswa.

Pada 1 Juli 1915, Pemerintah Kolonial membuat sebuah peraturan baru mengenai pengangkatan serta kenaikan pangkat seorang pejabat pribumi. Peraturan tersebut menetapkan jika persyaratan pendidikan atas kedudukan di Pangreh Praja merupakan syarat mutlak, serta memperluas asas-asa mengenai penghapusan pada sistem magang.

Pada saat itu, pendidikan merupakan prioritas yang utama, jika kedudukan atas pendidikannya sama, maka kesenioran akan menentukan pengangkatan seorang pegawai. Setiap tahunnya, keresidenan akan memilih pemuda dengan pendidikan yang diraih dari lulusan OSVIA, HBS, serta HIS, agar menjadi seorang pegawai pribumi. Pemuda-pemuda tersebut menerima latihan praktek sebagai juru tulis yang nantinya akan dipekerjakan pada seorang pejabat tinggi seperti bupati, patih, kontrolir serta jaksa.

Sebelum memangku jabatan, tanggung jawab pertama yang biasanya dilakukan adalah sebagai manteri polisi. Hal demikian berarti, jika mereka yang mempunyai syarat-syarat untuk mencapai kedudukan khusus, setelah mereka memasuki dinas Pangreh Praja. Sekalipun berdinas sebagai seorang juru tulis pembantu, pekerjaan mereka dilakukan dalam waktu singkat.

Pada akhirnya, petisi serta protes mengalir ke Batavia melalui surat dalam bahasa Melayu dari para Pangreh Praja, mereka merasa dirugikan atas diberlakukannya perturan semenjak tahun 1915, yaitu peraturan mengenai penghapusan sistem magang, yang kemudian diganti dengan kenaikan pangkat. Para lulusan OSVIA merasa kecewa terhadap sistem yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial tersebut, mereka mereka jika lulusan OSVIA disejajarkan dengan lulusan HIS. Sementara itu lulusan dari HBS menuntut untuk diperlakukan secara khusus. Sayangnya keputusan tersebut sudah diambil, sehingga Batavia tidak akan mengubahnya kembali.

Penghapusan atas sistem magang serta diberlakukannya sebuah rancangan kenaikan pangkat pada tahun 1915, telah memperkenalkan sebuah sistem yang terstandardisasi serta berorientasi pada efisiensi, guna menyalurkan pejabat pribumi kepada hirarki pemerintahan. Dua tonggak utama pemerintahan tradisional masih tetap akan dipertahankan, dalam bentuk yang agak kurang menyolok. Preferensi keturunan tinggi masih menjadi asas dasar, serta priyayi pegawai negeri sangat bergantung terhadap penilaian pribadi dari Binnenlandsch Bestuur dan bupati.

Peraturan mengenai kenaikan pangkat pada tahun 1915, menyebabkan ketidakpuasan dari lulusan yang memiliki pendidikan lebih tinggi, sehingga para pegawai Pangreh Praja lulusan OSVIA melakukan protes terhadap Pemerinatah Kolonial di Batavia, yang akhirnya justru akan menimbulkan ketegangan dalam korp Pangreh Praja, ditambah dengan adanya pembentukan sebuah perhimpunan priyayi baru pada 1916. Perhimpunan Priyayi tersebut membatasi keanggotaannya dari lulusan OSVIA yang lain, serta bertujuan untuk memperbaiki kedudukan para pejabat yang merupakan lulusan dari OSVIA.

Para Lulusan dari OSVIA akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang bernama Oud Osvianen Bond (Perhimpunan bekas OSVIA), yang disingkat dengan OBB. Tujuan OOB ialah untuk memperbaiki mentalitas dari para Pangreh Praja, dan para pejabat pemerintahan di daerah desa, agar menggugah rasa kehormatan diri di kalangan para priyayi, dan melawan berbagai bentuk keburukan yang terdapat di dalam korp, seperti sikap pasif, bermewah-mewah, beristri banyak, sikap menjilat, bahkan pemberian penghormatan yang
berlebih-lebihan oleh orang-orang asing.

Reformasi atas diterapkannya aturan mengenai kenaikan pangkat para pegawai Pangreh Praja pada 1915, ditujukan agar memodernisasi Pangreh Praja tanpa menghilangkan kepribumiannya dan sifat aristokratnya. Tujuannya merupakan agar menumbuhkan pemerintahan yang efisien, serta mampu dalam mempertahankan pengaruh pribadi dalam corak lama kaum priyayi atas masyarakat. Korp Pangreh Praja kemudian terbagi menjadi beberapa kelompok kepentingan, yang berdasarkan pada pendidikan yang saling bersaing, persaingan tersebut terjadi antara kelompok konservatif melawan kelompok pembaharu.

Keyakinan diri serta solidaritas intern 

Di antara Pangreh Praja mulai goyah, pada saat berada dalam bahaya yang akan kehilangan ide mengenai organisasi-nasional, yang menampilkan diri sebagai pelindung (Patron) rakyat, agar melawan persekutuan priyayi Belanda yang bersifat memeras.

Dalam birokrasi Kabupaten era kolonial, ada yang dikenal dengan istilah Pangreh Praja, yaitu lembaga yang membawahi aparat yang terdiri dari Patih, Wedana, Asisten Wedana, Jaksa Kepala, Para Mantri, serta Juru tulis. Sistem birokrasi yang diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial, adalah menganggap penting peranan dari elite politik yang berasal dari pribumi, guna kepentingan pelaksanaan kebijakan pemerintah kolonial. Penunjukkan dalam menentukan seorang bupati oleh pemerintah kolonial, adalah pejabat yang kedudukannya dirasa tinggi dalam jajaran birokrasi.

Seorang elit politik dari kalangan Pribumi, diharuskan untuk sanggup menjadi perantara (Middleman) antara pemerintah kolonial serta rakyat dengan menggunakan otoritas tradisional yang dimilikinya. Otoritas tersebut tentunya hanya dimiliki oleh keturunan raja-raja atau pembesar yang diakui oleh rakyat. Tidak aneh jika Pemerintah Hindia Belanda di abad ke 19 sampai awal abad ke 20, 

menggunakan berbagai macam peraturan yang dapat menjamin kelancaran politik mereka,
antara lain adalah, para calon elit pribumi diharuskan agar membuat daftar silsilah. Daftar Silsilah tersebut secara tidak langsung adalah salah satu penjamin atas posisi otoritas tradisional yang dimiliki calon elit, jika dalam daftar silsilah tersebut terdapat tokoh terkemuka yang dihormati oleh rakyat.

Pemerintah Kolonial, cenderung akan mendekati dan memilih para administrator aristokrat, atau semua bangsawan, dari pihak yang mau diajak untuk berdamai. Hal demikian dilakukan dengan cara mengangkat, serta menjadikan mereka sebagai pegawai dalam kedudukan pemerintahan. Sayangnya tidak semua pihak mengikuti Pemerintah Kolonial. Malah banyak dari para bangsawan serta rakyat yang kurang senang dengan tindakan tersebut, akibatnya banyak terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah di Banten.
Sistem birokrasi yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut bersifat dualistik, menyebabkan terjadinya paradoks. Di satu sisi menggunakan sistem
birokrasi yang disaring berdasarkan kriteria modern, akan tetapi di sisi lain justru tetap
dipertahankannya sistem tradisional melalui magang.

Magang tersebut adalah salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka rekruitmen Pangreh Praja. Melalui magang yang bersifat feodalistik diharapkan melahirkan para pejabat yang memiliki loyalitas tinggi terhadap pemerintah kolonial. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah strategi yang sengaja untuk mendukung terwujudnya suatu Beamtenstaat, yakni merupakan Negara Apolitis di mana politik pertama-tama sebagai sebuah alat, agar benar-benar terwujudnya suatu pemerintahan yang kokoh, bukannya sebagai alat agar mewujudkan tuntutan sosial yang bersaing.

Seiring dengan perubahan tatanan sosial yang terjadi pada awal abad ke 20, akibat dari diperkenalkannya sistem pendidikan Barat, pemerintah Kolonial Belanda kemudian melakukan reformasi pada bidang birokrasi. Di tahun 1915, prinsip warisan atas jabatan dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan asas-asas birokrasi modern yang legal-rasional, sehingga keturunan tidak menjadi syarat utama bagi calon Bupati. Dengan begitu, tidak saja anak atau kerabat dari bupati saja yang dapat menjadi pejabat tinggi Pangreh Praja.

Syarat penting bagi para calon tersebut merupakan, sudah dua tahun menjadi Patih atau Wedana, serta minimal lulusan dari OSVIA. Pada saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan sebuah sekolah lanjutan guna mendidik ahli-ahli administrasi pribumi yang diberikan nama, Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Dimana standar agar menjadi seorang bupati adalah minimal lulusan OSVIA dan mampu berbahasa Belanda.

Pendidikan di OSVIA merupakan mimpi bagi anak-anak priyayi agar dapat duduk dalam birokrasi di Pangreh Praja, masyarakat Banten banyak menyekolahkan anak-anaknya ke OSVIA. Dengan harapan, anak tersebut dapat menjadi pejabat melanjutkan kepemimpinan orang tua serta kakek mereka, guna status menjadi Ningrat tetap melekat, dihormati Pemerintah Belanda serta rakyat biasa.

Penulis : Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Wagub Banten A Dimyati Natakusumah: Pemimpin Harus Cerdas, Berakhlak dan Komunikatif
Empat Syarat Sah Hewan Kurban
Europa Universalis V Rilis,  Anda Serasa Tokoh Hebat Dunia
Ini 6 Keutamaan Berkurban, Salah Satunya Mengantarkan ke Surga
Prabowo : Pangan dan Energi Pilar Kedaulatan Bangsa
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Quo Vadis Koperasi Merah Putih

2 bulan ago

Mengenal Makna Waisak

2 bulan ago

Part.2 Perkuat Penegakan Hukum

2 bulan ago

Hapus Outsourcing, Prabowo Tak Realistis

2 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?