Malari bagiku bukanlah sekedar suatu peristiwa 15 Januari 1974 belaka. Malari bukan pula hanya suatu protes mahasiswa di jalanan, yang diorganisasikan Hariman Siregar dan kawan kawan termasuk Dema Kampus lainnya. Tetapi jauh lebih besar dan bermakna dari itu, Malari telah menjadi penanda, demarkasi dan sekaligus pilihan sebagai warga negara aktif (active citizenship). Malari telah menjelma menjadi spirit pergulatan kedaulatan rakyat, nasionalisme, keadilan sosial, prikemanusiaan dan demokrasi. Apalagi sepanjang sejarahnya, Hariman dan generasinya terus menggelorakan narasi nilai perjuangannya sesuai semangat zamannya.
Ya, Malari penanda posisi, yang dalam pilihan kata puitik “Kau berdiri di pihak siapa?
Peristiwa Malari yang oleh rezim diidentikkan dengan huru hara, amuk, kerusuhan, atau sitigma lainnya. Dan dituduh perbuatan konspiratif dari mereka yang berkontestasi karir politik. Pandangan itu hanyalah bunga bunga politik dari kembang api yang padam dalam sekejap, tetapi sesungguhnya yang menjadi ‘ruh’ dari pergolakan dan pemikiran Malari terus bergerak membara hingga kini. Perlawanan nan tak kunjung padam, dan hebatnya Hariman kawan kawannya tetap di garis itu seraya menebar benih benih perjuangan mewujudkan Indonesia yang dicitakan para pendiri Republik. Malari sekalipun tiada tertulis dalam sejarah formal yang diajarkan di sekolah dan kampus, namun dikalangan aktivis, peristiwa itu menjadi monumen yang menentukan pilihan berdiri di pihak siapa?, pihak yang mana?
Malari adalah penanda dan demarkasi antara, mereka yang mengatasnamakan Konstitusi dan Pancasila namun dalam praktek politiknya otoritarian, anti daulat rakyat dan demokrasi, mereka yang menjalankan pembangunan ala neolib atau nekolim yang mengejar infrastruktur, pertumbuhan dan bergantung pada asing, sehingga melahirkan ketimpangan dan kesenjangan serta eksploitasi terhadap kaum rentan dan lingkungan. Malari berjuang melawan semua itu.
Ketika perubahan sedang bergerak dan demokrasi bersemi melalui Reformasi Sang penggerak malari Hariman dengan komunitasnya membentuk lembaga Indemo, sebagai respon dalam menyesuaikan dengan perkembangan kontemporer, dan komunitas ini tetap memegang teguh isu yang menjadi basis perjuangan malari yang hingga saat ini tetap aktual untuk diperjuangkan. Ya…. Nilai nilai yang diperjuangkan aktivis Malari sekalipun kalah secara politik namun tetap ber dialektik, menjadi anti thesa bagi penguasa sehingga melahirkan alternatif baik ranah paradigma pembangunan maupun demokrasi. Bila Malari telah membuka jalan bagi paradigma basic need dan environment, gerakan cabut mandat merintis jalan ratifikasi hak sipol dan hak ekososbud yang menjadi tulang punggung right based approach.
Ditengah rezim omnibus law kali ini, Indemo kembali mengkampanyekan yang sekaligus mengadvokasi isu keadilan dan lingkungan yang dalam neraca demokrasi saat ini sangat parah, akankah Indemo sang penerus Malari kembali memaksa rezim berkuasa merespon tuntutannya? Mempertimbangkan konsistensi dan militansi komunitas aktivis ini, sejarah akan terulang kembali.
Malari boleh terkalahkan dan distigma, namun nilai nilai perjuangannya kedaulatan rakyat, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial akan terus merealitas, karena ia adalah air yang menetes pada batu kekuasaan yang status quo, akan terus menggerus sehingga musim semi perubahan dan pembaharuan akan menciptakan formasi, sistem dan struktur sosial baru yang demokratis secara sosial, politik dan ekonomi yang ramah lingkungan. Revolusi yang kumau, bukan reforma yang lips servis. Selamat merayakan Malari dan ulang tahun Indemo.
Penulis : Rusdi tagaroa