Apakah model-model kepemilikan layanan publik dengan model koperasi ini hanya utopia belaka? No!. Model kepemilikkan ini sudah berlaku di negara lain.
Dalam kasus model perbankkan misalnya, model kepemilikkan Desjardins Bank yang jadi bank milik nasabahnya adalah merupakan bank of the year di Canada dan Credit Populeir adalah merupakan model kepemilikkan bank oleh nasabahnya yang sukses menjadi Bank of The year di Perancis. Koperasi Fonterra adalah merupakan model kepemilikkan yang terbuka bagi peternak yang sukses menguasai pangsa pasar terbesar dunia dari New Zeland, dan masih banyak yang lainya seperti misalnya NTUC Fair Price di Singapore dan lain sebagainya.
Kalau kita mau merujuk ke model di negara Amerika Serikat yang selalu kita tuduh sebagai model kapitalis, mungkin kita semua akan kaget. Fakta mencegangkan ditulis oleh Profesor Gar Alperovitz di New Tork Times (14/12/ 2011). Dia menyampaikan bahwa model kepemilikan demokratis yang masif di Amerika Serikat yang kita tuduh kapitalistik itu. Sekitar 130 juta orang Amerika telah menjadi pemilik dari perusahaan koperasi.
Lebih dari 13 juta pekerja Amerika menjadi pemilik saham dari 11 ribu perusahaan, 6 juta lebih menjadi pemilik perusahaan dari serikat pekerja. Model kepemilikkan demokratis ini meliputi sektor kelistrikan, rumah sakit, asuransi, lembaga keuangan dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan konsep kepemilikan perusahaan kita yang menganut sistem gotong royong dan sistem demokrasi ekonomi seperti disebutkan dalam konstitusi? Faktanya sungguh sangat menyedihkan. Model ESOP belum menjadi wacana, dan koperasi sengaja dikunci oleh berbagai regulasi dan ditaruh di dibelakang, di buritan. Kepemilikan perusahaan oleh negara atau BUMN masih sangat ortodok dan semua mengambil model badan hukum komersial perseroan dan ini dikunci dalam bentuk regulasi.
Sejak diterbitkanya UU No. 19 Tahun 2003, seluruh BUMN sebetulnya sudah tidak ada bedanya dengan usaha swasta lainya. Mereka adalah korporasi pengejar keuntungan. Sehingga masyarakat dalam posisi sebagai obyek eksploitasi bisnis semata. Munculnya masalah protes buruh outsourching yang gaji dan nasibnya tidak jelas dan jauh timpang dibandingkan pekerja BUMN tetap adalah salah satu dampaknya. BUMN-BUMN sebagai layanan jasa dan produk kebutuhan hajat hidup orang banyak menjadi bersifat komodikatif dan komersialitatif dan masyarakat luas menjadi obyek eksploitasinya.
BUMN yang ada saat ini sudah menyimpang jauh dari konstitusi dan membahayakan perekonomian dan kemandirian bangsa. Selama satu dasawarsa lebih BUMN telah terseret jauh menjadi kapitalistik, bahkan membuka keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara. UU dan produk regulasi turunannya itu keliru secara basis epistem. Undang-undang ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi karena pemerintah dan masyarakat kehilangan kendali terhadap perusahaan. Hal mana bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan karena justru mendorong pada penguasaan aset negara pada segelintir orang dan akhirnya justru ciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Pada tahun 2017, dari 143 total BUMN membukukan keuntungan sebesar Rp. 187 triliun. Sementara assetnya sebesar Rp. 7.200 trilyun. Apabila dilihat dari sisi pasivanya, total liabiliti atau utangnya Rp. 4.825 triliun. Jadi nilai asset riel kita hanya Rp. 2.375 trilyun. Secara solvabilitas Ini tentu sangat berbahaya karena nilai asset penjamin utangnya jauh di bawah. Jadi apabila sedikit saja alami masalah likuiditas maka seluruh asset BUMN yang ada dapat lepas ke tangan investor perorangan..
Masyarakat awam selama ini banyak yang tidak tahu kalau BUMN kita itu beberapa di antaranya tidak lagi dimiliki oleh negara secara de facto. BUMN yang ada saat ini tak ubahnya sebuah sapi perahan, kalau merugi dianggap sebagai aktifitas in-efisiensi dan kalaupun berpotensi hasilkan keuntungan sudah dirampas oleh para kreditor. Sudah begitu, perusahaan yang sudah go public-pun ternyata kinerjanya banyak ditopang modal penyertaan dan dana penempatan dari pemerintah.
Saham BUMN kita yang terdaftar di bursa efek sudah banyak yang terdelusi hingga 90 persen. Sebagian sahamnya yang dijual di pasar modalpun lalu dikuasai oleh segelintir orang dan bahkan dikuasai asing. Itu artinya kita sudah tidak bisa lagi mengendalikan apa yang kita miliki.
Menurut UU No. 19 Tahun 2003 secara redundant menyebut tujuan dari BUMN adalah untuk mengejar keuntungan (profit oriented) seperti disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12. Secara isomorfis BUMN jelas tidak cocok dengan korporasi yang berbadan hukum perseroan dimana basis filosofinya mengejar keuntungan. Ini jelas telah menyalahi UUD 1945 terutama pasal 33 yang menganut sistem demokrasi ekonomi.
Oleh : Suroto, HC
Baca Sebelumnya : https://damarbanten.com/koperasi-publik-ubah-mental-feodal-penyelenggara-bumn-1
Baca Selanjutnya : https://damarbanten.com/koperasi-publik-3