Damar Banten – Di tahun 1803, Kesultanan Banten yang saat itu dipimpin oleh Sultan Natawijaya digantikan oleh Sultan Aliyuddin II, sebagai sultan kedelapanbelas yang memerintah hingga tahun 1808. Sultan tersebut-lah yang kemudian berselisih dengan Herman William Daendels.
Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduran di dalam perdagangan, akibat kondisi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, situasi ini menyebabkan utang yang menumpuk.
Di antara sebab yang penting dalam masalah itu adalah sebagai berikut:
a. Persaingan dagang yang semakin ketat dengan Perancis dan Inggris,
b. Miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa, karena monopoli, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC,
c. Monopoli rempah-rempah VOC sering dilanggar oleh penduduk pribumi, di samping Inggris sudah berhasil menanamnya di India, sehingga pasar rempah-rempah menurun,
d. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi,
e. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC, terutama untuk membayar tentara dan pegawainya, yang sangat besar. Demikian juga biaya untuk menguasai daerah baru, terutama di Jawa dan Madura.
Akibatnya, pada akhir tahun 1799, VOC dibubarkan, semua kekayaan serta utang-piutangnya ditangani pemerintah oleh Kerajaan Belanda. Hal ini terjadi setelah meletus Revolusi Perancis di tahun 1789, yang berhasil mengguncangkan. Pada saat itu seluruh wilayah Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris, sehingga pada tahun 1807, Belanda akhirnya dikuasai Perancis. Ini terjadi pada masa Sultan Aliyuddin II.
Louis Napoleon, adik Kasiar Napoleon, yang diberi kuasa di Belanda, akhirnya mengangkat Daendels sebagai gubernur di Kepulauan Nusantara. Deandels datang ke Batavia pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India. Untuk tugasnya ini, Daendels membangun sarana pertahanan seperti jalan, pos, serta benteng. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari Negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Akibatnya, dilakukan kerja rodi, yang merupakan kerja paksa tanpa upah.
Pekerjaan pertama merupakan pembuatan pangkalan angkatan laut di Ujung kulon. Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten agar mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya. Karena daerah yang berawa, banyak pekerja yang mati terkena racun (penyakit malaria), sehingga banyak di antara mereka melarikan diri. Keadaan tersebut membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadirja sebagai biang keladi. Melalui utusan Sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan agar:
- Sultan mengirimkan 1.000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung kulon,
- Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadirja ke Batavia,
- Memerintahkan Sultan supaya memindahkan Keratonnya ke daerah Anyer karena di Surasowan akan dibangun benteng Belanda.
Perintah tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Dengan cepat serta dilakuan secara sembunyi-sembunyi, dikirim-lah pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Daendels ke Banten. Dua hari kemudian pasukan tersebut sampai di perbatasan kota. Sebagai peringatan, dikirimnya Komandeur Philip Pieter Du Puy ke istana Surasowan untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun, karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, Du Puy dibunuh di depan pintu gerbang keraton.
Daendels kemudian membalas hinaan tersebut dengan cara menyerang Surasowan pada hari itu juga, tepatnya pada tanggal 21 November 1808. Serangan tiba-tiba tersebut sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat menyiapkan pasukannya. Namun, prajurit Banten dengan keberanian yang menggebu -gebu berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Akan tetapi, pada akhirnya Daendels dapat menumpas dan merebut Surasowan. Sultan ditangkap dan kemudian diasingkan ke Ambon, sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda, sedangkan Tangerang, Jasinga, dan Sadang dimasukkan kedalam teritorial Batavia.
Sebagai sultan ke-19, diangkatlah putera mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, yang tidak lebih dari sekedar pegawai Belanda semata, akibat tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dan menerima gaji 15.000 real per tahun dari Belanda.
Oleh sebab banyak pekerja yang mati dan daerahnya yang berawa, pembuatan pelabuhan di Ujungkulon dihentikan, sedangkan pangkalan laut dipindahkan ke daerah Anyer.
Akibat kebencian rakyat terhadap Belanda, pengacauan di darat digerakkan oleh ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur di pantai Teluk Merica. Belanda menyerang daerah tersebut, namun tidak berhasil. Bahkan serangan yang dipimpin oleh Daendels sendiri dapat dipukul mundur. Masih di tahun 1808-1809, Daendels mencurigai Sultan sebagai dalang pemberontakan. Oleh sebab itu, bersama pasukannya, dirinya datang ke Banten. Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istananya dihancurkan dan dibakar. Tragedi tersebut terjadi di tahun 1809. Untuk melemahkan perlawanan rakyat, wilayah Banten dibagi dalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten, yaitu Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landrat (residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk daerah Banten Hulu, diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putera Sultan Muhyidin Zainu al Shalihin, yang berkedudukan di Caringin dan masa jabatan kesultanannya selama empat tahun, 1809-1813.
Peristiwa atas kehancuran Keraton Surasowan yang dilakukan oleh Daendels tercatat dalam sejarah sebagai kehancuran total, dan sejak saat itu Keraton Surasowan tidak dibangun kembali. Setelah wafatnya Sultan Muhammad Syafiudin, diangkatlah Sultan Muhammad Rafi’uddin sebagai sultan ke 21, dengan masa jabatan tahun 1813-1820. Karena itu, sisa bangunan dan fondasi Keraton Surasowan yang saat ini terlihat merupakan sisa bangunan yang dibangun oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yang setelah hancur dibangun kembali oleh arsitek pelarian Belanda ke Banten, Lukaszoon Kardeel, dan kemudian dihancurkan kembali untuk terakhir kali dalam pertentangan antara Sultan Aliyuddin II dan Herman William Daendels.
Sekalipun kota Banten telah dihancurkan oleh Belanda pada 1808, tapi Banten tidak pernah padam oleh pemberontakan demi pemberontakan, di antara dari pada itu adalah Geger Cilegon di tahun 1888 di bawah pimpinan H. Wasid dan para kiai yang didukung penuh oleh rakyat dan petani Banten.
Penulis : Ilham Aulia Japra