Pada masa Covid19 ini banyak buruh yang dipecat oleh perusahaan. Alasanya karena bisnis secara keseluruhan tutup atau karena dilakukannya pengetatan pengeluaran karena bisnis sedang seret.
Apapun alasanya, orang yang kehilangan pekerjaan itu hidupnya seperti ditabrak petir. Apalagi ketika tidak punya tabungan dan penghasilanya sebulan bukanya jadi andalan untuk menopang hidup bagi dirinya dan keluarga.
Posisi buruh sebetulnya dalam perusahaan konvensional kapitalis itu tak lebih hanyalah sebagai alat produksi. Mereka tak ubahnya mesin profit untuk kepentingan investornya.
Dalam posisi sebagai obyek, biaya gaji buruh untuk itu perlu ditekan sehingga hanya cukup untuk bertahan hidup agar profitnya maksimal.
Untuk itu para pemilik perusahaan merasa perlu bekerjasama dengan manajemen atas dan tengah untuk kendalikan buruh di posisi paling bawah.
Kerapkali orang manajemen, begitu biasa buruh menyebutnya, cenderung banyak membela kepentingan pengejaran profit para pemilik, majikan perusahaan daripada membela kepentingan anak buah mereka di bawah. Bahkan mereka adalah orang orang yang mendapatkan gaji dan bonus terbesar di perusahaan..
Sebagai ilustrasi misalnya, gaji dan kompensasi untuk direksi bank BUMN milik kita seperti bank BRI dan Mandiri itu setiap bulannya rata-rata 5 milyar rupiah dan badingkan dengan OB dan satpamnya yang hanya 3,4 juta dan masih ditekuk potongan hingga 1 jutaan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja ( outsourching).
Gaji buruh terbawah itu hanya 0.048 persennya dari seorang direksi. Atau 2000 kali lipatnya!!!!. Walaupun si direktur itu dan si buruh sama sama manusia dan keburuhan hidupnya sama.
Termasuk ketika terjadi krisis #covid19. Buruh atas dan tengahan melakukan pekerjaan dari rumah #workfromhome atau kerja dari rumah. Buruh kelas bawah tetap berjibaku dengan mesin di pabrik. Ketika ekonomi surut seperti saat ini orang di bawah sebagai kelompok terlemah ini yang pertama dipecat.
Itu semua adalah cara kerja perusahaan konvensional kapitalis. Semestinya tidak terjadi kalau model perusahaan yang kita kembangkan itu gunakan prinsip keadilan dan juga terapkan orientasi bukan semata mengejar keuntungan bagi si pemilik/ investor perusahaan.
Koperasi pekerja seperti #Mondragon di Basque Spanyol misalnya, 80 ribu buruhnya itu bekerja tapi juga jadi pemilik saham dari koperasinya. Bahkan setiap orang punya hak suara yang sama dalam mengambil keputusan perusahaan baik itu di level top manajemen, menengah atau bawah.
Setiap buruh adalah boss yang sama dan mereka ikut bertanggungjawab yang sama terhadap apapun yang terjadi pada perusahaan. Saat krisis ekonomi 2008 melanda, Mondragon ini telah menunjukkan daya tahanya dan tetap mampu membuat wajah ekonomi di Basque berwarna hijau.
Nah, Covid19 ini adalah bentuk koreksi mendasar bagi sistem perburuhan kita. Agar ekonomi menjadi produktif, berdaya tahan terhadap krisis, berkelanjutan dan berikan manfaat bagi pembangunan yang adil maka ada beberapa usulan saya sebagai berikut berikut ;
- Buat UU Pembagian saham bagi buruh ( employee share ownership plan-ESOP) minimal 20 persen dan batasi rasio gaji tertinggi dan terendah maksimal 20 kali lipat dengan regulasi semacam Perppu yang harus diteken Presiden segera
- Hentikan pemecatan buruh tapi cukup dengan bentuk dirumahkan sementara untuk perusahaan yang ditutup operasi.
- Minta pemerintah untuk ganti sistem perusahaan BUMN jadi koperasi publik dan bagikan sahamnya kepada pekerja dan konsumenya.
Jakarta, 30 April 2020
SUROTO
Ketua AKSES