By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Presiden Indonesia Dari Anyer, Hidup Miskin Sebagai Menteri Keuangan
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Featureopini

Presiden Indonesia Dari Anyer, Hidup Miskin Sebagai Menteri Keuangan

Last updated: Januari 24, 2024 8:50 am
1 tahun ago
Share
10 Min Read
SHARE
Damar Banten - Nampaknya jarang diketahui bila Presiden di Indonesia ada yang berasal dari Anyer, Banten. Kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi di Republik Indonesia sekiranya tidak tersadari dari sebagian masyarakat Indonesia. Ia bernama Syafruddin Prawiranegara, lahir di Anyer Kidul, Serang, pada 28 Februari 1911. Syafruddin merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang ahli pada Bidang Hukum, Keuangan, serta Agama. Syafruddin Prawiranegara adalah seorang negarawan muslim yang banyak sekali memainkan peran penting dalam Kemerdekaan, serta tatanan kenegaraaan Republik Indonesia. Syafruddin Prawiranegara meninggal dunia pada tanggal 5 Februari 1989.

Pada masa hidupnya, Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Redaktur siaran radio PPRK pada tahun 1939, hingga 1940, Menteri Kemakmuran pada tahun 1948, ketua Korp Mubaligh Indonesia pada tahun 1948, Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada  1948 hingga 1949, Gubernur Bank Indonesia de javasche bank pada tahun 1951, Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan dan Pembangunan Manajemen PPM pada tahun 1958, Pimpinan partai Masyumi pada tahun 1960, serta anggota pengurus yayasan Al-Azhar yayasan pesantren Islam pada tahun 1978.

Sosok Syafruddin Prawiranegara telah banyak diakui sebagai manusia paling amanah, dalam memegang teguh tanggung jawab serta kesetiaannya terhadap negara. Saking setianya Syafruddin, dirinya bahkan tidak sedikitpun membocorkan kebijakan penting bahkan terhadap istrinya, Tengku Halimah. Di tahun 1950-an, Tengku Halimah sangat terkejut ketika menerima gaji sang suami. Hal demikian disebabkan karena gaji yang tidak seberapa itu, masih harus digunting setengahnya. Hal demikian terjadi dikarenakan kebijakan atas menteri keuangan yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Kebijakan tersebut adalah menggunting uang di atas Rp5, untuk dipotong menjadi dua bagian. Setengah bagian diperuntukkan untuk dipinjamkan kepada negara yang kala itu sedang mengalami kesulitan dana.

Kebijakan kontroversial tersebut dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin”. Halimah lantas protes, “Kok tidak bilang-bilang?” ucapnya. Sjafruddin kemudian menjawab, “Kalau bilang-bilang, tidak rahasia, dong!” akhirnya agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari atas kedelapan anaknya, Tengku Halimah akhirnya harus kas bon pada Kementerian Keuangan. Utang tersebut terus bertambah serta baru bisa dilunasi setelah Sjafruddin menjabat sebagai Presiden Direktur De Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1951.

Ketika agresi militer Belanda II, Balanda menyerang Yogyakarta pada 1948, atas serangan tersebut, Soekarno kemudian diculik dan diasingkan, Soekarno lantas mengeluarkan dua mandat agar mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), mandat pertama diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara yang kala itu sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Mandat kedua diberikan kepada AA Maramis, yang kala itu berada di New Delhi India. Maramis diminta mendirikan PDRI, jika Syafruddin tidak dapat melaksanakan mandat tersebut.

Kemudian Syafruddin mendirikan PDRI bersama pejuang lainnya, seperti Teuku Hasan yang kemudian menjabat Wakil Ketua PDRI, Lukman Hakim, Sulaiman Effendi, Mananti Sitompul, Indracahya, Kolonel Hidayat, serta Muhamad Nasrun.

Syafruddin akhirnya, menjalankan roda PDRI selama 207 hari, demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Selama 207 menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, Halimah terus mendampingi suaminya menjalankan tugas tersebut, Tengku Halimah bahkan sampai berjualan sukun goreng demi menghidupi keempat anaknya yang masih kecil, yaitu Icah, Vivi, Khalid, serta Farid.

Ketika saat berjualan sukun tersebut, Icah bertanya kepada ibunya. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky (Sri Sultan Hamangku Buwono IX),” tanyanya.

“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” ucap Halimah.

“Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” tambah Icah.

“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” jawab Halimah.

Ketika anak mereka lahir, bernama Chalid Prawiranegara, ternyata Sjafruddin tidak mampu membeli kain gurita guna dipakai sang jabang bayi. Chalid bayi hanya dipakaikan kain dari menyobek kain kasur sebagai guritanya.

“Ayahmu itu Menteri Keuangan, Icah,” ucap Halimah sembari menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, Khalid yang baru lahir. Kalau ibu tidak alami sendiri kejadian itu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memaki uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.”

Pemerintah Darurat Republik Indonesia sangat berperan penting pada upaya untuk mempertahankan Kemerdekan bangsa Indonesia.

PDRI merupakan penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia pada periode 22 Desember 1948, hingga 13 Juli 1949. Dapat dikatakan, PDRI merupakan Kabinet Darurat yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Roda pemerintahan PDRI kala itu berada di Sumatera Barat. Akibat Ibu Kota Yogyakarta lumpuh total, serta sejumlah tokoh ditangkap, akibatnya terjadi kekosongan pemerintahan Indonesia.

Sukarno, Moh Hatta, Sutan Syahrir, serta Agus Salim, kemudian ditangkap serta diasingkan Belanda ke daerah luar jawa, setelah agresi militer Belanda II menggempur habis ibu kota yang saat itu berada di Yogyakarta. sebelum ditanggkap, Sukarno serta Moh. Hatta, mengadakan rapat dadakan, serta kemudian memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang kala itu sedang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, agar membentuk pemerintahan sementara.

Mendengar ibu kota sudah lumpuh bahkan sejumlah tokoh ditangkap, Safruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, panglima tentara dan teritorium Sumatera, lantas segera mengunjungi Teuku Mohammad Haasan, Gubernur Sumatera, di kediamannya, untuk mengadakan perundingan.

Akhirnya, mereka langsung menuju ke Halaban, sebuah perkebunan teh yang berjarak 15 kilometer di selatan Kota Payakumbuh. Di sana mereka mengadakan rapat dengan sejumlah tokoh pada 22 Desember 1948. Di tempat itu pula mereka membentuk PDRI, sejak saat itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda, bahkan tokoh-tokoh PDRI diburu Belanda. Yang akhirnya mengharuskan mereka untuk menyamar guna menghindari kejaran serta serangan dari Belanda.

Besoknya, Syafruddin Prawiranegara lantas menyampaikan sebuah pidato di radio yang berbunyi.

“Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau untuk selama-lamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintahan yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi”.

Tidak saja sekedar untuk mengisi kekosongan pemerintahan, PDRI bahkan berhasil menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Yang kemudian informasi-informasi mengenai keberadaan serta perjuangan bangsa Indonesia disebarluaskan keberbagai penjuru dunia. Sehingga negara-negara lain mengetahui tentang keadaan Indonesia yang sesungguhnya.

PDRI pada akhirnya berakhir ketika perjanjian Roem-Royen yang disepakati oleh Belanda dan Indonesia, disahkan pada 1 Juli 1949 tercapai.

Pada perjanjian itu semua tawanan politik yang diasingkan oleh Belanda harus dilepaskan tanpa syarat, serta dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan demikian, pada 13 Juli 1949, Presiden RI Ir. Sukarno dan Moh. Hatta akhirnya kembali ke Yogyakarta.

Berikut susunan atas Pemerintahan Darurat Republik Indonesia:

  1. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.
  2. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.
  3. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda.
  4. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
  5. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
  6. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
  7. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Tentara.
  8. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
  9. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.

Syafruddin Prawiranegara dibesarkan dari keluarga keturunan Banten. Syafruddin dilahirkan serta dibesarkan hingga kelas tujuh di ELS, Serang, Banten. Ketika kecil, Syafruddin Prawiranegara dipanggil dengan nama Kuding. Sejak kecil, Syafruddin Prawiranegara, telah dididik untuk menjalankan syariat Islam setelah dirinya dikhitan, Syafruddin kecil mulai belajar mengaji Al-Qur’an secara sungguh-sungguh sekalipun tidak mengerti akan terjemahannya.

Awal pendidikan seorang Syafruddin dalam menuntut Ilmu, dilakukan setelah memasuki Sekolah Rendah “Eorpeesche Lagere School” ELS di Serang, Banten. Di ELS sendiri, mewajibkan murid-muridnya untuk menggunakan bahasa Belanda. Ketika di rumah, ayah Syafruddin membiasakan untuk berbahasa Belanda, sehingga Syafruddin sejak kecil sudah fasih berbahasa Belanda, serta bahasa Sunda sebagai bahasa daerahnya. Kondisi kehidupan di Banten yang sangat taat atas norma-norma agama Islam, serta pendidikan di rumah, berpengaruh sangat besar terhadap diri Syafruddin dikemudian hari.

Penulis: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Wagub Banten A Dimyati Natakusumah: Pemimpin Harus Cerdas, Berakhlak dan Komunikatif
Empat Syarat Sah Hewan Kurban
Europa Universalis V Rilis,  Anda Serasa Tokoh Hebat Dunia
Ini 6 Keutamaan Berkurban, Salah Satunya Mengantarkan ke Surga
Prabowo : Pangan dan Energi Pilar Kedaulatan Bangsa
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Quo Vadis Koperasi Merah Putih

2 bulan ago

Mengenal Makna Waisak

2 bulan ago

Part.2 Perkuat Penegakan Hukum

2 bulan ago

Hapus Outsourcing, Prabowo Tak Realistis

2 bulan ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?