Pada tulisan pertama kami membahas legal standing para pemohon uji formil dan batu uji permohonan Uji Formil UU IKN terhadap UUD 1945. Pada tulisan kedua ini dijelaskan poin pertama dari lima poin penting dan strategis yang menjadi alasan mengapa UU IKN layak dinyatakan inskonstitusional. Poin pertama ini adalah bahwa pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk sesuai perencanaan yang berkesinambungan. Bahkan, menurut PNKN pembentukan UU IKN dilakukan dengan melanggar konstitusi dan UU yang berlaku, sehingga Presiden Jokowi layak dimakzulkan.
Sebagai aturan yang menegakkan nilai konstitusionalitas dari Pasal 22A UUD 1945, UU No.12/2011 Pasal 5 huruf f menegaskan makna asas kejelasan tujuan yaitu: “Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai”. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satu cara untuk mencapai tujuan pembangunan, maka dalam sistem hukum nasional Indonesia terdapat dokumen perencanaan yang disusun pada level pusat-daerah. Hal ini antara lain diwujudkan dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN periode 20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN periode 5 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dst.
Dokumen perencanaan di level Pusat dan Daerah seperti diatas merupakan sistem yang telah dirumuskan dalam bentuk UU seperti tertuang dalam UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Keberadaan sistem perencanaan pembangunan dalam UU SPPN No.25/2004, rumusan rencana pembangunan jangak panjang 2005–2025 dalam UU RPJPN No.17/2007 dan sejumlah Peraturan Presiden tentang RPJMN jelas memiliki nilai keterkaitan hirarkis dan berkesinambungan sesuai konstitusi. Sebab SPPN berfungsi sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Ternyata, sebagai dokumen perencanaan yang memiliki nilai konstitusionalitas, UU RPJPN No.17/2007 tidak merumuskan perencanaan pembanggunan Ibu Kota Negara (IKN). Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025 dalam lampiran UU No.17/2007 juga tidak merumuskan secara eksplisit dan implisit adanya rencana pembangunan IKN yang baru. Begitu pula dengan Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 UU No.17/2007 tidak ditemukan dasar perencanaan untuk memindahkan IKN.
Keberadaan UU No.12/2011 sebagai pelaksanaan Pasal 22A UUD 1945 memuat sistem perencanaan regulasi di level pusat-daerah dalam bentuk (prolegnas dan propemperda). Sehingga pembangunan IKN tidak dapat berdiri sendiri karena tetap perlu di harmonisasi dan singkronisasi dengan SPPN, RPJPN dan RPJMN sebelumnya. Oleh sebab itu sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dan sistem perencanaan pembangunan nasional adalah dua dokumen yang berkaitan dengan perencanaan yang perlu disusun/dibentuk dan dilaksanakan dengan cara yang terukur oleh pemerintah (Presiden & DPR) sesuai konstitusi.
Secara tiba-tiba rencana perpindahan IKN muncul dalam Perpres No.18/2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024. Perencanaan perpindahan IKN yang dituangkan dalam Lampiran I dan II Perpres No.18/2020 muncul tanpa merujuk dan tidak mematuhi perintah UU SPPN No.25/2004 dan UU RPJPN No.17/2007. Penerbitan Perpres RPJMN No.18/2020 ini jelas merupakan pelanggaran terhadap tiga peraturan yang lebih tinggi di atasnya yaitu UU SPPN No.25/2004, UU RPJPN No.17/2007, serta amanat Pembukaan dan Pasal 22A UUD 1945.
Fakta-fakta di atas jelas merupakan pelanggaran yang nyata terhadap berbagai UU dan amanat konstitusi. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan dapat dinyatakan telah melakukan pelanggaran hukum. Sehingga Presiden Jokowi layak untuk menjalani proses pemakzulan sebagaimana diamanatkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Perpres No.18/2020 RPJMN 2020-2024 telah pula diterbitkan tanpa melalui proses perencanaan yang berkesinambungan dengan Perpres No.2/2015 tentang RPJMN 2015–2019. Hal ini menggambarkan tidak adanya kesinambungan pada dua dokumen perencanaan program yang justru disusun sendiri oleh pemerintah. Jika dikaitkan dengan amanat UU SPPN No.25/2004, UU RPJPN No.17/2007 dan UUD 1945, maka penerbitan Perpres No.18/2020 dapat mengakibatkan gagalnya pembangunan nasional secara menyeluruh, karena rencana yang disusun tidak terarah dan tidak terkontrol, muncul secara tiba-tiba sesuai kehendak penguasa, serta ditengarai lebih mengutamakan kepentingan oligarki.
Ternyata ditemukan pula perbedaan tahapan dan perencanaan pembentukan IKN yang diatur dalam Perpres No.18/2020 dengan praktik lapangan. Secara faktual kerangka hukum IKN tidak terbentuk pada tahun 2020, melainkan terbentuk tahun 2022, terlambat 2 tahun dari rencana yang dirumuskan dalam Perpres No.18/2020. Mengacu pada perecanaan IKN sesuai Prepres No.18/2020, maka ditemukan empat tahapan yaitu: a) perencanaan IKN; b) Penyusunan Matek RTR KSN IKN, RDTR Pusat Pemerintahan IKN, RDTR Pusat Ekonomi IKN; c) Penyiapan Kerangka Regulasi dan Kebijakan serta Lembaga Pelaksana; dan d) Perencanaan Teknis.
Namun dari empat tahapan di atas, tidak semua tahapan diselesaikan pada 2020. RUU IKN saja baru selesai 2022. Karena adanya perbedaan tahapan dan perencanaan dari pembentukan IKN sesuai Prepres No.18/2020 dengan praktik pembentukan IKN (bermula dari keterlambatan pelaksanaan dari 2020), maka perencanaan untuk tahun 2021, 2022, 2023, dan 2024 yang diatur dalam Perpres No.18/2020 mengalami pergeseran waktu dalam tataran implementasi.
Karena tahapan perencanaan pada 2020, 2021, 2022, 2023 dan 2024 bermasalah, maka anggaran IKN tidak ditemukan dalam UU APBN 2020, 2021, dan 2022. Hal ini bertentangan dengan konsep perencanaan keuangan yang baik, yakni kesesuaian antara perencanaan pembangunan dan perencanaan keuangan. Karena itu dapat disimpulkan pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan berkesinambungan, mulai dari perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembagunannya. Sehingga dapat dikatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kejelasan tujuan sesuai Pasal 5 huruf (a) UU No.12/2011.
Sesuai prinsip good governance dan berbagai peraturan yang berlaku, pembangunan IKN harus memiliki Rencana Induk (Mater Plan) IKN yang baik dan transparan, termasuk aspek pendanaannya. Rencana Induk IKN harus terintegrasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RUU IKN, sehingga terjadinya proyek pembangunan mangkrak dan over budget dapat dihindari. Apabila RUU IKN merupakan dokumen legal formal secara konstitusional, maka Rencana Induk IKN merupakan turunan pertama yang menerjemahkan secara utuh proyek IKN dari proses perencanaan sampai dengan proyek ini selesai. Rencana Induk IKN dan Draft RUU IKN adalah satu kesatuan dokumen yang harus diserahkan secara bersamaan kepada DPR dan dibuka pula kepada publik.
Ternyata praktik yang dijalankan pemerintah jauh dari prinsip good governance dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, tak heran jika konten Rencana Induk IKN tidak jelas, RUU IKN terpisah dari Rencana Induk IKN, pendanaan melalui APBN berubah-ubah, sumber pembiayaan tidak jelas, dsb. Semula, pemindahan IKN berbiaya Rp 466 triliun (16/8/2019) diklaim hanya menggunakan APBN sebesar Rp 89,472 triliun (19,2%). Belakangan, pemerintah menyatakan biayanya berubah menjadi Rp 501 triliun dan beban yang akan ditanggung APBN berubah menjadi 53,3% (18/1/2022).
Begitulah kalau rencana proyek dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan oligarki dan asing. Rencana pembangunan bisa muncul tiba-tiba, konstitusi dan peraturan dapat dilanggar sesuka hati, serta informasi dan justifikasi pembangunan bisa direkayasa secara dinasmis tanpa peduli prinsip-prinsip moral Pancasila. Rakyat diminta untuk menerima rencana sarat nuansa oligarkis tersebut apa adanya. Namun PNKN dan para pendukung tegaknya hukum dan keadilan di bumi NKRI bukanlah pecundang. Kami akan terus mengadvokasi agar UU IKN dinyatakan inkonstitusional dan pembangunan IKN Baru dibatalkan.
Jakarta, 16 Februari 2022.
Penulis : Marwan Batubara (PNKN)