By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Rel Kematian Dari Bayah Menuju Saketi
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Budaya

Rel Kematian Dari Bayah Menuju Saketi

Last updated: Desember 19, 2023 11:25 am
2 tahun ago
Share
12 Min Read
SHARE

Damar Banten – Fungsi dari kereta api di Indonesia ketika masa pendudukan Jepang di tahun 1942 hingga 1945, lebih diperuntukkan sebagai sarana pendukung kepentingan militer. Seringkali jalur kereta api yang lama dibongkar guna membangun jalur kereta api yang baru di tempat lain, sebagai sarana penunjang dari operasi militer Jepang. Jalur kereta api yang baru dibangun di Indonesia ketika masa pendudukan militer Jepang, merupakan jalur kereta api di jalur Saketi-Bayah yang ada di Banten, serta jalur Muaro-Pekanbaru, yang berada di Sumatera Barat yang panjangnya 220 km.

Untuk Kedua jalur tersebut, lebih dipergunakan sebagai pengangkutan batubara dari setiap pertambangan batubara yang akan diangkut menuju pelabuhan. Ketidakcukupan atas bahan bakar terlebih untuk mengoperasian kereta api, serta kapal laut, pada akhirnya mendorong Pemerintah pendudukan militer Jepang agar memperoleh sumber bahan bakar yang baru. Apalagi bahan bakar yang dipakai oleh kereta api merupakan kayu jati atau batubara. Agar dapat menggerakan kereta api, setidaknya dibutuhkan bahan bakar sebanyak 900.000 ton kayu bakar per tahunnya, sedangkan produksi atas kayu per tahun hanya sekitaran 300.000 ton saja, yang itu sebagian besarnya diperoleh dari Dinas Kehutanan (Dienst Van Het Boschwezen).

Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang mendapatkan laporan dari tahun 1900 yang menuliskan jika di wilayah Bayah, Banten Selatan terdapat banyak cadangan batubara yang mencapai 20 sampai 30 juta ton. Jepang memperkirakan, produksi atas batubara dalam setahun saja dapat mencapai diangka 300.000 ton, sekalipun eksploitasi atas batubara tersebut sebenarnya tidaklah berhaluan ekonomis, akibat batubara tersebut tersebar di area yang sangat luas serta terisolasi, ditambah hanya memiliki lapisan yang sangat tipis sekitar 80 cm saja. Akan tetapi, karena pada masa itu merupakan masa peperangan, akhirnya Pemerintah Jepang memutuskan agar memanfaatkan batu bara yang berada di wilayah Bayah, sebagai bahan bakar.

Guna kepentingan atas pengangkutan batubara dari wilayah Bayah, pada akhirnya Pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun rel kereta api dari Saketi, hingga ke Bayah, dengan panjang 89 km. Rel kereta api tersebut adalah percabangan dari jalur kereta api yang sudah ada sebelumnya, yang dibangun oleh perusahaan bernama Staatsspoorwegen milik Belanda di tahun 1906. Rangkasbitung-Pandeglang-Saketi-Menes-Labuan.

Rel kereta api dari Saketi ke Bayah mulai dicanangkan pada Juli 1942, kemudian pembangunannya dilakukan pada Februari 1943. Kemudian banyak sekali pakar perkeretaapian dari Belanda yang kemudian dilibatkan secara paksa guna mempercepat proyek jalur kereta api tersebut. Langkah awal untuk tahapan pembangunan rel kereta api tersebut, adalah dengan cara pembukaan lahan, penyiapan, serta peletakan batu balas/kricak, selanjutnya pemasangan bantalan rel kereta api menuju arah Bayah. Pembangunan rel tersebut menggunakan material rel serta bantalan kayu yang dipasok dari seluruh wilayah di Pulau Jawa, sementara itu, material untuk kereta api menggunakan lokomotif trem dari Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (PsSM) No. 12 (B16) serta dari pabrik-pabrik gula yang ditutup.

Bagian terberat dari pembangunan rel kereta api Saketi-Bayah, adalah pembangunannya dilakukan dengan sistem romusha yang tidak manusiawi. Sistem romusha tersebut, merupakan sistem kerja secara paksa pada masa pendudukan Militer Jepang di Indonesia. Para romusha tersebut merupakan orang asli Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah atau desa-desa. Jepang menyebut para romusha sebagai prajurit pekerja, yang kepentingannya adalah sebagai pihak yang akan membangun prasarana-prasarana demi kepentingan militer Jepang.

Ketika bekerja, para romusha diperlakukan sangat buruk, bahkan mendapat fasilitas sangat minim serta banyak sekali yang tidak diberi upah secara layak, bahkan sedikitpun tidak diberi upah sama sekali. Dampaknya, banyak dari para romusha yang tewas akibat dipaksa bekerja secara berlebihan, kelaparan, serta terkena penyakit.

Setidaknya para romusha yang dipekerjakan secara paksa selama masa pembangunan rel kereta api Saketi-Bayah, ada sekitar 25.000 hingga 55.000 pekerja. Para romusha tersebut akhirnya banyak yang tewas akibat kekurangan makan, terkena penyakit tropis, ketiadaan obat-obatan, sistem kerja yang tanpa batas, hingga sulitnya kondisi medan yang dihadapi masih merupakan hutan rimba, rawa-rawa, bahkan perbukitan yang penuh dengan hewan buas. Diperkirakan Jumlah romusha yang tewas atas pembangunan rek kereta diperkirakan 20.000 sampai 60.000 romusha. Angkat tersebut belum termasuk yang tewas di pertambangan sebanyak 20.000.

Setidaknya akan ada sekitar 500 romusha yang tewas setiap harinya. Sejauh ini, belum diketahui apakah terdapat tawanan perang (Prison of War), yang dipekerjakan guna membangun rel tersebut. Tidak saja pembangunan rel kereta Saketi-Bayah yang banyak menelan korban selama pembangunannya, hal serupa juga terjadi ketika pembangunan rel kereta Muaro-Pekanbaru, bahkan, kedua jalur kereta api tersebut dijuluki Jalur Maut (Death Railway). Julukan tersebut juga disematkan kepada jalur kereta yang dibangun di Thailand-Burma.

Menurut cerita, nama “Saketi” berasal dari bahasa Sunda yang artinya seratus ribu, yang kemudian dimaknai sebagai ramalan bahwa akan jatuh banyak korban sebanyak 100 ribu jiwa, dalam pembangunan jalur Saketi-Bayah. Di bulan Maret 1944, rel tersebut sudah siap serta diresmikan penggunaannya pada 1 April 1944, oleh para petinggi Jepang. Kereta pertama yang dioperasikan dihela oleh lokomotif seri BB 10.06. Setidaknya, akan ada 300 ton batubara setiap harinya yang akan diangkut dari Bayah menuju Saketi.

Kereta api yang sering dipergunakan juga merupakan lokomotif milik Staatsspoorwegen, seperti seri BB 10. Sementara itu, kereta pengangkut orang juga ikut dioperasikan, akan tetapi, karena wilayah tersebut jarang pendudukan, akhirnya sebagian besar penumpang merupakan para pekerja kereta api dan pekerja tambang. Setidaknya akan ada 800 penumpang setiap harinya yang berpergian menggunakan 15 kereta kelas 3.

Di sepanjang rel Saketi-Bayah, setidaknya ada sembilan stasiun serta lima tempat perhentian kereta, di antaranya dari Saketi adalah Cimangu, Kaduhauk, Jasulang (Jalupang), Pasung (Picung), Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah, serta Gunungmandur. Gunungmandur merupakan tempat pertambangan batu bara terjauh dengan jarak 2 KM dari stasiun Bayah. Sementara itu, apabila merujuk pada Daftar Lintas Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), jarak
antara Bayah dengan Gunung Mandur (Madur) merupakan 5,7 km, yang berarti ujung jalur Gunung Madur terletak tidak jauh dari Pantai Wisata Pulo Manuk.

Setidaknya ada 3 tempat yang menjadi lokasi pertambangan batubara di sekitar Bayah serta Gunung Mandur. Lubang pertambangan itu sendiri terdiri atas 20 lubang dengan kedalaman mencapai 140 meter. Pada lubang-lubang pertambangan tersebutlah, batubara diangkut melalui jalur-jalur rel sempit menuju Stasiun Gunung Mandur serta Bayah. Panjang dari jalur-jalur rel sempit tersebut ialah 8 km, akan tetapi tidak diketahui jenis lokomotif dan gerbong apa yang dipergunakan, serta ukuran lebar rel sempit tersebut. Dari Gunung Mandur dan Bayah itulah, batubara-batubara akhirnya diangkut dengan
menggunakan jalur rel normal 1.067 mm.

Sebetulnya pertambangan di sekitar Bayah Itu sendiri, terdapat 3 blok penambangan utama, di antaranya Blok Madur, Blok Cihara, serta Blok Cimang. Dari Pulo Manuk, dibuatlah jalur-jalur rel yang dinamakan Stingkul, yakni kereta kecil pengangkut batubara dari lubang-lubang pertambangan. Dengan stingkul, batubara kemudian diangkut ke Pulo Manuk serta dipindahkan ke kereta pengangkut menuju Bayah, yang kemudian diteruskan menuju Malingping, Saketi, Rangkasbitung, hingga sampai di Jakarta. Aktivitas sama juga berlaku bagi lubang-lubang pertambangan lainnya, batubara diangkut menggunakan stingkul menuju stasiun terdekat.

Stasiun Bayah sendiri terdapat 5 jalur, sedangkan pada stasiun yang lain setidaknya hanya 2 jalur serta bangunan kecil stasiun. Selain dari Stasiun Gunungmandur, stasiun lainnya juga dilengkapi sinyal dengan menggunakan handel kayu, sedangkan Stasiun Bayah menggunakan sinyal Alkmaar. Jalur tersebut dibuat relatif lebih kokoh dibandingkan dengan jalur Muaro-Pekanbaru, dengan jumlah 29 jembatan kereta yang semuanya menggunakan pangkal jembatan (abutment) dari batu. Dari Saketi hingga Malingping, jalur kereta tersebut melintasi pedalaman Banten selatan, akan tetapi, setelah dari daerah Sukahujan, jalur tersebut terus berada di tepian Samudera Hindia, di selatan Pulau Jawa, hingga mencapai Bayah, Gunung Mandur, serta Pulau Manuk.

Namun berbeda dengan jalur kereta Muaro-Pekanbaru, yang kemudian tidak lagi digunakan setelah Jepang menuai kekalahan oleh sekutu pada Agustus 1942, jalur rel Saketi-Bayah tetap masih dipergunakan untuk beroperasi setelahnya. Pasca Jepang menyerah, jalur tersebut diambil alih oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA), serta akhirnya dioperasikan oleh Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Di tahun 1946 sampai 1947, sekalipun berada di tengah kondisi yang penuh ketegangan serta tidak menentu, jalur ini pun masih tetap beroperasi. Pada tahun 1948, sekalipun berada dalam kondisi tidak layak, jalur ini tetap dioperasikan sampai Agresi Militer Belanda yang kedua pada Desember 1948. Jika melihat pada catatan perjalanan yang dilaporkan di tahun 1948, perjalanan kereta api dari Rangkasbitung menuju Bayah, setidaknya memerlukan waktu mencapai setengah hari.

Pasca pengakuan terhadap kedaulatan Bangsa Indonesia di bulan Desember 1949, Pemerintah Indonesia pada saat itu belum memberlakukan penutupan terhadap jalur kereta api tersebut, dikarenakan situasi keamanan yang saat itu belum kondusif. Di bulan Januari 1951, jalur kereta api tersebut masih digunakan kembali, terutama guna dapat memindahkan berbagai mesin serta peralatan dari Bayah. Akhirnya, di tahun 1951, barulah keluar keputusan untuk penghentian operasi atas jalur Saketi-Bayah. Alasan utama penutupan jalur tersebut dikarenakan, pemulihan serta peningkatan jalur akan memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta tidak sebanding dengan pendapatan yang dihasilkan. Sedangkan, pada saat itu wilayah Banten Selatan masih jarang penduduk. Tidak seperti jalur-jalur kereta api lainnya yang tidak digunakan lagi di Jawa, jalur rel Saketi-Bayah menemui kerusakan dengan cepat akibat tidak lagi dipergunakan.

Pada akhirnya, saat ini peran fungsi dari kereta api Saketi-Bayah, digantikan perannya oleh transportasi lainnya Berupa Bus (DAMRI), di tahun 1952/1953. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan pada tahun-tahun tersebut, serta hingga tahun 2016, Bus DAMRI masih saja beroperasi di sepanjang lintas tersebut.

Selain dari pada sejarah romushanya, Bayah juga sempat menjadi daerah persembunyian dari seorang revolusioner bernama Tan Malaka, tokoh pergerakan perjuangan Indonesia merdeka serta dikenal sebagai bapak bangsa. Tan Malaka aktif serta ikut berjuang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, bahkan di masa pendudukan Jepang juga terlibat dalam gerakan bawah tanah. Tan Malaka berhasil membuat Bung Karno terkesan dengan strategi revolusionernya, yang menekankan pada mobilisasi umum dan persatuan nasional.

Tan Malaka sempat menyamar sebagai juru tulis di Bayah, dengan nama samaran Ilyas Husein serta sempat mengorganisasikan para romusha di Bayah. Guna mengenang penderitaan dari para romusha serta Tan Malaka di Bayah, oleh karena itu, didirikan
Sebuah monumen romusha di Bayah tepatnya di sebelah SLTP Negeri 1 Bayah.

Penulis : Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Tradisi Kawalu dan Seba dalam Masyarakat Baduy: Upacara, Makna, dan Pelestarian Lingkungan

1 tahun ago

Sebanyak 1.500 Warga Baduy Jalani Tradisi Seba Baduy 2024

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?