By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Upacara-Upacara Adat Masyarakat Baduy
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Budaya

Upacara-Upacara Adat Masyarakat Baduy

Last updated: November 10, 2023 11:29 pm
2 tahun ago
Share
14 Min Read
SHARE

Damar Banten – Corak hubungan dan kegiatan religius masyarakat Kanekes yang berhubungan dengan dunia gaib dalam konteks kepercayaan Agama Sunda Wiwitan, termanifestasikan dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas ini tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan upacara, walaupun tidak semua upacara berhubungan dengan dunia gaib. Karena di antara upacara itu erat kaitannya dengan pertanian, siklus kehidupan individu, perhitungan hari baik dalam melakukan pekerjaan penting, atau berkaitan dengan penentuan jodoh, dan sebagainya.

Keterikatan antara ketentuan adat dengan agama sedemikian eratnya sehingga dapat dianggap bahwa adat merupakan bagian tak terpisahkan dari agama. Dengan demikian, agama terisi berbagai ketentuan adat yang harus ditaati oleh setiap masyarakat Baduy sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dan kepercayaan yang kuat terhadap semua ketentuan yang ditetapkan Pu'un merupa-kan manifestasi dari ketaatan mereka
kepada amanat para leluhur.
 Menurut kepercayaan dalam agama Sunda Wiwitan, para Batara Tujuh, Daleum, dan Menak yang menjadi nenek moyang masyarakat Baduy tidak pernah mati, melainkan hanya roh dan jasadnya saja yang ngahiyang (menghilang). Karena itu, masyarakat Baduy meyakini Kanekes tidak akan hilang selama masih dipelihara oleh keturunan para Batara, yaitu Pu'un dan masyarakat Baduy pada umumnya.
 Orang Baduy, harus berperilaku baik dan bersamadi (tapa) menyatukan diri dengan Batara Tunggal selama mereka hidup. Batara Tunggal bagi masyarakat Baduy merupakan Gusti Nu Ngersakeun (Tuhan Yang maha Kuasa), tetapi ia dianggap sebagai manusia biasa yang tidak mati, hanya ngahiyang (raib) dengan jasadnya dari dunia ini. Menurut alam pikiran masyarakat Baduy, kehidupan manusia dan nasibnya diatur oleh suatu kekuatan gaib yang tidak tampak oleh pandangan manusia, yakni kekuatan Batara Tunggal yang raib itu. Falsafah hidup dalam kepercayaan agama ini tidak mementingkan keduniawian, tetapi lebih mementingkan kerohanian. Dari sikap inilah terlihat kondisi hidup mereka yang sederhana, narimakeun (menerima apa adanya menurut ketentuan yang sudah ditetapkan); dan dengan hidup sederhana itulah masyarakat Baduy mencapai kepuasan.
Berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nu Ngersakeun; masyarakat Baduy menganggap ada  suatu tempat suci yang menjadi tempat bersemayamnya sang Batara Tunggal. Itulah lokasi yang kini terdapat Arca Domas atau Sasaka Para Pusaka; di mana konon pada jaman baheula (masa dahulu kala) sang Batara dan roh para leluhur (para Sanghiyang) berkumpul. Lokasi Arca Domas, karena dianggap tempat yang paling Suci selalu dirahasiakan keberadaanya, bahkan orang Baduy Tangtu sendiri pun banyak yang tidak mengetahuinya. Diperkirakan, tempat itu terletak
di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Setiap tahun, tempat ini dibersihkan oleh sembilan orang yang dipimpin oleh Puun Cikeusik (Puun Rama). Para tokoh Baduy yang sembilan itu, antara lain Girang Seurat, Tangkesan, dan Baresaan, serta Jaro Tangtu. Pembersihan ini dilaksanakan selama dua hari pada setiap bulan Februari atau bulan Kalima menurut kalender Baduy. Selain itu, pembersihan juga dilakukan menjelang penyelenggaraan upacara pemujaan.
   Dari uraian tersebut, terutama tentang sikap dan falsafah hidup yang narimakeun (menerima ketentuan yang telah digariskan), dapat diasumsikan bahwa sikap hidup sederhana, menerima apa adanaya sesungguhnya merupakan bagian dari aspek ketakwaan kepada Tuhan Yang Kuasa. Dalam pelaksanaan upacara-upacara manifestasi keyakinan terhadap kepercayaan mereka, di antara upacara-upacara dimaksud adalah:
  1. Upacara Kelahiran dan Cukuran
    Sama seperti di masyarakat Sunda pada umumnya, kelahiran bayi ditolong oleh bidang kampung/dukun beranak yang disebut paraji atau indung beurang, demikian pula dengan masyarakat Kanekes. Begitu selesai menolong kelahiran itu, sang paraji biasanya akan memperoleh bingkisan dari keluarga yang melahirkan, berupa ayam, nasi tumpeng, dan beberapa makanan lainnya. Setelah 40 hari, si ibu harus mandi bersih (beberesih) dengan keramas atau diangir oleh paraji Pada waktu mandi inilah paraji memanterai air yang dicampur dengan aneka kembang serta kunyit (koneng) yang dipergunakan untuk diangir. Upacara mencukur rambut bayi (cukuran) juga dilakukan oleh paraji.
    Demikian pula dengan pemberian nama. Hanya saja khusus untuk pemberian nama yang biasanya dilakukan pada hari ke tujuh—ada ketentuan spesifik yang berlaku di Kanekes. suku kata pertama dari laki-laki harus sama dengan suku kata pertama dari nama ayahnya. Sedangkan untuk nama anak perempuan ketentuan itu dikaitkan dengan
    nama ibunya Pasangan yang mendapat anak dianggap sebagai pertanda bahwa mereka dipercayai oleh Yang Kaha Kuasa.
  2. Upacara Sunatan
    Sunatan menurut sebagian sumber merupakan tradisi asli dari suku Sunda pada umumnya; demikian pula anggapan masyarakat Kanekes. Dalam kaitan ini, agak terasa ganjil adalah istilah yang mereka berikan kepada upacara sunatan,
    yaitu nyilamkeun atau ngeslamkeun (mengislamkan). Berarti setidaktidaknya upacara ini pun dianggap ada kaitannya dengan dunia gaib
  3. Upacara Perkawinan
    Terdapat dua macam cara yang dilakukan oleh Masyarakat Kanekes dalam melaksanakan upacara perkawinan. Pertama, perkawinan orang Baduy Panamping (Baduy Luar) dilakukan di depan penghulu yang berkedudukan di Kampung Cicakal Girang, dan calon pengantin harus mengucapkan syahadat Islam. Kedua, Perkawinan bagi orang Baduy Panamping, bagi mereka perkawinan dilakukan di depan Puun dan dipimpin oleh Tangkesan. Puun lah yang mengesahkan perkawinan mereka. Dam perkawinan mereka ini disebut kawin batin.
  4. Upacara Kematian
    Seseorang yang meninggal, jenazahnya akan dimandikan sama sebagaimana kebiasaan yang berlaku di masyarakat Sunda lainnya. Ini mirip dengan tatacara pemandian jenazah menurut Islam. Jenazah laki-laki dimandikan oleh petugas khusus diebut dukun yang berkelamin laki-laki. Sedangkan jenazah perempuan oleh dukun perempuan. Jika dalam tradisi sehari-hari semua orang Baduy (terutama orang Baduy Tangtu) buyut memakai
    sabun, tetapi terhadap orang yang meninggal diperbolehkan menggunakannya. Setelah itu, jenazah di bungkus dengan kain kafan (boweh). Suatu hal yang penting dalam kaitan orang meninggal, namun tidak terdapat ditemukan pada masyarakat Baduy adalah lokasi khusus untuk tempat pemakaman. Orang yang meninggal adalah lokasi khusus untuk tempat pemakaman. Orang yang meninggal cukup dikuburkan tidak jauh dari
    perkampungan, yang terletak di arah utara. Dalam kehidupan sosial orang Baduy, upacara kematian hanya diperingati sampai tujuh hari saja. Mereka berpendapat, setelah tujuh hari ruh orang yang meninggal akan “pergi” menuju surga (Buana Nyungcung) untuk menghadap “penguasa atas” atau “penguasa surga” (Ambu Luhur).
  5. Upacara Ngaseuk
    Upacara menanam benih padi yang disebut Ngaseuk merupakan salah satu upacara penting bagi masyarakat Kanekes. Upacara ngaseuk dimulai di “ladang suci” (huma sereng) pada bulan April atau bulan Kapitu menurut perhitungan kalender masyakat Kanekes. Ngaseuk sebenarnya membuat lubang di huma dengan menggunakan alat sejenis tongkat yang diruncingkan ujungnya, kemudian benih padi dimasukkan oleh perempuan. Upacara ngaseuk pada hakikatnya merupakan pemujaan terhadap dewi padi, Pohaci Sang Hiyang Asri. Girang serat yang memimpin upacara tersebut, membacakan jampi dan mantera-mantera tertentu dengan maksud “membangunkan” padi (ngahudangkeun) yang dianggap penjelmaan dari dewi padi. Mantera yang dibaca itu berbunyi

“Tabe, Pohaci Sang Hiyang Asri, hayu urang bakik ka weweg sampeg, mandala pageuh, mangka tetep, mangka langgeng”

(Hormat, Pohaci Sang Hiyang Asri, mari kita pulang ke tempat asalmu yang kokoh, yaitu mandaya yang tetap, agar bisa tetap lanngeng).

Sebelum upacara ngaseuk dilaksanakan biasanya didahului dengan upacara nyacar (nyaangan), yakni membersihkan hutan belukar, rerumputan dan ranting-ranting; dan upacara nukuh, yaitu menebang pohon-pohon besar. Pada upacara nyacar dan nukuh ini mereka mempersembahkan sesaji untuk para leluhur (dangiang, dan karuhun).
Pemberian sesaji ini dimaksudkan agar para dangiang tidak marah karena hutan (yang merupakan tempat tinggal para dangiang) ditebangi pepohonannya (dibukbak). Sesaji yang disiapkan dalam upacara nukuh ini dimanterai oleh Puun. Setelah dua upacara itu berlangsung, dilanjutkan pada upacara ngahuru atau ngaduruk, yakni membakar ranting-ranting atau rerumputan yang dibersihkan ketika upacara nyacar dan nukuh. Setelah semua upacara ini dilakukan, barulah berlangsung upacara ngaseuk.

  1. Upacara Kawalu dan Ngalaksa
    Kata ngawalu dan ngalaksa, pada kalimat (ngukus ngawalu muja ngalaksa) merupakan penyelenggarakan upacara Kawalu dengan membuat makanan yang disebut laksa. Kawalu dilaksanakan 3 kali dalam satu tahun, yaitu bulang Kasa disebut kawalu tembey (awal), Karo disebut kawalu tengah, dan Ketiga disebut kawalu tutug (akhir). Pada bulan-bulan tersebut Masyarakat Baduy harus melakukan puasa yang disebut puasa kawalu. Puasa kawalu dilakukan hanya satu hari pada tiap bulannya, yaitu mereka melakukan puasa dengan cara tidak makan mulai tengah malan dan pada siang hari. Pada waktu menjelang malam mereka mulai makan. Demikian dilakukan pada tiap bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Pada waktu bulan Katiga, mereka menyelenggarakan Ngalaksa, yaitu membuat makanan Laksa, sejenis makanan dari tepung beras yang dicetak atau dibuat seperti mie dan dicetak dalam tempat adonan yang disebut sangku. Proses Ngalaksa dilaksanakan oleh ibu-ibu, padi untuk membuat laksa ini wajib dikumpulkan kepada setiap kepala keluarga. Mereka harus menyerahkan ikatan padi sejumlah anggota kekuarganya. Sebagian sumber menyebutkan, bahwa beras yang dijadikan tepung untuk membuat laksa ini harus dari tujuh rumpun padi yang ditanam di ladang suci (huma serang) yang berada di wilayah kampung Baduy Tangtu dan yang berasal dari ladang teladan (huma tuladan) kampung Baduy. Panamping. Pada saat ngalaksa ini juga, para ketua adat, melakukan perhitungan jumlah warga, yang dilakukan dengan cara sederhana, yakni setiap kepala keluarga menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai sesuai dengan jumlah anggota keluarganya
    kepada kokolot kampung setempat. Dengan demikian, perkembangan jumlah penduduk di desa kanekes dapat diketahui dengan akurat. Setelah selesai semua ritual tersebut,
    masyakat Baduy bersiap untuk melaksanakan ritual Seba atay istilah yang telah dikenal yakni Upacara Seba.
  2. Upacara Seba
    Seba merupakan kewajiban adat yang harus dilaksanakan setiap tahunnya bagi masyarakat Baduy, sebagai wujud nyata tanda syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Seba itu sendiri dapat diartikan sebagai kunjungan resmi yang merupakan peristiwa dalam rangkaian adat masyarakat Baduy yang dilakukan seusai Kawalu dan Ngalaksa. Rangkaian acara sangat terperinci serta persiapan yang matang, disamping harus berpedoman pada Peraturan Adat. Dan orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah orang kepercayaan Puun atas nama warganya memberikan laporan kepada Pemerintah sekaligus menjembatani komunikasi. Maksud dan tujuan upacara Seba secara umum adalah untuk mengharapkan keselamatan, pernyataan rasa syukur kepada Tuhan, bahwa selama setahun masyarakat Baduy mampu mempertahankan religi dan tradisi leluhur mereka. Adapun tujuan khusus diadakan upacara Seba adalah: (1) Membawa amanat Puun; (2) Memberikan laporan selama satu tahun di daerahnya; (3) Menyampaikan harapan; (4) Menyerahkan hasil bumi; dan (5) Untuk mempererat ikatan tali silaturahmi secara formal kepada Bapak Gede. Waktu penyelenggaraan upacara Seba telah diperhitungkan secara matang dan disepakati para jaro, masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, pimpinan pemerintahan mulai dari pemerintah kecamatan, kabupaten sampai
    ke tingkat provinsi. Tempat penyelenggaraan upacara yang termasuk dalam rangkaian upacara Seba antara lain, rute perjalanan dari Desa Kanekes ke kantor Bupati Lebak (Pendopo), dan puncaknya berakhir di kantor Gubernur Banten, Pada umumnya, setiap upacara Seba, melibatkan Jaro Tujuh sebagai perwakilan masyarakat Baduy, Jaro
    Warega sebagai utusan khusus Puun, dan jaro Pamarentah (Kepala Desa Kanekes sebagai pelaksana upacara Seba). Selain itu para Dangka, Pemangku adat, tokoh masyarakat, kokolot desa, serta kaum muda (para pemuda) sebagai generasi pelanjut upacara di masa yang akan datang. Upacara-upacara yang telah diuraikan di atas, merupakan apa yang dinamakan sebagai tugas hidup masyarakat Kanekes, yang mencakup kegiatan atau perilaku:

(1) pemeliharaan tempat pemujaan di Papada Ageung, (ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana); (2) pemeliharaan tempat pemujaan di Parahiyangan, (ngareksakeun Sasaka Domas), yang biasanya dilakukan oleh para tokoh adat Cibeo; (3) mengasuh
penguasa/pembesar, (ngasuh ratu ngajayak menak), yang lebih cenderung disebut kegiatan untuk menyampaika “hadiah” ; (4) mempertapakan atau mensucikan mandala Kanekes – yaitu nusa 33, sungai 65 dan pusat 25 negara yang diungkapkan dalam ungkapan (ngabaratapakeun nusa telu puluh telu, bagawan sawidak lima, pancer salawe nagara); (5) berburu dan menangkap ikan untuk keperluan upacara kawalu, yang diistilahkan dengan (kalanjakan kapundayan); (6) membakar dupa atau kemenyan pada waktu pelaksanaan suatu upacara, menyelenggarakan upacara kawalu dan membuat panganan laksa pada upacara tutup taun, (ngukus ngawalu muja ngalaksa).

Penulis: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Budaye Cilegon Fest 2025: Panggung Persahabatan Budaya Dunia
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau

1 tahun ago

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Tradisi Kawalu dan Seba dalam Masyarakat Baduy: Upacara, Makna, dan Pelestarian Lingkungan

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?