Suhardi Suryadi[1]
Dalam sebuah negara yang menganut demokrasi, maka keberadaan oposisi seharusnya berjalan seiring, mengingat keduanya merupakan pilihan dari masing-masing orang dalam mewujudkan pengelolaan negara yang lebih baik. Namun, ironisnya, tidak semua negara membuka ruang oposisi secara formal dalam kehidupan politik, seperti di Indonesia. Sekalipun demokrasi dan oposisi dapat berjalan secara beriringan.
Disadari bahwa, oposisi tidak selalu muncul secara otomatis sebagaimana yang diharapkan ketika Indonesia melakukan demokratisasi pada tahun 1998. Bahkan sebaliknya, Presiden lebih berbagi kekuasaan secara luas di antara partai-partai politik yang mendukungnya. Hal inilah yang akhirnya menumbuhkan gaya kartelisasi partai di Indonesia, dan sekaligus menghambat perkembangan demokrasi. Pemilu 2019 secara jelas mengindikasikan situasi ini.
Makna Oposisi
Pada hakaekatnya, pluralisme politik merupakan bagian tidak terpisahkan dari demokrasi. Protes atau oposisi dari partai politik dan masyarakat merupakan prasyarat bagi kehidupan yang demokratis. Ilmuwan politik Prancis Raymond Aron dalam “Politics and History” mengatakan, dengan demokrasi akan membuat persaingan dapat berlangsung damai ketika menjalankan kekuasaan secara konstitusional. Ini berarti, keberadaan oposisi sangat menentukan karakter dan keselarasan pada sistem politik yang pluralistik. Sehingga keseimbangan antara pemerintah dan DPR terjadi baik karena kebersamaan di tingkat partai yang sama maupun berlawanan.
Dalam praktek demokrasi sangat penting diciptakan keharmonisan antara mayoritas – pemenang pemilihan dalam posisi memerintah tanpa memonopoli semua kekuasaan – dan oposisi, yang perannya adalah menentang pemerintah, meski dituntut berperan secara efektif dan bertanggung jawab dalam proses politik. Keseimbangan dalam demokrasi antara mayoritas dan oposisi bermuara pada upaya menempatkan aspek dan unsur bernegara yang diperlukan, terutama mengimbangi dominasi legislatif mayoritas dengan memberikan hak pada oposisi. Meski pengakuan terhadap oposisi ini tidak sendirinya menjamin efektivitas dialog politik dan stabilitas jangka panjang. Tentu saja, dalam kehidupan politik sehari-hari terdapat beberapa jenis dan bentuk pertentangan sesuai dengan sifat dan kondisi politik yang ada. Dimana oposisi seringkali diartikan sebagai upaya partai politik atau gerakan masyarakat melalui pandangan kritisnya yang menyuarakan ketidaksepakatan berkenaan
dengan tindakan pemerintah. Oposisi politik sebenarnya tidak harus difahami sebagai perlawanan parlemen, namun dapat dilihat dari sikap politik masyarakat. Mengingat setiap bentuk kebijakan pemerintah yang cenderung kurang disukai masyarakat dapat ditemukan.
Menurut Georges Vedel – Perancis, dalam “Manuel Elementaria Du Droit Constitutionnel : RĂ©impression de l’Ă©dition de 1949” oposisi merupakan “partai atau kelompok partai yang bersatu dalam visinya untuk menaklukan dan merebut kekuasaan politik ”. Ini berarti, oposisi dalam sistem pluralistik memiliki sedikit kesamaan dengan kelompok politik yang berusaha mengorganisir diri dalam sistem otokratis. Bentuk perilaku oposisi acapkali didasarkan pada tiga prinsip yaitu persaingan dengan tujuan mengambil alih kekuasaan; toleransi dalam pelaksanaan kekuasaan; dan pergantian kekuasaan. Dengan demikian, oposisi memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam kerangka menjamin pemerintahan yang transparan dan bertanggung jawab ketika melayani kepentingan publik. Hal ini sekaligus untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan misalnya membuat dan melakukan kebijakan yang mengganggu hak dan kebebasan.
Karena itu, setidaknya terdapat 6 peran oposisi yaitu : 1. Mengkritik program, keputusan, dan tindakan pemerintah melalui pemeriksaan secara cermat berbagai rancangan undang-undang dan anggarannya; 2. Menawarkan alternatif politik dengan mengembangkan program dan sekaligus mengusulkan sebagai keputusan yang direncanakan oleh pemerintah dan DPR; 3. Menjelaskan dan mempromosikan kepentingan pemilihnya secara jelas dan akurat berdasarkan fakta; 4. Meningkatkan prosedur pengambilan keputusan di DPR dengan memastikan proses perdebatan, analisis, dan argumentasi yang berbeda; 5. Memantau dan mengawasi kegiatan pemerintah dan lembaga yang memiliki kewenangan administratif; dan 6. Memperkuat stabilitas, legitimasi, akuntabilitas, dan transparansi proses politik (European Conference of President of Parlement, Majority and Oposition : Striking and Balance in Democracy 2014).
Dukungan Rakyat
Pembagian kekuasaan di kabinet menunjukkan bahwa koalisi secara luas merupakan sumber pengurasan sumber daya dan dianggap lebih mahal jika dipertahankan. Namun pada sisi lain, koalisi yang besar dipandang sebagai cara Presiden mengurangi tekanan dan sekaligus memastikan bahwa tidak ada partai politik yang terlalu kuat sebagai lawan politiknya. Hanya saja ketika kondisi sosial-ekonomi di tingkat masyarakat pemilih mengalami kemerosotan secara drastis, maka partai politik yang menjadi mitra koalisi akan bergerak mempersoalkan dan bahkan menjatuhkan.
Dengan demikian, pengembangan oposisi politik yang dapat diidentifikasi dengan jelas telah dihambat oleh pembagian kekuasaan. Hal ini tidak terlepas dari praktik pembentukan koalisi yang sangat fleksibel, di mana para pihak mengekspresikan atau mengungkapkan keinginan untuk berbagi kekuasaan dengan siapa pun (Slater Dan and Simmons Erica, 2013). Sedangkan, Presiden sendiri juga berkeinginan berbagi kekuasaan dengan semua partai setelah mendapatkan kemenangan. Kecenderungan ini menunjukan bahwa kondisi politik Indonesia belum pernah mengalami kegagalan ketika membangun partai, melainkan gagal dalam mewujudkan oposisi. Kegagalan oposisi sering terjadi di bawah sistim pemilu yang otoritarian. Ketika oposisi gagal dalam mengatur sistim otoriter dalam pemilihan akibat ketidakcocokan ideologis, membuat koordinasi diantara partai oposisi sulit dikembangkan. Namun yang ironis, oposisi di Indonesia terputus karena banyak partai yang menginginkan posisi di Kementerian. Padahal sejarah telah membuktikan bahwa membangun oposisi secara sehat dan efektif adalah mendesak karena kelak menumbuhkan kepercayaan rakyat. Ajaran konfusianisme tentang pemerintahan mengatakan bahwa suatu negara lebih baik tanpa senjata dari pada tanpa dukungan rakyat.
[1] Penulis adalah Anggota Pengurus LP3ES.