TEKOR
Beban Subsidi Tinggi: Pemerintah telah meningkatkan subsidi secara signifikan untuk melindungi rumah tangga dari harga minyak dan pangan internasional yang tinggi, memungkinkan harga domestik yang tidak berubah untuk jenis bahan bakar bersubsidi yang paling banyak digunakan. Pengeluaran subsidi terkait energi yang dihasilkan, yang diharapkan pemerintah mencapai total 2,4% dari PDB tahun ini dibandingkan dengan 1,1% pada tahun 2021.
Namun fakta dilapangan subsidi diselewengkan. Banyak BBM subsidi digunakan untuk angkutan komersial, ekspor komoditas yakni sawit dan pertambangan lainnya. Ada juga yang kasus pencurian solar dengan berbagai modus lalu dijual ke industri dengan harga 3 kali lipat lebih tinggi. Ada juga yang di ekspor secara ilegal mengingat harga ekspor yang terpaut jauh lebih tinggi daripada harga dalam negeri.
Peningkatan subsidi sebagian besar tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan, sebagian karena harga komoditas yang lebih tinggi. Sistem pengelolaan SDA yang buruk membuat SDA Indonesia dijarah bandit. Indonesia adalah pengimpor minyak bersih, tetapi mengekspor banyak komoditas lain, termasuk batu bara dan tembaga, serta komoditas, tapi seluruh pendapatan SDA tersebut tak imbang dengan impor BBM dan LPG saja.
BANKRUT
Defisit fiskal berlanjut menjadi 4,3% pada tahun 2022 dari 4,6% pada tahun 2021. Kami berasumsi pemerintah akan memenuhi target defisitnya di bawah 3% dari PDB pada tahun 2023, kalau masih selamat, ketika pagu anggaran akan dipulihkan, meskipun risiko terhadap prospek fiskal meningkat dan termasuk kenaikan lebih lanjut dalam tagihan subsidi dan pertumbuhan PDB yang lebih lemah.
SKANDAL MONETER
Utang pemerintah mencapai puncaknya tahun ini pada 42,2% dari PDB. Rasio utang pemerintah/PDB. rasio bunga/pendapatan, sebesar 15,8% pada tahun 2022, secara signifikan lebih tinggi dari median kategori ‘BBB’ sebesar 5,9% tahun ini, mencerminkan pendapatannya yang rendah. Komoditas ekspor sebagian besar uangnya kabur.
Pembiayaan Defisit Moneter Menurun: Defisit fiskal melanjutkan pembiayaan moneter langsung dari defisit pada akhir 2022, ketika undang-undang darurat yang memungkinkan hal ini secara hukum berakhir (hukum akal akalan yang .berakhir di pengadilan) Penempatan dalam obligasi pemerintah oleh swasta dengan Bank Indonesia (BI) dan pembelian bank sentral di pasar perdana sejak tahun 2020 telah menimbulkan pertanyaan tentang pendekatan kebijakan Indonesia dalam jangka menengah. Sementara pelakunya belum tau cara keluar selamat dari skandal moneter kelas berat seperti ini.
Pembiayaan bank sentral yang berkelanjutan akan mempertaruhkan dominasi fiskal dan dapat merusak kepercayaan investor. Uang investor ditelan hantu UU darurat. Bayangin aja bunga 15-20 persen pendapatan negara, ditambah tagihan subsidi 40 persen pendpatan negara, jadi apa Jokowi 2023?
DANA PUBLIK LUDES
Sekitar 30% dari utang pemerintah dalam mata uang asing, membuat pemerintah menghadapi fluktuasi mata uang asing. Selain itu, porsi kepemilikan non-residen atas utang pemerintah dalam mata uang lokal turun menjadi 16% dari total utang, dari 39% pada 2019, dan kemungkinan akan tetap berada di level yang lebih rendah selama beberapa tahun ke depan karena kenaikan global dalam hasil obligasi. Dana publik yakni dana haji, dana jamsostek, dana taspen, dana asabri, dana pensiun BUMN, dilahap oleh surat utang negara. Ini akan berakhir dengan tagihan yang mengerikan dan menyayat hati.
UANG BATUBARA DAN SAWIT MENGUAP
Katanya ekspor komoditas besar, kebijakan ekspor donggarkan, hasilnya mana? Coba lihat Cadangan devisa turun sebesar USD9,4 miliar menjadi USD135,6 miliar di bulan Mei dari akhir tahun 2021. Tergerusnya cadangan devisa terjadi disaat ekspor batubara dan sawit melompat, harganya melambung selangit. Indonesia memproduksi 650 juta ton batubara, harga pasar sekarang 300 dolar per ton, nilai ekspornya sekarang paling sedikit bernilai 195 miliar dolar. Belum ekspor sawit, Nickel, Timah dan lain sebagainya. Kemana hasil ekspor ini dibawa, disimpan dan disembunyikan?
PEMERINTAHAN KORUP
Indonesia memiliki peringkat Indikator Tata Kelola Bank Dunia sedang pada persentil ke-47 (median rekan BBB: 58), yang mencerminkan rekam jejak transisi politik damai baru-baru ini, tingkat hak partisipasi yang moderat dalam proses politik, kapasitas kelembagaan moderat, aturan main yang mapan hukum dan tingkat korupsi yang tinggi.
TENGGELAM
Keuangan Publik: Peningkatan material dalam beban utang publik secara keseluruhan lebih dekat ke tingkat rekan-rekan kategori ‘BBB’, misalnya, akibat kegagalan untuk mengurangi defisit fiskal ke tingkat sebelum krisis atau akumulasi utang lebih lanjut oleh entitas milik publik.
Makroekonomi: Melemahnya kerangka kebijakan yang dapat merusak stabilitas makroekonomi, misalnya, akibat berlanjutnya pembiayaan moneter terhadap defisit dalam beberapa tahun ke depan.
Keuangan Eksternal: Penurunan berkelanjutan dalam penyangga cadangan devisa, yang diakibatkan, misalnya, dari arus keluar yang berasal dari penurunan kepercayaan investor atau intervensi valuta asing yang besar.
SEBAGAI G20 PRESIDENCY INDONESIA SING PENTING KESOHOR MESKI TEKOR OK LAH!
Penulis : Salamuddin Daeng