Damar Banten - Dalam kehidupan sosial budaya, bahasa memegang peranan sangat penting. Fungsi bahasa merupakan sarana komunikasi antar anggota masyarakat, sehingga setiap gagasan dapat disampaikan dan diterima oleh anggota masyarakat lainnya. Berdasarkan sumber sejarah yang ditemukan, dapat diketahui bahwa kurun waktu tahun 1500-1800 Masehi masyarakat Banten mengenal dan memakai berbagai bahasa dalam pergaulan sehari-harinya. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal oleh masyarakat Banten, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu, merupakan tiga bahasa yang paling banyak digunakan sebagai sarana komunikasi.
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang dipakai oleh mayoritas masyarakat Banten di wilayah selatan. Sementara itu, masyarakat Banten di wilayah utara menggunakan bahasa Jawa, yang telah mengalami adaptasi dengan lingkungan alam dan budayanya. Sedangkan Bahasa Melayu banyak digunakan di pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca. Pada awalnya, bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Tatar Sunda bersifat egaliter. Artinya, dalam bahasa ini tidak dikenal adanya undak-usuk basa (tingkatan-tingkatan bahasa). Hal tersebut dapat dibaca dalam beberapa naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 Masehi, yaitu Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Payahyangan (sekitar 1580). Ketika Mataram berkuasa di daerah Priangan, bahasa yang dipergunakan dalam administrasi pemerintahan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa Nusantara yang memiliki tingkatan- tingkatan, bahasa halus, sedang, dan kasar. Pada perkembangannya, bahasa Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai, bahkan penguasaan atas bahasa ini menjadi salah satu tolak ukur kebangsawanan seorang elite politik. Kecenderungan ini nampak jelas dalam surat-surat pribadi, karya sastra, atau karya sastra sejarah yang ditulis oleh elit politik di Tatar Sunda (semisal babad,wawacan, sejarah, dan sebagainya).
Setelah pengaruh budaya Jawa masuk ke dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Tatar Sunda, bahasa Sunda yang dipakai dalam pergaulan maupun dalam bahasa tulisan, kemudian diatur oleh undak-usuk basa. Pemakaian undak-usuk basa tersebut dibedakan oleh status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan. Bahasa yang halus sekali dipergunakan kepada kaum menak luhur (bangsawan tinggi) dan kepada para pejabat Belanda. Bahasa halus atau sedang dipergunakan untuk sesama kaum menak atau kepada keluarga sendiri. Bahasa sedang dipergunakan juga dalam pertemuan-pertemuan yang sifatnya umum dan pendengarnya beragam status dan umur. Bahasa kasar dipergunakan kepada pelayan, sedangkan bahasa kasar sekali dipergunakan untuk mencaci maki orang lain. Bahasa Sunda di Banten ternyata tidak mengalami feodalisasi dalam bentuk tingkatan-tingkatan bahasa karena Banten tidak pernah dipengaruhi oleh Mataram secara langsung. Itulah sebabnya hingga sekarang bahasa Sunda di Banten bersifat egaliter.
Yang berkaitan erat dengan bahasa ialah tulisan, yaitu sarana untuk menyampaikan ide melalui simbol-simbol tertulis, kemudian juga tercetak. Dalam kurun waktu tahun 1500-1800 Masehi, masyarakat Banten telah mengenal beragam bentuk aksara. Dari berbagai naskah dan prasasti yang berasal dari kurun waktu yang sama, dapatlah diketahui bahwa masyarakat Banten menggunakan jenis huruf Jawa, Pegon, dan Latin. Akibat pengaruh budaya Jawa, masyaraka Banten mengenal jenis huruf cacarakan, yaitu jenis huruf yang berlaku di tatar Jawa. Huruf ini telah mengalami penyesuaian baik dari simbolnya maupun dalam pengucapan simbol huruf tertentu. Selain itu, akibat pengaruh Islam, masyarak Banten pun mengenal tulisan yang menggunakan huruf Arab. Jenis huruf ini lebih dikenal dengan jenis huruf pegon, karena telah disesuaikan dengan budaya setempat. Jenis huruf ini biasanya sering dipergunakan di pusat-pusat penyebara agama Islam. Masyarakat Banten pada akhimya juga mengenal huruf latin yang dibawa oleh kebudayaan Barat, khususnya oleh Belanda.
Masyarakat Banten, mengenal kesusastraan dalam bentuk karya sastra, maupun karya sastra sejarah. Yang disebut terakhir ini bukanlah karya sejarah dalam pengertian modern, karena dalam karya seperti ini, peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah berlangsung di Banten, diramu dengan unsur mitos dan legenda, yang diungkapkan dalam bentuk karya sastra tembang ataupun gancaran serta menggunakan bahasa metafor sebagai medianya. Naskah-naskah ini di kalangan masyarakat tertentu dianggap sebagai pusaka sehingga memiliki sifat keramat dan tidak boleh dibuka apalagi dibaca oleh sembarang orang. Beberapa karya yang dapat disebut adalah Sajarah Banten, Babad Banten, Wawacan Sajarah Haji Mangsur, dan lain-lain. Naskah Sajarah Banten yang ditulis dalam berbagai versi, ditulis paling cepat tahun 1662/1663, dan naskah terakhir disalin atau ditulis ulang pada awal abad ke-19.
Sumber : Sejarah Banten – Membangun Tradisi dan Peradaban
Penulis: Ilham Aulia Japra