Banten Dalam Kebudayaan Megalitikum

Damar Banten - Di Indonesia, budaya megalitik yang masuk diperkirakan oleh para ahli terjadi melalui dua gelombang besar. Gelombang pertama, disebut dengan megalitik tua, yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 2.500-1500 tahun sebelum Masehi, ditandai oleh pendirian monumen-monumen batu seperti menhir, punden berundak, dan patung-patung simbolis-monumental. Gelombang kedua disebut sebagai megalitik muda yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar awal abad  pertama sebelum Masehi, hingga abad-abad pertama Masehi. monumen batu yang merepresentasikan tinggalan pada kelompok megalitik muda di antaranya ialah berupa monumen kubur peti batu, dolmen semu, dan sarkofagus. Tinggalan budaya megalitik, di wilayah Banten, terdapat di beberapa wilayah di antaranya Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Di Serang dan Pandeglang sendiri kebanyakan tinggalan megalitik berupa dolmen, menhir, batu gong, altar batu, batu dakon, batu bergores, dan arca tipe Polinesia. Di Lebak, juga dijumpai jenis-jenis tinggalan megalitik seperti di kedua kabupaten yang telah disebut, dan temuan itu berupa bangunan megalitik punden berundak, antara lain Lebak Cibedug, Situs Kosala, dan Arca Domas. Keberadaan Situs Lebak Cibedug terletak di Kampung Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber. Situs Lebak Cibedug terletak pada sebuah bukit di tepi Sungai Cibedug. Areal wilayah tersebut merupakan tanah perbukitan dan hutan lindung dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, yang merupakan benteng alam atau bagian dari deretan Pegunungan Barisan serta Gunung Honje di Ujung Kulon.
 Berdasarkan bentuk bangunan secara keseluruhan, situs Lebak Cibedug terdiri dari punden berundak, sumuran, menhir, batu bergores, dan sebaran batu tukuh, dengan batas-batas situs; di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Sungai Cibedug; sebelah barat dengan Sungai Cibedug dan Kampung Cibedug; di sebelah timur berbatasan dengan Pasir Manggu. Bentuk dari Punden berundak Lebak Cibedug terdiri dari tiga bangunan berteras yang membentuk piramid. berorientasi dari barat ke timur, terbuat dari bahan batuan andesit. Masing-masing teras memiliki bangunan berundak-undak. Teras pertama terletak di bagian barat, merupakan dataran yang paling rendah dan luas dibandingkan dengan teras kedua dan ketiga. Teras kedua terletak di bagian tengah, terdiri dari empat undakan dan teras ketiga terletak di puncak bukit pada sisi bagian timur, terdiri dari sembilan undakan. Tangga masuk menuju kompleks bangunan berada di tepi aliran Sungai Cibedug, terbuat dari susunan batu andesit dan bongkahan batu lempung. Pada bagian awal tangga terdapat lingga semu (menhir yang pada bagian ujungnya telah diperhalus membentuk lingga)," situs Lebak Cibedug berada pada elevasi 874 m di atas permukaan laut.

 Situs Lebak Cibedug menurut beberapa ahli prasejarah antara lain Van der Hoop, R.von Heine Gelderen, dan R.P. Soejono dapat digolongkan kepada bangunan megalitik masa prasejarah. Namun, berdasarkan bentuk menhir yang terletak di awal tangga, yang memperlihatkan bentuk lingga semu sehingga menjadi ciri kehinduan, situs Lebak Cibedug digolongkan kepada tradisi megalitik. Pada Teras I di situs Lebak Cibedug merupakan dataran yang berhalaman cukup luas dengan denah tidak beraturan, mengikuti bentuk kontur permukaan tanah bukit. Pada halaman ini terdapat enam bangunan berupa susunan batu dalam bentuk besar dan kecil yang membentuk segi empat, persegi panjang, dan lain-lain. Beberapa bangunan yang memiliki makna tertentu bagi para peziarah adalah bangunan berbentuk hamparan batu. Bangunan ini dalam catatan Van der Hoop, disebut dengan bangunan empat batu (four stone). Pada ketiga sudutnya, yaitu sudut timur laut, Tenggara, dan barat daya terdapat menhir-menhir kecil, dan pada sudut barat laut terdapat sebuah batu datar. Pada menhir sudut barat daya terdapat sejumlah mata uang logam yang diletakkan oleh para peziarah sebagai sesaji. Pada bagian bangunan lainnya merupakan bangunan berbentuk empat persegi panjang dengan tangga masuk di sisi barat. Di dalam halaman bangunan terdapat dua bangunan kecil berbentuk persegi, dan di atas salah satu bangunan itu terdapat menhir setinggi 2,40 m dengan diameter 0,50 m. Menhir itu oleh penduduk setempat disebut Batu Bedug.
  Pada Teras II terletak di belakang teras I. Pada halaman undakan ini terdapat 3 bangunan berbentuk empat persegi. Pada halaman undak ketiga, terdapat tangga di sisi barat berukuran 1 m. Melalui tangga ini terdapat sebuah bangunan, dan di sisi utara bangunan itu terdapat tangga. Dari tangga ini turun ke arah timur laut terdapat sumuran berbentuk segi empat. Pada bagian tengah ditemukan sebuah lubang sumuran berukuran diameter 50 cm dengan kedalaman sekitar 1 m. Dari sumuran ini terdapat tangga menuju sungai Cimanggu yang mengalir ke sebelah barat. Sekitar 1,5 m sebelah timur sumuran, terdapat dua menhir berdampingan (Batu Tumpeng). Di bawahnya banyak berserakan lempengan-lempengan batu. Sekitar 20 m arah barat dari sumuran, ditemukan bongkahan batu-batu besar. Salah satu dari bongkahan batu menunjukkan cekungan-cekungan tidak beraturan seperti lubang batu dakon. Pada ada Teras III terletak di bagian timur, bangunan ini merupakan pusat dari seluruh bangunan teras berundak situs Lebak Cibedug. Teras ini memiliki sembilan undakan yang semakin ke atas semakin mengecil membentuk piramida. Pada setiap sudut bangunan didirikan menhir-menhir, Pada samping struktur bangunan di dalam kompleks bangunan Lebak Cibedug, terdapat temuan lain yang berada di luar kompleks namun masih dalam areal situs, antara lain kompleks menhir yang terletak di lereng Pasir Manggu, yang berjarak sekitar 75 m arah timur di belakang punden berundak Lebak Cibedug. Menhir-menhir ini diatur melingkar menyerupai pola susunan Batu temu gelang. Pada sudut Tenggara terdapat menhir dengan posisi tegak diapit oleh dua menhir kecil di kanan-kirinya. Selain itu, terdapat juga Batu bergores sekitar 20 m ke arah timur dari bangunan teras berundak. Batu bergores ini terbuat dari bongkahan besar batu andesit berukuran tinggi 66 cm, lebar bagian atas 120 cm dan diameter 341 cm. Tulisannya terpahat pada bagian atas dan samping batu, namun kondisi tulisannya sekarang sudah tidak jelas. Temuan lain adalah berupa Batu Tukuh, yang tersebar di sebelas lokasi sekitar situs Lebak Cibedug. Masing-masing kampung ditandai dengan satu batu Tukuh. Baru-batu Tukuh tersebut antara lain Batu Tukuh Lebak Cibedug 1, 2, 3, dan 4, Batu Tukuh Cikatulampa, Batu Tukuh Lebak Peuteuy. Batu Tukuh Lebak Awikoneng, Batu tukah Lebak Cibanteng, Batu tukah Lebak Parakan Gunung, Batu tukuh Lebak Kalahang, Batu tukuh Lebak Muara Tilu.

 Salah satu Batu Tukuh tersebut terletak di sebelah barat laut situs Lebak Cibedug, tepatnya di sebelah kanan rumah (imah gede) Olot Cibedug, yaitu Bapak Asbaji. Batu Tukuh Lebak Cibedug I berbentuk batu punden berukuran panjang 3.25, lebar 3,10 m dengan arah hadap utara-selatan, dan diduga mengarah ke Gunung Nyungcung, salah satu puncak gunung tertinggi di kawasan tersebut. Batu punden dilengkapi dengan menhir dan beberapa batu datar. Menhir tersebut terbuat dari bahan batu andesit, berbentuk agak meruncing ke bagian atas, berukuran tinggi 90 cm, lebar bagian bawah 35 cm, lebar bagian atas 25 cm dan tebal 24 cm. Areal wilayah dari bangunan situs Lebak Cibedug, hingga saat ini masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya yang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan bercocok tanam (padi), masyarakat melakukan upacara dengan dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut "Abah/Olot". Upacara tersebut pada intinya merupakan bentuk permohonan restu pada leluhur agar diberi hasil panen yang melimpah, dan dijauhkan dari hama penyakit.

 Sementara pada Situs Kosala nampaknya memiliki hubungan dengan situs Arca Domas di daerah Baduy. Situs Kosala sendiri terletak di Kampung Lebak Sangka, Desa Lebak Gedong, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak. Situs ini berada pada puncak bukit di mana tempat punden ini berada.

 Situs Kosala dibangun pada puncak bukit Pasir Sangka (Gunung Kosala), di pertemuan dua aliran sungai yaitu Sungai Cipamali dan Sungai Cibaduy. Situs Kosala berbentuk punden berundak terdiri dari tujuh teras, disusun mengikuti kontur bukit dengan arah hadap Barat laut - Tenggara. Pembatas antara teras satu dengan teras lainnya sulit untuk diidentifikasi lagi, karena batuan penyusunnya yang terbuat dari batuan andesit sudah acak. Setiap teras terdapat altar-altar dalam berbagai bentuk. Beberapa bangunan yang dapat diidentifikasi dari situs Kosala ialah sebuah kolam. Di sekitar pemandian terdapat sebaran batuan andesit dan menhir. Dari kolam itu terdapat tangga untuk naik menuju teras satu. Pada teras ini terdapat altar-altar berbentuk singgasana batu dengan sandaran batu berbentuk segilima. Di teras tersebut terdapat juga "Talahab" (tempa beristirahat) terbuat dari bambu yang masih digunakan oleh orang Baduy Karang dalam kunjungan mereka untuk memuja setiap tahun pada tanggal 14 bulan Syawal. Di antara reruntuhan "Talahab" terlihat sebaran batuan andesit dan menhir. Sedangkan, punden berundak Arca Domas terdapat 13 undakan batu, dan pada undakan paling atas terdapat menhir berukuran besar, yang merupakan lambang dari Batara Tunggal Sang Pencipta Roh. Bangunan tersebut hingga saat ini masih dipuja dan dikeramatkan. Di Kampung Gunung Julang, Desa Lebak Situ, Kecamatan Cipanas, ditemukan sebuah situs yang dikenal sebagai Situs Ciwongwongan. Situs tersebut berada pada ketinggian 625 mdpl. 13 meter di sebelah barat aliran sungai kecil Ciwongwongan. Selain fragmen bangunan, ditemukan lingga-yoni yang terbuat dari bongkahan batu putih, yang terkait (menyatu) sama lain. Yoni berbentuk persegi, berukuran panjang 55 cm; lebar 53 cm; serta tinggi 12 cm. Bagian badan yoni berbentuk persegi dengan ukuran bagian bawah lebih sempit dari pada bagian atas, dan pada badan yoni sebelah atas itu terdapat pahatan kepala manusia di keempat sisinya. Pada bagian atas hiasan kepala terdapat tatakan lubang yang berbeda di setiap kepala, yaitu hiasan kepala sebelah utara terdapat sebuah tatakan lubang, sebelah selatan dua tatakan lubang, sebelah timur lima tatakan lubang. sedangkan sebelah barat tidak dapat diketahui karena sudah rusak atau hilang.
 Sementara itu, lingga dibuat menyatu dengan yoni, berbentuk silinder. Bagian puncak agak meruncing seperti gada. Lingga itu berukuran tinggi 20 cm; diameter bagian bawah 14 cm, dan diameter bagian atas 16 cm. Lingga dan yoni  tersebut, sangat mungkin terletak di atas bangunan batur tunggal tersusun dari batu kali. Temuan lainnya berupa menhir, yang ditemukan di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang. Menhir tersebut berada dalam satu kompleks. Di Mande, ditemukan semacam altar yang disebut penduduk sebagai "patapan" (tempat bertapa). Hingga masa Hindu, kemungkinan altar ini masih dipakai, sehingga dapat dikategorikan sebagai tradisi berlanjut. Selain itu, ditemukan pula jajaran menhir di puncak Gunung Karang. Di Desa Waringin ditemukan pula sebuah menhir cukup besar dan di dekatnya ada menhir-menhir kecil. Penduduk setempat mengenalnya sebagai "Sirit Baduy". Menhir lainnya adalah Sanghyang Heuleut dan arca di Cigeulis, yang dikenal penduduk sebagai "Batu Orok" (batu bayi). Temuan lain di sekitar Gunung Pulosari adalah menhir dan arca di situs Sanghyang Dengdek. Situs ini berada di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyang Dengdek, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Arca ini disebut juga Sanghyang Dengdek laki-laki, berada di sebuah bangunan tersusun dari hamparan batuan andesit, merupakan tipe arca Polynesia. Garis pahat arca yang membentuk mata, hidung, dan mulut sudah tidak jelas, demikian juga bentuk tangan dan alat genital arca.

Dari arca Sanghyang Dengdek, ke arah Tenggara menyusuri jalan menuju perkebunan penduduk tidak jauh dari situs yang pertama, terdapat artefak lain yang disebut penduduk setempat sebagai Sanghyang Dengdek (wanita). Pada situs ini terdapat sebuah menhir yang terletak di hamparan batuan andesit dan batu datar. Ke arah timur sekitar 27 m dari menhir tersebut juga terdapat artefak lain berbentuk lingkaran tersusun dari batuan andesit. Di dalam susunan lingkaran batu itu terdapat batu datar, menhir dan batu bulat menyerupai alat musik kenong, namun ada juga yang mengatakan bahwa bentuk artefak itu menyerupai payudara wanita.

Menhir lainnya ditemukan pula di Situs Batu Goong, Citaman. Menhir di sini dikelililingi batu-batu yang berbentuk gamelan dalam formasi “temu gelang”. Pada lereng selatan, yaitu di Kampung Baturanjang, ditemukan sebuah dolmen yang dikerjakan cukup halus dan batu lumpang. Para ahli menduga bahwa pada sekitar abad ke-7 – abad ke-8, di sini mungkin sudah ada candi. Gunung ini dianggap juga sebagai gunung suci, tempat arwah para leluhur. Batu bergores juga ditemukan di Kampung Cidaresi, Kecamatan Cimanuk. Batu yang mirip dengan alat vital wanita. Di Cimanuk ditemukan pula “batu tongtong” yang diduga digunakan sebagai kubur peti batu, untuk penguburan sekunder.

Sumber : Sejarah Banten — Membangun Tradisi dan Peradaban

Penulis: Ilham Aulia Japra

BERITA TERKAIT

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini