By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Banten : Menuju Pemberontakan Petani 1888
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Budaya

Banten : Menuju Pemberontakan Petani 1888

Last updated: Desember 19, 2023 9:53 am
2 tahun ago
Share
16 Min Read
SHARE

Damar Banten – Pada masa Kesultanan Banten, terdapat tanah yang dianugerahkan oleh Sultan bernama sawah ganjaran atau pusaka laden. Istilah tersebut dapat berbeda-beda tergantung dengan siapa orang yang menerima hadiah tersebut. Bila tanah tersebut diberikan kepada anak Sultan dari istri-istrinya yang sah, tanah tersebut disebut kawargaan. Namun, bila tanah tersebut diberikan kepada anak-anak Sultan dari selirnya atau kepada orang-orang kesayangan Sultan, tanah tersebut disebut kanayakan. Dan bila tanah tersebut dihadiahkan pada pejabat-pejabat yang selama masa jabatan mereka, maka tanah tersebut disebut pangawulaan. Masalahnya pada saat itu, rakyat Banten banyak yang menjadi pekerja pada tanah-tanah tersebut.

Di masa Daendels (1808), kepemilikan atas tanah Sultan dihilangkan. Dan, kemudian pada masa Raffles, tanah pusaka dipungut pajak dalam bentuk sewa tanah. Kebijakan semacam ini ternyata tidak memberikan kepuasan terhadap anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan, akibat banyak dikorupsi oleh para pamong praja. Posisi petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan, banyak yang dipaksa tenaganya untuk bekerja pada tanah-tanah pusaka, menjadi pelayan rumah dengan status sebagai abdi. Bahkan, para abdi tersebut banyak pula yang mengerjakan fasilitas-fasilitas umum, semisal pembangunan jalan serta lain sebagainya.

Setelah kesultanan Banten dihapuskan di tahun 1810, hak-hak serta kewajiban atas para petani tidak sedikit-pun ada yang berubah. Bahkan, para petani tersebut banyak yang dipekerjakan secara paksa pada tanah-tanah yang dimiliki oleh para Aristokrat. Keadaan semacam ini sangat menjadi beban penderitaan bagi petani.

Perubahan-perubahan pada kondisi sosial ekonomi di Banten, sebetulnya lebih banyak diakibatkan oleh penetrasi ekonomi Barat yang diterapkan pada administrasi pemerintahan. Perubahan pola administrasi dari tradisional ke modern tersebut tentunya banyak menimbulkan sumber konflik.

Pemerintah kolonial mendasarkan mekanisme administrasinya terhadap model Barat, serta mengubah sebagian dari personil Sultan atau anggota-anggota keluarga menjadi sekedar birokrat-birokrat. Pada awalnya, pemerintah kolonial merekrut pejabat-pejabat pemerintahan dari golongan bangsawan, dengan tujuan agar dapat memudahkan hubungan dengan rakyat. Akan tetapi cara demikian tidak cukup efektif, akibat dari sering banyaknya terjadi korupsi.

Pada akhirnya pemerintah kolonial mengubah kebijakan dengannya, dengan cara merekrut orang-orang yang benar-benar profesional dalam pemerintahan yang didasarkan pada perorangan. Perubahan kebijakan tersebut tentu saja menimbulkan konflik antara kaum bangsawan yang lama terhadap pemerintahan kolonial. Selain itu, meningkatnya pengawasan politik oleh pihak Belanda, juga telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi yang mendalam di kalangan kaum elite agama dengan golongan bangsawan yang tersingkir.

Kondisi demikian dapat dilihat dengan tampilnya Kyai Haji Tubagus Ismail, yang juga merupakan bangsawan Banten, yang bersama-sama pemimpin agama lainnya memimpin pemberontakan. Penggambaran kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elite politik serta elite agama, terhadap penjajah merupakan akibat dari penyebab ketegangan struktural.

Rakyat Banten sangat fanatik dalam soal beragama. Sebagaimana diketahui di Pulau Jawa, penyebaran Islam melalui pesantren-pesantren serta tarekat dapat berfungsi sebagai gerakan Pan-Islamisme. Di pesantren, tentu para santri akan dididik agar memiliki pengetahuan mengenai keagamaan yang mumpuni, serta ditanamkan semangat anti kepada penjajah sebagai pemerintahan kafir.

Sepirit keagamaan juga ikut ditanamkan melalui gerakan tarekat. Gerakan tersebut
merupakan media yang sangat mutahir untuk mengorganisasikan gerakan keagamaan serta melaksanakan indoktrinasi terhadap cita-cita kebangkitan kembali. Di Pulau Jawa sendiri, di abad XIX, setidaknya hanya ada tiga tarekat yang terkenal, di antaranya ada Naksabandiyah, Kadariyah, dan Syatariyah. Tarekat-tarekat tersebut berperan penting dalam perluasan pengaruhnya terhadap masyarakat, dengan jalan memperbanyak pengikut dan melimpahkan semua otoritas ke tangan guru tarekat. Di dalam kelompok tarekat ini pula, ditanamkan pembentukan solidaritas kelompok melalui revitalisasi ritual-ritual serta upacara religio-mistik.

Pada saat terjadinya pemberontakan, pesantren dan gerakan tarekat memiliki peran penting serta strategis, yakni sebagai media mobilisasi serta penyaluran massa. Dapat dikatakan bahwa pesantren dan gerakan tarekat merupakan upaya untuk memobilisasi massa untuk aksi.

Sebetulnya dari tahun 1884, gagasan untuk melakukan pemberontakan sudah menjadi matang serta terpimpin. Para tokoh kala itu sudah tidak sabar lagi untuk mulai bertindak. Dalam hal melakukan pertemuan-pertemuan para pemberontak, mereka memanfaatkan kesempatan dengan kedok pesta perayaan pernikahan serta pesta sunatan. Pertemuan-pertemuan kecil-pun acapkali dilakukan di majelis-majelis dzikir untuk bertemu dan membahas pemberontakan.

Di tahun 1887, aktivitas anggota-anggota komplotan sangat meningkat. Mereka semakin giat mengadakan pertemuan-pertemuan, perjalan, serta mempropagandakan maksud dari perjuangan mereka. Sementara itu beberapa pihak melatih murid-murid mereka dalam cara-cara bertempur. Pada 2-5 September 1887, pertemuan berlangsung di sebuah pesta pernikahan besar yang diselenggarakan oleh Haji Tubagus Umar, mertua penghulu kepala di Serang, Haji Mohammad Arsad. Banyak sekali kyai-kyai besar yang datang pada acara tersebut, seperti dari Tangerang, Batavia, Bogor, dan Ponorogo. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh para tokoh untuk berdiskusi serta saling bertukar pikiran.

Sementara pada pertemuan kedua dilaksanakan pada 29 September tahun 1887 di rumah Haji Wasid. Pada pertemuan kali ini, topik pembicaraannya merupakan masalah mengumpulkan senjata. Para tokoh berpendapat bahwa sebaiknya mereka tidak berusaha mencari senjata api. Alasannya ialah pertama, mayoritas penduduk belum dapat
menggunakan senjata api. Kedua, untuk mendatangkan senjata api dari luar, sangat-lah
sulit dilakukan tanpa diketahui oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Ketiga, mereka
cukup mengandalkan kelewang saja karena mereka yakin bahwa kemenangan akhir
dalam perang suci tersebut ada di pihak mereka.

Kesiapan atas rencana pemberontakan ditandai dengan kegiatan-kegiatan, seperti latihan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, serta propaganda di luar Banten. Sejak pertengahan Februari 1888, para tokoh pemberontakan setidaknya akan melakukan pertemuan setidaknya tiga kali dalam sebulan. Pertemuan penting lainnya merupakan pertemuan yang diadakan oleh Haji Wasid pada 12 Ruwah atau 22 April 1888 di Beji. Tiga ratus tamu berkumpul di masjid, tempat para kyai serta murid-murid bersumpah untuk pertama, bahwa mereka akan mengambil bagian dalam perang sabil. Kedua, bahwa siapa saja yang melanggar janji tersebut akan dianggap sebagai kafir. Ketiga, bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.

Pertemuan di akhir April 1888, para kyai berkumpul kembali di Kaloran. Di tempat tersebut, diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada suatu hari dalam bulan Sura (September 1888). Di Kaloran, diputuskan pula bahwa Haji Wasid, Haji
Iskak, Haji Tubagus Ismail, serta kyai-kyai lainya dari distrik Cilegon dan Kramat Watu akan memimpin serangan terhadap Cilegon. Haji Muhammad Asik, Kyai dari Trumbu bersama-sama dengan Haji Mujahidin, Haji Abu bakar, serta kyai lainnya dari distrik Serang, Ciruas dan Ondar Andir akan menyerang. sedangkan Haji Saipudin dan Haji Kasiman akan menduduki Anyer.

Keputusan lainnya yang telah disepakati merupakan mengenai hal-hal sebagai berikut, untuk setiap empat puluh orang, akan diangkat seorang pemimpin kelompok. Pakaian-pakaian pun dikumpulkan dan akan dipakai pada saat pertempuran. Setiap orang yang telah mengucapkan sumpah akan menandatangani pengukuhannya secara tertulis.

Pada 15 Juni 1888 atau hari kelima bulan Syawal, dilaksanakan pertemuan di rumah Haji Wasid di Beji. Beberapa pemimpin terkemuka membicarakan soal tanggal dimulainya pemberontakan. Mereka sepakat bahwa pemberontakan dimulai pada 12 Juli atau hari ketiga bulan Zulkaedah. Pada 12 Syawal atau tepatnya 22 Juni 1888, berlangsung pertemuan besar di Beji. Pertemuan kali ini dihadiri oleh orang-orang paling dekat dan kebanyakan dari mereka berasal dari Afdeling Anyer serta Afdeling Serang. Tanggal tersebut dipilih karena merupakan hari lahir pendiri tarekat Qadiriyah. Biasanya, pada hari tersebut, dirayakan dengan meriah oleh anggota tarekat dengan arak-arakan khusus, takbiran, serta dzikir. Hasilnya memutuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada 29 Syawal atau 9 Juli 1888.

Pada 30 Juni 1888, Haji Muhidin dari Cipeucang berangkat ke Beji disertai oleh Mohamad Sadik dan Haji Dullatip dari Daragen atas permintaan Haji Wasid. Esoknya, pada Minggu, 1 Juli, ia tiba di Beji untuk mengadakan pertemuan dengan Haji Wasid. Pada kesempatan kali itu, ia diangkat menjadi panglima perang.

Pada saat perjalanan pulang, dirinya mengunjungi Haji Mohamad di Baros. Lalu, ia juga menuju ke Trumbu. Pada malam harinya, Senin, 1 Juli, ia mengadakan pembicaraan dengan kyai yang lain, seperti kyai-kyai Trumbu bersama-sama dengan Haji Mohamad Sidik dari Bendung disertai Haji Nuhidin dari Cipeucang. Mereka akan menyerang Serang. Sementara itu, Haji Abdurakhman dari Kapuren (Ciruas), ditugaskan agar membunuh Wedana Ciruas, asisten residen Kalodran dan penghulu sub distrik. Setelah selesai atas tugasnya di Serang. Pada Sabtu, 5 Juli, di malam hari, sekitar sepuluh orang yang berasal dari Arjawinangun menemui Haji Tubagus Ismail. Mereka membawakan informasi bahwasannya pejabat-pejabat Eropa dan pribumi ditunggu kedatangannya di Balegendung.

Pada Sabtu, 7 Juli. Orang-orang dari Arjawinangun meminta izin kepada Haji Tubagus Ismail untuk membunuh pejabat-pejabat tersebut, akan tetapi ditolak. Pada Sabtu, 5 Juli, kyai-kyai terkemuka diundang ke pesta yang diadakan oleh Haji Akhya di Jombang Wetan. Kesempatan tersebut digunakan untuk mengadakan pembicaraan terakhir.

Haji Tubagus Ismail kemudian memimpin pasukan ke desa Saneja pada malam hari Minggu, 8 Juli. Pasukannya berasal dari Arjawinangun, Gulacir, desa tempat kelahiran Haji Tubagus Ismail dan Cibeber. Pasukan tersebut diperkuat dengan bantuan dari Saneja dan desa sekitarnya. Serangan pertama merupakan rumah Damas, seorang juru tulis di kantor asisten residen. Kaum pemberontak tiba di rumah Damas sekitar pukul 2 dini hari, Senin, 9 Juli.

Tokoh utama yang kemudian memimpin serangan umum merupakan Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian dari kelompok pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian kelompok yang lain akan menyerang Kepatihan, serta sebagian kelompok lainnya akan bergerak menuju rumah Asisten Residen. Pasukan pertama akan dipimpin oleh Lurah Jasim, jaro Kajuruan. Sedangkan untuk pasukan kedua akan dipimpin oleh Haji Abdulgani dan Haji Usman.

Atas serangan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak, banyak Korban-korban yang berjatuhan dari pihak pemerintahan kolonial serta pegawai pribumi. Di antaranya merupakan Dumas, juru tulis di kantor pengadilan distrik. Dirinya akhirnya jatuh ke tangan Kyai Haji Tubagus Ismail, Kamidin, serta toko-toko lainnya, di rumah orang Cina bernama Tan Keng Hok, yang kemudian meregang nyawa di tempat persembunyiannya dengan beberapa tembakan. Selanjutnya, mayat Dumas diseret keluar dan ditemukan di pinggir jalan menuju Bojonegoro.

Selain dari Dumas itu sendiri, korban-korban lainnya merupakan jaksa, ajun kolektor; di lokasi rumah ajun kolektor berada, para pemberontak terlebih dahulu berhadapan dengan keberanian anak laki-lakinya yang bernama Kartadiningrat. Ditambah lagi dengan Elly dan Dora, keduanya merupakan anak dari Gubbels, yang merupakan seorang asisten residen.

Korban atas serangan umum tersebut di antaranya merupakan U. Bachen, yang menjabat sebagai seorang kepala penjualan di gudang garam, serta Ardiman dan Mian yang pertama telah menyertai istri Gubbels, dan yang kedua ialah opas wedana. Istri Gubbels sebelumnya sempat berkelahi dengan Nyai Kamsidah, yang merupakan istri dari Haji Iskak. Tercatat juga korban lain merupakan Groundhout, yang adalah kepala pemboran. Dirinya jatuh di tangan Lurah Kasar, Haji Masna dari Pecek, Satip dari Kubangkapuh, Haji Hamim dari Temuputih serta Haji Kamad dari Pecek.

Sementara itu, masih banyak korban lainnya, seperti wedana yang dibunuh oleh Misal dan Kamidin. Tercatat juga kepala penjara yang akhirnya menjadi korban selanjutnya. Pembunuhan terhadap wedana, Jaksa, ajun kolektor serta kepala penjara diduga karena menjadi korban balas dendam Agus Suradikaria. Akan tetapi, menurut catatan lainnya, mereka dibunuh diakibatkan karena wedana serta ajun kolektor yang telah mengutuk perbuatan pemberontakan yang membongkar peti uang di kantor ajun kolektor. Sementara untuk jaksa dan kepala penjara dibunuh akibat menolak bersumpah setia kepada kelompok pemberontak. Terakhir, korban yang dibunuh merupakan Jamil, seorang opas yang mengawal asisten residen Gubbels. Dirinya dianggap sebagai alat utama pemerintahan kolonial.

Serangan atas pemberontakan tidak saja dilakukan di Cilegon, akan tetapi kemudian pecah juga di daerah lainnya lainnya, semisal di Bojonegoro Balegendung, Krapyak, Gogol serta Mancak. Sementara di kecamatan Bojonegoro, serangan atas pemberontakan meletus di minggu malam. Haji Wasid memberi perintah kepada sebagian pasukannya agar pergi menuju Bojonegoro serta mencari Asisten Wedana Bojonegoro untuk dibunuh.

Pada akhirnya kediaman dari Asisten Wedana Bojonegoro digeledah disertai ranjah. Arsip-arsip yang kemudian ditemukan lalu dibakar, akan tetapi Asisten Wedana tidak kunjung ditemukan dikarenakan sedang dalam perjalanan ke desa-desa, pada wilayah wewenangnya. Pada akhirnya, kelompok pemberontak melampiaskan amarahnya dengan cara membunuh juru tulis Asisten Wedana, yang bernama Asikin, yang kemudian ditemukan sedang tidur di rumah atasannya tersebut.

Sementara itu di Balagendung, serang atas pemberontakan itu sendiri dilakukan pada 9 Juli 1888, dengan menyerang rumah Asisten Wedana. Kediamannya kemudian dihancurkan, beberapa barang diangkut serta arsip-arsip kemudian dibakar. Asisten Wedana ternyata sudah lebih dulu melarikan diri ke arah Serang, sebelum kedatangan kelompok pemberontak tiba. Para pemberontak akhirnya menangkap serta membawa Arsudin, yang merupakan asisten wedana, untuk ikut serta dengan kelompok pemberontak agar mengejar kepala desa Balagendung yang akan mereka bunuh.

Sedangkan di Krapyak, Asisten Wedana Krapyak akhirnya melarikan diri menuju arah Serang, sebelum akhirnya kelompok pemberontak datang. Kediaman dari Asisten Wedana Krapyak kemudian dihancurkan serta dokumen-dokumen resmi dibakar. Sama juga dengan di Grogol, rumah Asisten Wedana Grogol kemudian dihancurkan, serta arsip-arsipnya akhirnya dibakar. Ketika mendengar telah terjadi kekacauan di Cilegon, Asisten Wedana Grogol menyegerakan diri untuk berangkat ke Cilegon. Namun, di tengah perjalanan, dirinya berhadapan dengan pasukan pemberontak yang menyerangnya. Asisten Wedana Grogol akhirnya dibunuh disertai mayatnya yang dilempar ke sungai. Sementara itu di Mancak, kelompok pemberontak meranjah kediaman Asisten Wedana Mancak pada 10 Juli 1988. Kaum pemberontak kemudian merampas arsip. Tetapi, Asisten Wedana Mancak telah kabur menuju Anyer Kidul untuk menyertai Residen Caringin.

Oleh: Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Tradisi Kawalu dan Seba dalam Masyarakat Baduy: Upacara, Makna, dan Pelestarian Lingkungan

1 tahun ago

Sebanyak 1.500 Warga Baduy Jalani Tradisi Seba Baduy 2024

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?