Damar Banten – Setelah Maulana Hasanuddin wafat, Maulana Yusuf anaknya yang kedua, adik Ratu Pembayun, diangkat menjadi penguasa Banten yang kedua menggantikan ayahnya Maulana Hasanuddin. Pangeran Yusuf dilahirkan di Banten pada tahun 1553. Di usia 22 tahun, pada tahun 1575, Maulana Yusuf menyerang Pakuan, dirinya memperluas wilayah kekuasaan Banten hingga sampai jauh ke pedalaman Kerajaan Sunda Pajajaran, serta menguasai ibukota kerajaan, Pakuan.
Dibantu oleh Cek Bancut, arsitek yang berasal dari Mongol, Maulana Yusuf memperluas bangunan Masjid Agung Banten. Dirinya membangun serambi serta memperindah masjid tersebut dengan konfigurasi klasik. Maulana Yusuf juga membangun mesjid lain di Kasunyatan. la melanjutkan pembangunan ke Kraton Surasowan, melapisi dindingnya dengan batu bata. Karena itu, dalam Babad Banten disebutkan konsep yang populer hingga saat ini, “gawe kuta buluwarti bata kalawan kawis.” Maulana Yusuf juga membuat lapangan, pasar, pelabuhan, serta Telaga Tasikardi. Bahkan, pada tahun 1578, ia membangun sawah percobaan dan mengatur sirkulasi irigasinya.
Kala itu, Banten sudah dikelilingi oleh dinding batu, yang pada bagian dalamnya terdapat kampung berpagar. Serta telah dibuat juga sungai penampung air untuk mengalirkannya ke Sungai Cibanten ke dalam kota. Selama periode tersebut, pertumbuhan kota ini terus berlanjut. Pembangunan gerbang utara dan timur dilakukan oleh Maulana Yusuf pada 1570- 1580.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Kesultanan Banten semakin bertambah maju. Untuk pertahanan laut, ia menjadikan Pulo Panjang sebagai markas prajurit Makassar yang terkenal keberaniannya.
Pada tahun 1579, Pakuan dapat ditaklukkan hingga berakhirlah riwayat kerajaan Hindu di Jawa Barat tersebut. Pemeluk yang setia kepada Raja Pajajaran melarikan diri ke pegunungan. Raja Pajajaran terakhir merupakan Ragamulya atau Prabu Suryakencana, la tidak berkedudukan di ibukota Pakuan, melainkan di Gunung Pulosari, Pandeglang.
Hal demikian terjadi, menurut Babad Banten, pada tahun ber-candra sengkala “Pajajaran Sirna Ing Bumi Ekadaci Washakamasa Sahara Limangatus Punjul Siji Ikang Sakakala” (tanggal 11, 1501 Saka). Bila dihitung dengan penanggalan Masehi dan Hijriah, saat kejatuhan Pajajaran ini terjadi pada hari Jum’at Legi 8 Mei 1579 bertepatan dengan tanggal 11 Rabi’u al Awwal 987.
Pasukan Banten pimpinan Maulana Yusuf, berangkat pada hari Ahad tanggal 1 Muharam tahun Alif dengan sangkala “Bumi Rusak Rekeh Iki” (tahun 1501 Saka). Pasukan khusus tanpa ciri resmi yang mampu bergerak cepat tersebut memulai aksinya dengan menyerang serta merebut beberapa daerah di perbatasan dan akhirnya sampai ke alun-alun ibukota Pakuan.
Dikarenakan kuatnya benteng yang dibangun oleh Sribaduga, penyerangan tersebut tidak sampai masuk ke dalam kota. Akibat gagal masuk ibukota, pasukan Banten menyerang dan menguasai daerah Sumedang, Ciranjang, dan Jayagiri.
Penyerangan Banten ke Pajajaran sedikitnya terjadi dalam tiga gelombang besar. Yang pertama dalam masa pemerintahan Ratu Dewata Buana (1535- 1543) yang dikisahkan sebagai: "Datangna bencana musuh ganal tambuh sangkane prangrang diburuan ageing pejah Tohaan Ratu Sarendet jeung Tohaan Ratu Sangiang" (Datang serangan pasukan musuh tidak diketahui asal-usulnya, perang di alun-alun, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang). Yang kedua terjadi dalam pemerintahan Nilakendra (1551-1567) yang dikisahkan sebagai: "Alang prengrang mangka tan nitih ring kadatwan" (Kalah perang, karena itu tidak tinggal di kraton). Serta yang ketiga dalam masa pemerintahan Ragamulya (1567-1579) yang dikisahkan sebagai: "Tembey datangna prebeda bwana alit sumurup ing ganal, metu sanghara ti Selam" (Mulailah datang perubahan, budi tenggelam datang nafsu, muncul bahaya dari Islam).
Di masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju, sehingga bisa dikatakan bahwa Banten merupakan merupakan tempat penimbunan bahan dari segala penjuru dunia yang kemudian disebar ke seluruh kerajaan di Nusantara.
Pedagang dari Cina datang membawa uang kepeng yang terbuat dari timah, serta porselen, sutera, beludru, benang, emas, dan kain sulaman. Pulangnya mereka akan membeli lada, buah pala, serta barang mentah lain. Pedagang Arab membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain dari kapas dan sutera, kain putih, dan koromandel. Pulangnya mereka membeli rempah-rempah. Orang Portugis membawa kain dari Eropa dan India.
Barang dari luar negeri tersebut diambil oleh pedagang dari Jawa, Makasar, Sumbawa, Palembang, dan daerah lain. Ke Banten, mereka membawa garam dari Jawa Timur, gula dari Jepara dan Jayakarta, beras dari Makassar dan Sumbawa, ikan kering dari Karawang dan Banjarmasin, madu dari Jayakarta, Karawang, Timor, Banjarmasin, dan Palembang, dan berbagai barang lain dari luar daerah.
Dengan majunya perdagangan tersebut, kota Banten menjadi sangat ramai, baik oleh penduduk asal Banten itu sendiri maupun pendatang. Oleh sebabnya, dibuatlah aturan penempatan penduduk atas dasar keahlian dan asal daerahnya. Seperti perkampungan untuk orang India, orang Pegu, orang Arab, Turki, dan orang Persia.
Perkampungan-perkampungan tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kampung Pekojan yang terletak di sebelah barat pasar Karangantu, diperuntukkan bagi pedagang muslim yang berasal dari Arab, Gujarat, Mesir, serta Turki. Kampung Pacinan yang terletak di sebelah barat Masjid Agung di luar batas kota diperuntukkan bagi pendatang dari Cina. Sementara itu, Kampung Panjunan merupakan tempat pemukiman tukang anjun (gerabah, periuk, dan belanga). Kampung Kepandaian adalah tempat pandai besi, Pengukiran tempat tukang ukir, Pagongan tempat pembuat gong dan gamelan, Sukadiri tempat pencoran logam dan pembuatan senjata perang. Demikian juga untuk golongan sosial tertentu, seperti perwira dan prajurit istana, sedangkan Kepakihan merupakan tempat ulama hukum Islam.
Pengelompokan tersebut bukan saja dimaksudkan untuk kerapian serta keserasian kota saja, akan tetapi juga adalah demi keamanan di kampungnya masing-masing. Setelah sepuluh tahun memerintah, wafatlah Maulana Yusuf (1580) di Goa Panembahan Pekalangan Gede Pasarean Tamalate, dekat Kota Makasar, Sulawesi Selatan. Jenazahnya kemudian dipulangkan dan dimakamkan di seberang kampung Kasunyatan, Kasemen, Banten. Ia meninggalkan putera yang masih kecil, berumur sembilan tahun, bernama Maulana Muhammad Nasruddin, yang belum dinobatkan menjadi raja. Untuk menjalankan roda pemerintahan, diangkatlah mangkubumi.
Akhirnya dengan demikian, berkat perjuangan Maulana Yusuf, menjelang akhir abad ke- 16, kota Surasowan sudah mendapatkan perhatian pedagang internasional dan kelompok masyarakat yang tinggal di Banten, bukan saja terdiri atas penduduk setempat, melainkan juga masyarakat internasional.
Penulis : Ilham Aulia Japra