Catatan Marlin : Membaca Chairil Anwar di Bulan Reformasi

Membaca Chairil Anwar di bulan Reformasi. Seperti sajak Karawang – Bekasi. Haru dan trenyuh. Terlebih apa yang kita perjuangkan 20 tahun silam. Semakin terlihat menjauh. Kekuasaan belum membawa keadaban. Bahkan dibajak oleh kebiadaban.

Membaca Chairil Anwar di bulan reformasi. Terasa betul “gerimis mempercepat kelam.” Terlihat muram seperti Senja di Pelabuhan Kecil. Segala watak dan perilaku kerdil. Merampas semua harapan 20 tahun silam

Membaca Chairil Anwar di bulan Reformasi. Membayang Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, Hendriawan Sie yang gugur pada 12 Mei. Reformasi ternyata hanya Kami. Bukan kita. Sebab yang ada hanya Kami dan Mereka.

“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami”

Membaca Chairil Anwar di bulan Reformasi. Titik terang semakin menjauh. Dipagut gelap yang tiba-tiba datang dari dunia antah barantah. Tenun kebangsaan kalian robek. Dengan identitas yang memaksakan kehendak.

Membaca Chairil Anwar di bulan Reformasi. Ada getar yang terasa getir. Bagi kami yang ikut menua. Bersama 20 tahun yang arahnya tidak lagi kami punya. Dan sesungguhnya reformasi itu sendiri yang mati muda.

“Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! “

Membaca Chairil Anwar di bulan reformasi. “Bersimpuh peluh diri yang tak bisa diperkuda”. Ternyata itu hanya gurauan cita-cita. Sebab faktanya, “ini ruang, Gelanggang kami berperang”

Membaca Chairi; Anwar di bulan Reformasi. Kadang menggugah jiwa yang tersiksa. Seperti 20 tahun silam. Tak perlu sedu sedan itu. Sebab “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang”

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih

Membaca Chairil Anwar di bulan reformasi. Setelah kami ikut menua. Tidak lagi seperti 20 tahun silam. Terasa betul bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”. Dipaksa menjadi saksi kebiadaban.

“Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.”

Jakarta, 6 Mei 2018

BERITA TERKAIT

Apa pendapat anda tentang berita diatas

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini