Munculnya Jokowi tiga periode adalah hal yang mustahil, sebab konstitusi kita pasal 7 UUD yang metentuan mengenai masa jabatan presiden.
Pasal tersebut menyatakan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal itu juga ditegaskan oleh kuru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono yang mengatakan presiden dan wakil presiden tak bisa menjabat lebih dari dua periode sesuai UUD 1945.
Jadi sangat heran jika para pendukung Jokowi melakukan manuver Jokowi tiga periode. Dimana kondisi ekonomi, demokrasi ketika Jokowi memimpin mengalami penurunan yang drastis.
Ekonomi menurun
Ketika Jokowi belum jadi presiden, pada tanggal 15 Juni 2014 mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa di atas tujuh persen. Dengan catatan, seperti dikutip dari Kompas, “iklim investasi beserta regulasinya itu betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak.”
Akan tetapi target itu tak terealisasi hingga periode pemerintahannya yang pertama hampir selesai pada bulan Oktober 2018. Pertumbuhan ekonomi mentok di angka lima persen, bahkan pernah menyentuh angka 4,79 persen pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi tahun 2018, sebesar 5,17 persen.
Setelah wabah pandemi global covid 19 masuk ke wilayah Indonesia secara historis, profil ekonomi Indonesia sejak 1960 mendemonstrasikan trajektori pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pernah mengalami tiga kali pertumbuhan negatif yakni pada periode 1962-1963, 1997-1998, dan 2020. Pasca krisis keuangan Asia (Asian Financial Crisis/AFC) 1997, Indonesia memerlukan waktu empat tahun untuk kembali ke besaran Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum krisis terjadi. Pengalaman krisis tersebut juga menunjukkan bahwa hanya kontribusi tenaga kerja dan produktivitas (total factor productivity/TFP) yang mengalami pertumbuhan positif pada periode pemulihan pasca krisis ekonomi.
Sedangkan menurut Agus Eko Nugroho, kepala penelitian Ekonomi dari LIPI menjelaskan bahwa tidak seperti krisis-krisis sebelumnya, resesi ekonomi kali ini hampir melumpuhkan seluruh aktivitas perekonomian, baik dari sisi penawaran maupun dari sisi permintaan. Pukulan yang amat berat bagi perekonomian Indonesia terjadi pada triwulan II dan III 2020. Sementara Jokowi menyampaikan ekonomi kita akan tumbuh 7 persen di kuwartal II tahun 2021.
Sementara menurut Rizal Ramli Ekonom Senior dan mantan menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur ,mengatakan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 atau 2021 hanya bisa tumbuh sekitar 2 persen. Angka ini lebih rendah daripada yang ditargetkan pemerintah sebesar 4,5 persen sampai dengan 5,5 persen. Tapi Presiden dengan data yang dari mana pada kuwartal dua ini memperkirakan akan tumbuh 7 Persen, bahkan Sri Mulyani lebih gila lagi dengan perkiraan 8 persen.
Hal diatas kita melihat begitu rentannya perekonomian kita. Dimana daya beli masyarakat menurun dan PHK terjadi dimana-mana. Sementara rakyat disuguhi pencitraan yang terus-menerus dilakukan oleh rejim Jokowi ini.
Menurunnya indeks demokrasi
Pada tahun 2020 the Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan indeks demokrasi 2020 yang ke-13. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 167 negara. Lembaga riset Majalah the Economist ini membagi empat derajat demokrasi, yaitu full democracies; flawed democracies; hybrid regimes; dan authoritarian regimes. Ada 60 indikator yang dikelompokkan dalam lima kategori: proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Pada tahun 2020, rata-rata skor indeks demokrasi global turun dari 5,44 pada 2019 menjadi 5,37. Skor tersebut merupakan yang terburuk dalam empat belas tahun terakhir.
Menurut laporan diatas EIU menyebutkan, pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak negara mengalami kemunduran dalam demokrasi. Misalnya, sejumlah negara melakukan pencabutan kebebasan sipil, serangan terhadap kebebasan berekspresi, dan gagal dalam akuntabilitas demokrasi yang terjadi akibat pandemi.
Selain itu, menurut lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kontras, kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kemunduran karena tindakan represi aparat kepolisian.
Hal itu teelihat dari data penangkapan ribuan orang dan kekerasan terhadap ratusan orang dalam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law di berbagai daerah. Kontras mencatat, ada 4.555 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 232 orang luka-luka dalam 87 aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di berbagai daerah.
Bahkan penangkapan aktivis KAMI Syahganda Naingholan, Jumhur Hidayat dan dan Anton Permana menambah daftar buruk demokrasi kita. Hal itu dikarenakan rejim Jokowi anti kritik dan membangun kekuasaan dengan menangkapi aktivis yang berbeda pendapat. Sementata UU ITE dijadikan alat untuk melegitimasi penangkapan tersebut.
Bahkan pada bulan November 2020 pembunuhan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab yang dilakukan di Km. 50 jalan tol Jakarta – Cikampek, yang kemudian diakui oleh kapolda Metro Jaya, hingga Komnas HAM melakukan investigasi bahwa ada pelanggaran HAM. Bahkan BEM UI menjuluki Jokowi dengan nama “The King of Lip Service”
Dari semua hal diatas, sangat lucu dan aneh jika DR. M Qodari seorang pengamat melakukan sosialisasi Jokowi tiga Periode. Akal sehat apa yang di pakai Qodari sebagai pengamat ? Qodari justru melakukan sosialisasi Jokowi tiga periode dan disambut pendukungnya didaerah. Dalam kacamata teori maupun prakteknya kekuasaan
rejim Jokowi sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Qodari adalah pengamat dan pendukung fanatik Jokowi yang mimpi sebuah kekuasan dimasa pandemi ini. Kalau kata Aristoteles seorang filosof Yunani “Kekanak-kanakan”.
Oleh Himawan Sutanto
Pemerhati Budaya Politik
Depok, 28 Juni 2021