Apa yang jadi keinginan dari Bung Hatta, ekonomi dan pendiri republik ini untuk membangun fondasi ekonomi bangsa yang kuat?. Beliau katakan secara redunsant, secara berulang ulang dalam setiap pidato dan tulisanya, bahwa janganlah ekonomi ujung itu jadi pangkal dan ekonomi pangkal itu jadi ujung ( Hatta, 1951).
Menurut Bung Hatta, ekonomi pangkal atau dasar itu adalah pangan dan energi. Ekonomi ujung itu menurutnya adalah ekonomi eksportasi/ komoditi ekstraktif seperti hasil tambang dan hasil perkebunan monokultur seperti misalnya sawit.
Hatta mengiginkan agar kita itu fokus pada kekuatan ekonomi pangan dan energi, ekonomi domestik atau ekonomi kebutuhan dalam negeri. Suatu bangsa yang kuat itu adalah yang mampu memproduksi apa yang mereka makan sendiri.
Pemikiran Hatta ini di dasarkan pada satu logika sederhana secara ekonomi, jika kebutuhan pangan itu telah terpenuhi maka suatu bangsa itu akan kukuh berdiri. Sebab makanan itu berkaitan dengan kebutuhan isi perut rakyat sehari hari.
Rupiah boleh jatuh setiap hari, pasar modal boleh anjlok setiap saat, tapi jika apa yang dimakan rakyat sehari hari itu adalah hasil dari jerih payahnya sendiri maka mereka akan sangat kuat. Dasar ekonomi rakyat yang kuat inilah yang jadi kekuatan ekonomi bangsa.
Tak hanya sampai disitu, ada satu dasar filosofi dari ilmu kesehatan bahwa makanan yang paling aman adalah makanan yang paling dekat dengan diri kita sendiri. Jika makanan itu kita produksi sendiri maka kita tahu darimana asal usul makanan itu dan bagaimana makanan itu diproses.
Produk produk yang kita makan hari ini sebetulnya banyak sekali yang sudah tidak layak bagi kesehatan. Sebut misalnya kedelai yang kita import terutama dari Amerika Serikat dan Canada. Kedelai yang kita makan itu adalah produk kedelai transgenik. Di banyak negara bahkan sudah dilarang untuk dimakan dan dikategorikan sebagai bentuk bio- terorisme. Kejahatan terorisme.
Makanan itu sangat sensitif, dan tak hanya bernilai strategis dalam konteks ekonomi tapi juga sosial politik dan keamanan dan bahkan kedaulatan sebagai sebuah bangsa. Bung Karno dengan tegas katakan bahwa hati hati dengan apa yang kamu makan, sebab apa yang kamu makan itu tentukan seberapa daulat kamu! ( Soekarno, 1964).
Pemikiran Hatta soal ekonomi pangan dan energi itu diurai secara gamblang dan tegas, bagaimana sebaiknya sistem perdagangan internasional itu juga dibentuk dan strateginya agar kita kuat melalui sektor pangan dan energi. Intinya agar ekonomi kita kuat itu sebaiknya dasar dari eksport kita itu mustinya dikonsentrasikan pada sektor pangan.
Eksportasi kita itu mustinya berasal dari surplus pangan. Syukur berasal dari pangan barang jadi sehingga kita akan mendapatkan nilai tambah ekonomi lebih besar lagi dan juga memberikan banyak pekerjaan untuk rakyat.
Jika kita surplus pangan sudah otomatis tenanglah hati rakyat. Jikapun dieksport juga sudah pasti akan memberikan dampak bagi kesejahteraan banyak petani, akan berikan nilai tambah bagi industri rakyat basis rumah tangga.
Untuk menerapkan strategi hubungan perdagangan internasionalnya bahkan Hatta telah memberikan resepnya. Pertama perlu dilakukan negosiasi kepada negara pengeskport pangan kita dengan diplomasi lakukan substitusi import barang pangan jadi dengan barang modal dengan alamat jelas ; barang modal pendukung sektor pertanian dan industri rumah tangga.
Strategi di atas penting untuk tetap dapat menjaga hubungan diplomasi dagang agar neraca perdagangan dengan negara pembanding tetap seimbang. Kita tetap dapat menjaga hubungan baik namun dengan kebijakan substitusi yang cerdas tersebut berangsur kita akan mendapatkan keuntungan semakin menurunya ketergantungan terhadap import pangan dan barang jadi dari negara lain. Bahkan kita harapkan kedepannya akan mengalami surplus untuk dieksport.
Strategi di atas dalam penerapanya kalau perlu diperkuat melalui kebijakan fiskal untuk alokasi besar besaran berikan kebijakan subsidi untuk pengadaan barang modal di sektor pertanian dan industri rakyat basis rumah tangga. Ditambah dengan berbagai kebijakan trade off seperti insentif pajak, pembiayaan transportasi dan lain lain.
Analogi sederhananya, import makanan kaleng kita turunkan namun kita ganti dengan import barang untuk mengalengkan makanan tersebut. Untuk mempercepat kemampuan kita mengalengkan makanan maka negara perlu alokasikan subsidi untuk pembelanjaan alat alat tersebut. Kalau perlu disubsidi biaya logistik dan juga pembebasan pajak.
Nah, dengan adanya substitusi yang beralamat jelas seperti itu kita akan mendapatkan banyak manfaat. Baik itu manfaat ekonomi, sosial dan politik.
Fokus pada pangan dan industri pangan akan memberikan banyak sekali pekerjaan dan efek berganda lainya. Rakyat akan mendapatkan banyak pekerjaan dan sudah pasti kemiskinan segera menyusut atau bahkan lenyap.
Industri kita akan menjadi kuat karena dasarnya adalah industri rakyat basis rumah tangga. Bukan industri besar besaran dan berasal dari investasi asing yang rentan seperti saat ini.
Fokus pada ekonomi domestik juga akan memberikan kekuatan terhadap stabilitas harga. Harga dari pasar domestik itu akan membuat tingkat harga kita menjadi stabil karena secara relatif tidak terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan politik global. Kekuatan permintaan pasar domestik atas produk pangan juga menghemat devisa negara.
Fokus pada ekonomi pangan juga akan mencegah atau setidaknya menahan terjadinya kerusakan lingkungan akibat aktifitas ekonomi eksraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur. Sumberdaya alam kita akan tetap terpelihara dan ekosistem alam tetap terjaga.
Demikian banyak sekali keuntungan apabila kita fokus kepada sektor ekonomi domestik terutama pangan dan energi. Namun kenapa sampai hari ini pemerintah tidak melalukanya?. Ini soal kepemimpinan.
Kebijakan ekonomi seperti di atas hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang pentingkan kepentingan rakyat banyak. Kebijakan di atas tidak akan pernah dapat dilaksanakan oleh pemimpin yang hanya obral murah sunberdaya alam kita yang melimpah. Kebijakan di atas tidak bisa dijalankan oleh pemimpin yang hanya pamerkan upah buruh kita yang murah dan jadikan rakyatnya hanya sebagai sekumpulan obyek pasar untuk banjir produk produk negara lain. Kebijakan di atas butuh pemimpin ideologis.
Jakarta, 19 Februari 2022
Penulis : Suroto, AKSES INDONESIA