Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di republik ini. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Termasuk dalam soal ekonomi. Kalimat ini sangat klise. Faktanya, itu hanya ada di mimbar pidato pejabat.
Kenyataannya sistem ekonomi kita sehari hari itu jatuh ke tangan segelintir elit kaya konglomerat yang berkongkalikong dengan elit politik. Segelintir elit konglomerat dan politisilah yang riil berkuasa dalam soal ekonomi. Rakyat hanya jadi ornamen. Gambar tak berguna yang selalu jadi obyek dari keseluruhan praktek sistem ekonomi kita.
Faktanya, pengusaha kita 64 juta atau 99,6 persennya adalah ekonomi lemah korban rentenir harian. Pekerja kita isinya 90 persen adalah buruh informal dan outsourcing yang tak jelas nasibnya. Petani, petambak dan nelayan, peternak, perajin kita adalah kelas gurem. Hidup segan mati sungkan.
Parahnya lagi, kondisi di atas malah seringkali diglorifikasi, dibanggakan. Seakan kalau ekonomi rakyat itu ya memang harus mikro, kumuh, lemah, tak berdaya.
Kata daulat itu artinya berkuasa penuh. Kedaulatan rakyat ini juga padanan dari kata demokrasi. Jadi demokrasi ekonomi artinya sistem ekonomi daulat rakyat sebagaimana diperintahkan dalam Konstitusi.
Ekonomi daulat rakyat itu artinya gambarkan kekayaan dan pendapatanya menyebar adil dan merata. Tapi kenyataannya, kekayaan kita itu menumpuk pada segelintir orang.
Empat keluarga kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat miskin Indonesia ( Oxfarm, 2020). Ketimpangan kekayaan kita juga sudah sangat parah, yaitu 0,77 dalam skala rasio gini kekayaan. Dari 82 persen orang dewasa hanya punya kekayaan di bawah 150 juta. Rata rata dunia 58 persen. Mereka yang punya kekayaan di atas 1,5 milyard hanya 1,1 persen dari total orang dewasa kita. Rata rata dunia 10,6 persen ( Suissie Credit, 2020).
Padahal kita tahu, kekayaan dan penguasaan atas kekayaan itulah sumber dari kreasi pendapatan. Sehingga yang terjadi adalah segelintir elit kaya dan politisi itu semakin kaya raya dan rakyat banyak semakin miskin papa.
Kedaulatan rakyat telah mereka sabotase. Mereka bahkan masuk menjadi anggota legislatif dan eksekutif. Separuh lebih anggota parlemen kita adalah pengusaha kaya. Eksekutif kita isinya juga sama, dan kalaupun bukan dari kelompok elit kaya berperangai sebagai agen kepentingan mereka.
Kita tahu, fasilitas negara ini sebenarnya adalah jadi penyokong segelintir pengusaha kaya. Sebut misalnya, utang ratusan trilyun untuk bangun infrastruktur besar besar itu untuk kepentingan apa? Tidak ada pertumbuhan kluster baru ekonomi rakyat disana. Hanya jadi daya dukung bagi kepentingan ekspolitasi sumber daya alam bagi investasi segelintir elit kaya dan asing.
Sementara, usaha mikro tidak ada yang merengek minta dana talangan. Ketika penjaja bakso dan mie ayam di jalanan ketika ada yang bangkrut mereka harus menanggungnya sendiri. Tidak seperti korporat konglomerat kapitalis yang gantungkan dana talangan ( bailout) dari pemerintah seperti di kala pandemi saat ini.
Design kebijakan ekonomi kita itu tidak memungkinkan usaha mikro juga naik kelas. Ini juga hanya mimpi di siang bolong. Rasio kredit untuk 64 juta atau 99,6 persen pengusaha kita ini hanya 3 persen ( Bank Indonesia, 2020).
Untuk penuhi kebutuhan modal mereka berani bayar bunga tinggi ke rentenir karena bank telah menutup akses untuk mereka dan pemerintah tak tanggulangi masalah ini. Secara terbuka bahkan seorang Direktur Utama bank BUMN kita nyatakan kalau mereka bekerjasama dengan rentenir. Jadi ada upaya pelanggengan yang sistematik untuk peras rakyat kecil.
Negara ini sudah salah kelola, untuk usaha mikro yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah kepala keluarga tapi hanya diberi akses ke rentenir. Bank yang katanya milik negara ( rakyat) ini hanya layani yang besar.
Selama ini duit rakyat habis untuk talangi usaha usaha besar yang bangkrut. Padahal mereka itu tidak berdampak signifikan untuk serap tenaga kerja, ciptakan kerusakan lingkungan dan dapatkan segudang privelege kebijakan lainya. Kasus BLBI, Century dan dana alokasi Pandemi yang lebih banyak untuk korporasi besar saat ini adalah hanya gambarkan kebobrokan kebijakan kita selama ini.
Usaha mikro di negeri ini terus dikangkangi secara penuh oleh mafioso. Rakyat sengaja disuruh berebut remah roti di ruang ruang hidup yang sudah habis digasak mafia kartel. Mereka disuruh bersaing di bawah hingga berdarah darah bertempur dengan saudara dan tetangganya. Usaha besarnya bangun kongkalikong dengan politisi.
Sistem demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi ini dibuang di buritan. Parlemen dan Presiden abaikan perintah tegas konstitusi untuk bentuk UU Sistem Perekonomian Nasional sebagaimana diperintahkan dalam pasal 33 ayat 5. Malahan sebaliknya, mereka membentuk UU Ciptakerja yang hanya pentingkan mafia konglomerat kaya agar masif investasi di sektor tambang dan komoditi monukultur semacam sawit dll . Termasuk dibiarkan liar masuk ke ekonomi digital dengan ekstraksi data rakyat untuk diperas sebagai konsumen.
Untuk itu, berhenti glorifikasi UMKM dan ekonomi rakyat. Sebab rakyat tidak berdaulat. Tidak ada proses institusionalisasi kedaualatan rakyat dalam putusan keseharian mereka. Bangun perusahaan yang demokratis dan diperintahkan agar dikembangkan sebagai soko guru ekonomi seperti koperasi saja sengaja dibunuh secara sistematik.
Jakarta, 21 Desember 2021
Penulis : Suroto, Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis )